MENGAPA KITA HARUS TERIKAT
GENERAL AGREEMENT ON TRADE IN SERVICES (GATS)?
oleh
IGN Parikesit Widiatedja,SH.,MHum.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana
I. GATS dan Kekuatan Mengikat Perjanjian Internasional
Proses mengikatnya sebuah perjanjian internasional dalam konteks ini GATS, membutuhkan pembahasan tersendiri sebagai upaya untuk menghadirkan argumentasi secara logis, sistematis dan objektif berdasarkan hukum, kebiasaan dan praktek-praktek pergaulan internasional yang lazim berlaku selama ini. Topik akan berkutat pada sederet pertanyaan mengenai apa, mengapa dan bagaimana kekuatan mengikat dari sebuah perjanjian internasional.
Pembahasan yang lebih cenderung bernuansa normatif ini memiliki tiga buah tujuan yakni:
1. Menumbuhkan kesatuan pandang dalam mempelajari konsekuensi-konsekuensi baik secara yuridis maupun non-yuridis bagi negara-negara yang terlibat di dalam sebuah perjanjian internasional;
2. menghindari perbedaan persepsi yang tiada berujung dalam memahami GATS sebagaimana pengalaman pahit yang pernah menimpa GATT di masa lampau; 3. agar GATS yang telah efektif berlaku sebagai aturan hukum yang mengikat (legally binding contractual agreement), tidak menuai penolakan atau keragu-raguan, baik ditinjau dari eksistensinya maupun aspek formalitas atau proseduralnya.
Hikmah dari tercapainya tujuan-tujuan tersebut, kita akan lebih fokus memusatkan energi, akal dan pikiran untuk menganalisis pendekatan yang lebih bersifat substansial. Pada tahap selanjutnya, upaya ini akan menggiring kita agar mampu menempatkan GATS selalu dalam bingkai kepentingan Indonesia, sekaligus sebagai sistem peringatan dini (early warning system) dalam menghadapi akselerasi kehidupan sebagai andil dari adanya liberalisasi jasa.
Kekuatan mengikat GATS akan diidentifikasi berdasarkan teori perjanjian internasional yang ada, asas atau prinsip umum yang telah menjadi kebiasaan internasional, sifat mengikat perjanjian internasional, eksistensi WTO sebagai organisasi internasional yang menjadi payung GATS, dan tahapan prosedur yang telah dilewati oleh sebuah negara sebagai aspek validitas mengikatnya sebuah perjanjian internasional.
1.1. Berdasarkan Teori Perjanjian Internasional
Sebuah perjanjian internasional merupakan salah satu instrumen terdepan dalam memprakarsai, merumuskan, melaksanakan dan mengembangkan kerjasama internasional. Tak dapat dipungkiri, bahwa perjanjian internasional telah menjadi media yang praktis bagi transaksi dan komunikasi antaranggota masyarakat negara. Bagi sebagian besar negara, perjanjian internasional dapat diilustrasikan sebagai sebuah jembatan atau titian untuk mengkomunikasikan kebijakan, sikap, dan tindakan suatu negara dalam hubungannya dengan negara lain. Berdasarkan argumentasi Bierly, perjanjian internasional merupakan perjanjian kontraktual antarnegara, yang pada perkembangan selanjutnya memiliki beragam istilah seperti perjanjian internasional (Treaty), Konvensi (Convention), Pakta (Pacts), Deklarasi (Declaration) dan Protokol (Protocol). Konvensi Wina 1969 dan Konvensi Wina 1986 mendefinisikan perjanjian internasional sebagai suatu persetujuan internasional yang disepakati antara negara-negara, dalam bentuk tertulis dan diatur oleh hukum internasional, baik diwujudkan dalam satu instrumen tunggal, ataupun dalam dua atau lebih instrumen yang saling berkaitan, bagaimanapun penandaan khususnya. Dasar mengikatnya suatu perjanjian internasional itu sendiri dapat ditelusuri dari berbagai teori yang mengatur kekuatan mengikat suatu hukum internasional. Teori-teori ini antara lain:
1. Teori hukum alam: Hugo Grotius mempopulerkan teori ini. Beliau menyatakan bahwa persetujuan (consent) sebagai dasar terbentuknya hukum internasional. Pada gilirannya, persetujuan ini dapat memaksa negara-negara untuk mentaati hukum internasional itu sendiri. Jadi, persetujuan merupakan elemen utama yang membuat hukum internasional dapat ditegakkan. 2. Teori kekuatan mengikat berdasarkan kehendak sendiri: George Jellinek mempopulerkan teori ini. Beliau mendasarkan kekuatan mengikat hukum internasional atas kehendak negara itu sendiri. 3. Teori kekuatan mengikat karena kehendak bersama: Triepel mempopulerkan teori ini. Beliau menyatakan bahwa hukum internasional mengikat bagi negara-negara karena suatu kehendak bersama untuk tunduk pada hukum internasional. 4. Mazhab Wina: Hans Kelsen mempopulerkan teori ini. Beliau menyatakan bahwa bukan kehendak negara, melainkan suatu kaidah hukum merupakan dasar terakhir dari kekuatan mengikat hukum internasional. Kaidah hukum yang lebih tinggi mendasari berlakunya kaidah hukum ini. Pada fase selanjutnya, suatu kaidah yang lebih tinggi lagi berlaku sebagai dasar bagi kaidah hukum tadi hingga mencapai suatu puncak kaidah yang dinamakan sebagai kaedah dasar (grundnorm). Hans Kelsen lalu menyebutkan alasan bagi keabsahan kaidah hukum dalam hukum internasional yang tercipta melalui perjanjian sebagai norma yang terbentuk oleh tradisi, dan dirumuskan dalam satu kalimat: pacta sunt servanda. 1.2. Berdasarkan Asas Pacta Sunt Servanda
Dalam perspektif hukum privat, asas pacta sunt servanda dapat diasosiasikan sebagai asas kepastian hukum. Asas ini kurang lebihnya mempunyai arti bahwa setiap perjanjian yang telah disetujui oleh para pihak berlaku sebagai sebuah undang-undang bagi para pihak tersebut. Pihak yang tidak terlibat pun tetap diwajibkan untuk menghormati dan menempatkan perjanjian itu laksana sebuah undang-undang.
Starke lalu menyebutkan bahwa dalam praktek pergaulan internasional, hampir dalam semua kasus perjanjian internasional bertujuan untuk membebankan kewajiban-kewajiban yang mengikat terhadap negara peserta. Mengikatnya kewajiban-kewajiban yang diatur dalam suatu perjanjian internasional kepada peserta-pesertanya disandarkan pada sebuah asas yang dianggap sebagai norma fundamental, yakni Pacta Sunt Servanda. Penegasan ini disampaikan oleh Anziloty, seorang juris terkenal dari Italia yang pernah menjabat hakim pada permanent Court of Justice. Norma fundamental itu lalu menetapkan bahwa negara-negara harus menghormati perjanjian internasional yang telah dibuat di antara mereka. Sekali suatu negara mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional, maka negara itu harus berkomitmen untuk melaksanakan setiap ketentuannya dengan itikad baik dan tidak dapat menarik diri dari kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan tanpa adanya persetujuan dari negara-negara anggota lainnya. Pasal 26 Konvemsi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional menyatakan bahwa” Every treaty in force in binding upon the parties to it and must be performed by them in good faith”. Pengakuan terhadap eksistensi asas pacta sunt servanda, telah menjadi sebuah kebiasaan internasional yang diakui oleh negara-negara di dunia. Kenyataan ini bahkan telah dipraktekkan jauh hari sebelum norma hukum internasional itu ada. Sebelum adanya Vienna Convention 1969, perjanjian antarnegara, baik bilateral maupun multilateral, diselenggarakan semata-mata berdasarkan asas pacta sunt servanda dan itikad baik serta diperkuat dengan argumentasi para ahli hukum internasional (doktrin). Faktor yang tak kalah pentingnya dengan posisinya sebagai kebiasaan internasional, maka asas pacta sunt servanda merupakan salah satu sumber hukum asli bagi hukum internasional. Kebiasaan internasional telah menjadi salah satu sumber hukum tertua yang diakui sebagai hukum yang mengikat yang berasal dari praktek-praktek negara-negara. Ketika perputaran roda pergaulan internasional bergerak kencang, dan tak mampu diimbangi dengan penetapan seperangkat kaidah hukum yang tertulis, maka kebiasaan internasional pulalah yang nantinya mengambil peran untuk mencegah atau menghindari terjadinya kekosongan hukum. Jika ditinjau dari perspektif hubungan internasional, telah lazim dikenal dimensi lain selain kaidah hukum internasional berikut kekuatan mengikatnya. Etika pergaulan, dan faktor pencitraan (image), serta kepercayaan (trust) yang lahir dari praktek pergaulan dan kebiasaan internasional, telah menjadi pilar penting yang bersifat akumulasi dan komplementer dalam mengaktualisasikan postur diplomasi internasional suatu negara. Hubungan antarnegara sifatnya sangatlah panjang dengan melintasi beberapa generasi alias berdimensi kini dan nanti. Seiring dengan itulah, dibutuhkan keseriusan, kecermatan dan komitmen kuat untuk melaksanakan setiap perjanjian internasional yang telah disetujui dan berlaku pula sebagai kewajiban suatu negara terhadap negara lain dalam komunitas internasional (erga omnes). Yang patut diingat, sikap, kemauan dan tindakan yang dilakukan suatu rezim pemerintahan kini sebagai representasi negara, akan menjadi catatan perjalanan sejarah yang tak terputus bagi eksistensi suatu pemerintahan selanjutnya di masa mendatang.
1.3. Berdasarkan Sifat Mengikat Perjanjian Internasional
Jika ditelusuri dari sifat mengikatnya, perjanjian internasional dapat dikategorikan menjadi treaty contract dan law making treaty. Treaty contract merupakan perjanjian yang bertujuan untuk melahirkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban di antara pihak yang mengadakan perjanjian itu saja. Sementara itu, law making treaty adalah perjanjiian yang mengandung norma hukum universal dan berlaku bagi anggota masyarakat bangsa-bangsa, sekaligus merupakan pejanjian internasional yang bersumber langsung pada hukum internasional. Dalam perspektif demikian, model perjanjian ini juga mengikat bagi negara-negara yang tidak terlibat secara penuh atau aktif dalam proses pembentukan perjanjian tersebut.
Perjanjian yang bersifat treaty contract misalnya dapat terlihat pada perjanjian-perjanjian yang bersifat bilateral seperti: perjanjian kerjasama Indonesia dengan Australia dalam “Joint Declaration on a Comprehensive Partnership”, perjanjian Indonesia dengan Papua Nugini dalam “Joint Border Commission” dan Perjanjian Multilateral Asia Africa dalam bentuk The New Asia-African Strategic Partnership (NAASP). Perjanjian yang bersifat law making treaty dapat ditemui dalam konvensi-konvensi internasional yang dikeluarkan badan atau organisasi internasional seperti: Konvensi Paris 1919, Konvensi Chicago 1944, Konvensi Jenewa 1949, Space Treaty 1967 dan Konvensi Wina 1969.
Beranjak dari uraian tersebut, jelaslah terlihat bahwa GATS merupakan perjanjian yang bersifat law making treaty. Perjanjian yang dikeluarkan oleh organisasi perdagangan dunia (WTO) ini merupakan norma hukum universal yang wajib dihomati dan ditaati oleh seluruh negara di dunia, terlebih bagi yang tergabung di dalam WTO.
1.4. Berdasarkan Eksistensi WTO
Organisasi internasional merupakan suatu model pengaturan kerjasama yang ruang lingkupnya melintasi batas negara, untuk mencapai tujuan-tujuan yang disepakati bersama, baik antar pemerintah maupun nonpemerintah, dengan memiliki struktur organisasi yang jelas dan lengkap. Untuk mendirikan suatu organisasi internasional, memang membutuhkan suatu dasar hukum yang biasanya termaktub dalam suatu perjanjian internasional. Dalam perjanjian inilah, lazimnya akan termuat tujuan, fungsi dan struktur organisasi internasional. Pada konteks organisasi perdagangan dunia (WTO), dasar hukum ini terdapat pada Agreement Establishing of The World Trade Organization. Untuk dapat dikatakan sebagai sebuah subjek hukum internasional yang sah dan mandiri, suatu organisasi internasional perlu memiliki kedudukan atau kepribadian hukum (legal personality). Suatu persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh keabsahan atau validitas hukum sebagai pelaku (subjek) serta satuan tersendiri dalam pergaulan atau hubungan internasional. Syarat-syarat yang harus dipenuhi antara lain:
1. Merupakan himpunan negara-negara yang bersifat tetap, serta dilengkapi dengan struktur organisasi yang lengkap dan tetap.
2. Memiliki perbedaan, dalam hal kewenangan hukum dan tujuan organisasi, antar organisasi itu dengan negara anggota.
3. Diakui sebagai satuan tersendiri (bukan sekadar kumpulan negara-negara) dalam transaksi atau hubungan dengan pihak lain.
Contoh organisasi yang memiliki legal personality tersendiri adalah ASEAN, PBB, IMF dan WTO. Sementara, organisasi yang hanya berupa pengelompokan negara-negara, misalnya gerakan non-blok atau gerakan-gerakan lain yang sifatnya lebih kepada penggalangan dukungan moral, tidak memiliki legal personality. Dengan adanya kedudukan hukum, maka suatu organisasi internasional memiliki sebuah kekuasaan untuk mewujudkan tujuannya, sekaligus pula untuk memiliki kekuatan memaksa dalam mengeksekusi setiap kebijakan yang telah dibuatnya. WTO sendiri jelas merupakan organisasi internasional dengan legal personality yang inheren di dalamnya. Di dalam struktur organisasi WTO, jelas terpampang pembagian fungsi antara legislatif, eksekutif dan yudikatif. Merujuk pada teori trias politika Montesqueiu. Ministerial Conference atau konferensi tingkat menteri menjalankan fungsi legislatif, Dewan umum (General Council) menjalankan fungsi eksekutif dan Dispute Settlement Body (DSB) menjalankan fungsi yudikatif. Sehingga tak terbantahkan lagi, bahwa WTO merupakan organisasi internasional sejati yang segala keputusannya memiliki kekuatan mengikat bagi seluruh negara anggotanya.
Pengakuan terhadap kekuatan mengikat sebuah organisasi internasional dapat pula ditelusuri dari sebuah doktrin yang dikemukakan oleh J.G. Starke. Beliau menyebutkan definisi hukum internasional sebagai keseluruhan hukum yang sebagian besar terdiri atas sendi-sendi dan aturan-aturan perilaku yang mengikat negara-negara, untuk mentaatinya dalam hubungan antara negara-negara itu sama lain dan juga meliputi: a. Aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan fungsi lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi internasional, hubungan-hubungan lembaga atau organisasi yang satu dengan yang lainnya dan hubungan-hubungan lembaga atau organisasi itu dengan negara-negara dan individu-individu.
b. Aturan-aturan hukum tertentu yang berkaitan dengan individu-individu dan satuan-satuan bukan negara, sejauh hak-hak dan kewajiban-kewajiban para individu dan satuan-satuan bukan negara itu, merupakan kepentingan masyarakat internasional.
Dalam pemahaman dan kerangka berpikir demikian, maka dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya organisasi internasional merupakan salah satu subsistem utama dalam bangunan hukum internasional. Konsekuensinya, setiap keputusan yang ditetapkan oleh suatu organisasi internasional tertentu, membentuk kaidah hukum internasional yang memiliki kekuatan mengikat sebagaimana layaknya suatu hukum positif yang berlaku di suatu negara.
1.5. Berdasarkan Tahapan Prosedur yang Dilewati
Suatu negara dapat mengekspresikan persetujuannya untuk terikat dalam perjanjian internasional melalui beragam cara. Pasal 11 Konvensi Wina 1969 mengatur:
“the consent of state to be bound by a treaty may be expressed by signature, exchange instrument constituting a treaty, ratification, acceptance, approval or accession, or by any other means if so agreed”
Berdasarkan ketentuan tersebut, penandatanganan, pertukaran instrumen dalam bentuk perjanjian ratifikasi, aksesi atau dengan cara lain yang disepakati merupakan ekspresi keterikatan suatu negara pada sebuah perjanjian internasional. Ada pun teknis pelaksanaannya, sepenuhnya bergantung pada kesepakatan negara-negara peserta yang tercantum dalam naskah perjanjian dimaksud. Jika suatu perjanjian internasional menentukan bahwa pengikatan diri oleh negara-negara pesertanya dituangkan dalam bentuk penandatanganan, maka penandatanganan yang dilakukan serta merta mengikatkan negara tersebut pada kewajiban-kewajiban yang diatur dalam perjanjian internasional tersebut. Sementara itu, apabila di dalam perjanjian tercantum kehendak negara-negara pesertanya untuk menerapkan mekanisme ratifikasi, maka pengikatan diri hanya terjadi setelah mekanisme ratifikasi. Penerapan mekanisme ratifikasi sebagai suatu cara negara mengikatkan diri pada perjanjian internasional, menjadikan penandatanganan pada naskah perjanjian bukan lagi menjadi momentum bagi pengikatan diri, tetapi sekadar menjadi tindakan yang mengontetikkan (formalitas) naskah perjanjian internasional yang bersangkutan. Menurut Burhan Tsani, ratifikasi dalam praktek pergaulan internasional mengandung rasio bahwa:
1. Negara berhak untuk mempunyai kesempatan guna meneliti kembali instrumen yang telah ditandatangani oleh utusannya, sebelum negara mengemban kewajiban-kewajiban yang ada dalam instrumen perjanjian.
2. Berdasarkan kedaulatannya, suatu negara berhak untuk menarik diri dari partisipasi dalam suatu perjanjian internasional, apabila di kemudian hari negara yang bersangkutan menghendaki demikian.
3. Sering suatu perjanjian internasional mengundang dilakukannya amandemen atau penyesuaian hukum nasional.
4. Karena prinsip demokrasi bahwa pemerintah harus berkonsultasi dengan aspirasi umum yang ada dalam parlemen atau tempat lain, mengenai ada tidaknya keharusan untuk mengkonfirmasi perjanjian internasional.
Mekanisme ratifikasi dapat diilustrasikan sebagai putusan sela dalam pelaksanaan pengadilan. Ratifikasi memberikan nafas bagi sebuah negara untuk melakukan proses analisis komprehensif sekaligus sebagai upaya korektif serta antisipatif dengan melibatkan para pengambil keputusan (decision maker). Pengejahwantahan prinsip kehati-hatian ini diperlukan guna menghindari kemungkinan terjadinya kesalahan dalam penetapan kaidah hukum yang justru menjadi bumerang bagi kelangsungan hidup suatu negara di masa mendatang.
Di tubuh WTO sendiri, mekanisme pengikatan diri negara-negara anggota perjanjian-perjanjian perdagangan multilateral diatur dalam naskah Persetujuan Pembentukan WTO. WTO Agreement Final Act, Paragraf 2 menentukan:
“by signing the present Final Act, the representatif agree….To submit, as appropriate, the WTO agreement for the consideration of their respective competent authorities with a view to eeking approval of the agreement in accordance with their procedure…”
Kemudian Persetujuan Pembentukan WTO pasal 2 menentukan bahwa:
“the Agreement and associated legal instrument included in annexes 1,2 and 3 (hereinafter reffered to as’Multilateral Trade Agreement’) are integral part of this agreement, binding on all members”
Berdasarkan pemaparan tersebut, Persetujuan Pembentukan WTO mutlak dilakukan melalui mekanisme ratifikasi. Mengingat seluruh perdagangan multilateral yang dihasilkan dalam putaran Uruguay dilampirkan dan dinyatakan sebagai bagian yang tak terpisahkan (integral) dari Persetujuan Pembentukan WTO, maka ratifikasi persetujuan ini menjadi momentum yang tidak sekadar mengikatkan diri negara-negara anggota WTO terhadap kewajiban-kewajiban yang tercantum dalam Persetujuan Pembentukan WTO, melainkan juga terhadap seluruh perjanjian perdagangan multilateral yang terlampir didalamnya termasuk GATS.
II. Proses Terikatnya Indonesia pada GATS
Merujuk pada pasal 24 Konvensi Wina tahun 1969 tentang Perjanjian Internasional, suatu perjanjian internasional dinyatakan efektif berlaku melalui cara dan sejak tanggal yang ditentukan atau menurut cara yang disetujui negara-negara peserta yang terlibat aktif dalam perundingan. Bila tidak terdapat ketentuan mengenai klausul ini, maka perjanjian internasional tersebut mulai berlaku segera setelah diadakan persetujuan untuk mengikatkan diri terhadap perjanjian internasional.
Di dalam hukum positif Indonesia, berdasarkan Pasal 3 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, Pemerintah Republik Indonesia mengikatkan diri pada perjanjian internasional melalui cara-cara sebagai berikut:
a. Penandatanganan;
b. pengesahan;
c. pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik;
d. cara-cara lain sebagaimana disepakati para pihak dalam perjanjian internasional
Pasal 4 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional kemudian menyatakan bahwa dalam pembuatan perjanjian internasional, Pemerintah Republik Indonesia berpedoman pada kepentingan nasional dan berdasarkan prinsip-prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan memperhatikan baik hukum nasional maupun hukum internasional yang berlaku.
Merunut dari pendekatan historis, negara-negara peserta Putaran Uruguay pada masa itu (1994) telah sah dan tanpa syarat menyetujui bahwa saat berlakunya Perjanjian Pembentukan WTO ditetapkan pada tanggal tertentu sebagaimana termaktub dalam Final Act. Final Act lalu menyebutkan bahwa Persetujuan Pembentukan WTO mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1995 atau sesegera mungkin sesudahnya. Semenjak tanggal tersebut, seluruh negara anggota WTO wajib melaksanakan segala konsesi dan kewajiban yang tercantum baik dalam Persetujuan Pembentukan WTO maupun di dalam seluruh persetujuan perdagangan multilateral yang menjadi lampirannya.
Menurut Kartadjoemena, sebagai salah satu negara berkembang yang terlibat aktif dalam pergaulan internasional, Indonesia memutuskan untuk mengambil sikap untuk tidak berbuat pasif pada saat berlangsungnya perundingan Putaran Uruguay. Kepentingan untuk mempromosikan dan memperjuangkan pasar bagi barang-barang dan jasa-jasa yang diproduksi di Indonesia menjadi dasar argumentasinya. Indonesia sendiri harus berupaya mempertahankan pasaran bagi barang-barang dan jasa-jasanya, dengan turut menjaga agar aturan dalam sistem perdagangan internasional tidak berlaku secara diskriminatif, dan negara-negara maju tidak bertindak secara sepihak atas negara-negara berkembang. Penerbitan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang pengesahan
Agreement Establishing of The World Trade Organization, secara resmi telah mengikat Indonesia untuk tunduk pada segala ketentuan yang diatur dalam Persetujuan Pembentukan WTO. Segera setelah Persetujuan Pembentukan WTO berlaku semenjak 1 Januari 1995, Indonesia wajib menjalankan segala konsesi dan kewajiban yang tertuang dalam WTO
agreement dan berbagai perjanjian perdagangan multilateral yang menjadi lampirannya termasuk GATS.
Seluruh persetujuan yang dihasilkan dalam
Putaran Uruguay, baik yang bersifat multilateral ataupun plurilateral, yang tercakup oleh Persetujuan Pembentukan WTO dan mengikat Indonesia meliputi:
1. Annex 1 yang terdiri dari tiga annex, yakni annex 1a, yaitu General Agreement on Tariff and Trade (GATT), sebagai hasil Putaran Uruguay beserta seluruh instrumen hukum yang terkait lainnya, kecuali Protocol of Provisional Application (PPA) dan penyempurnaan Tokyo Round Codes sebagai hasil Putaran Uruguay beserta instrumen-instrumen yang terkait lainnya, kecuali Codes dan arrangement sebagaimana tercantum dalam Annex 4; annex 1b, yaitu General Agreement on Trade in Services (GATS); dan annex 1c, yaitu Trade Related of Intelectual Property Rights (TRIPs).
2. Annex 2, yakni Integrated disputed Settlement Understanding (IDSU).
3. Annex 3, yakni Trade Policy Review Mechanism (TRRM).
4. Annex 4 yang terdiri dari Civil Aircarft Agrement, the Government Procurement Code, The Dairy Arrangement, The Bovine Mete Arrangement.
III. Konsekuensi Keikutsertaan Indonesia pada GATS
Pada saat Putaran Uruguay berakhir dengan menghasilkan berbagai persetujuan perdagangan internasional, Indonesia telah menentukan sikap untuk menyetujui berbagai persetujuan tersebut. Sebagai bentuk persetujuannya, Indonesia mengutus delegasinya ke Marakesh, Maroko untuk membubuhkan tanda tangan persetujuan. Amanat Final Act yang menghendaki agar pemerintah terlebih dahulu meminta pertimbangan badan legislatif untuk memperoleh persetujuan dalam rangka mengikatkan diri pada Persetujuan Pembentukan WTO segera direalisasikan. Pemerintah mengajukan usulan ratifikasi Persetujuan Pembentukan WTO kepada DPR RI dan usulan itu pun diterima yang bermuara dengan diterbitkannya Undang-undang Nomor 7 tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing of The World Trade Organization. Bagi Indonesia dan sejumlah negara lainnya, pilihan untuk menyertakan diri dalam persetujuan pembentukan WTO yang mencakup GATS tentu menuai sejumlah konsekuensi. Paling tidak, mereka harus mengagendakan program penyesuaian diri terhadap kaidah-kaidah hukum mengenai WTO, khususnya mengenai GATS. Proses transformasi kaidah hukum internasional ke dalam kaidah hukum nasional pada akhirnya pun terjadi. Konsekuensi lain yang mungkin mengemuka berkenaan dengan keikutsertaan negara-negara dalam WTO, terkait kemungkinan ketidaksinkronan, bahkan konflik berbagai kaidah hukum nasional terhadap perjanjian internasional yang telah digariskan mengikat di suatu negara sebagai kaidah hukum baru. PBB sebenarnya sudah cukup lama menyadari masalah pelik ini. Dalam resolusi Majelis Umum PBB No. 2102 (XX), menyatakan bahwa:
“conflict and divergencies arising from the laws of different states in matters relating to international trade constitute an obstale to the development of world trade”
Guna mengatasi masalah ini, sebenarnya ada tiga alternatif solusi yang dapat ditempuh:
a. Negara-negara bersepakat untuk tidak menerapkan kaidah hukum nasionalnya. Sebaliknya mereka menerapkan kaidah hukum internasional untuk mengatur hubungan-hubungan hukum yang terjadi.
b. Apabila kaidah hukum internasional tidak ada atau tidak disepakati oleh salah satu pihak, kaidah hukum nasional suatu negara tertentu dapat digunakan. Cara penentuan kaidah hukum nasional yang akan berlaku melalui penerapan prinsip choice of law. Choice of law adalah klausul pilihan hukum dimana para pihak sepakat untuk menuangkannya dalam kontrak yang mereka buat.
c. Melakukan unifikasi dan kesesuaian hukum aturan-aturan substantif kaidah hukum internasional. Kedua kata ini sama-sama berarti upaya atau proses menyeragamkan substansi pengaturan sistem-sistem hukum yang ada. Penyeragaman tersebut mencakup pengintegrasian sistem hukum yang sebelumnya berbeda. Perbedaannya tampak pada derajat penyeragaman tersebut, dalam unifikasi hukum penyeragaman mencakup penghapusan dan penggantian suatu sistem hukum dengan sistem hukum yang baru. Sementara itu, kesesuaian hukum tidak sedalam unifikasi hukum. Tujuan kesesuaian hukum hanya berupaya mencari keseragaman atau titik temu dari prinsip-prinsip yang bersifat fundamental dari berbagai sistem hukum yang ada.
Berdasarkan pengalaman, negara-negara anggota WTO cenderung memilih cara unifikasi dan kesesuaian hukum. Mereka beranggapan cara ini lebih akomodatif dalam mengantisipasi kemungkinan terjadinya konflik dengan kaidah hukum nasional mereka. Upaya win-win solution ini menipiskan peluang konflik diantara sistem-sistem hukum yang dianut oleh masing-masing negara tersebut. Pada WTO kebijakan mengenai unifikasi atau kesesuaian hukum ini terdapat dalam pasal XVI Persetujuan Pembentukan WTO yang menyatakan: “Each member shall ensure the conformity of its laws, regulations and administrative procedures with its obligations as provided in the annexed Agreements”
Ketentuan pasal ini menjadi indikator penting bagaimana WTO mewajibkan negara-negara anggotanya untuk menyesuaikan kaidah hukum nasionalnya dengan kaidah-kaidah hukum yang termuat dalam WTO. Bahkan ketentuan pasal XVI juga mewajibkan negara anggotanya untuk menyesuaikan administrasi birokrasi sesuai dengan apa yang termuat dalam Persetujuan Pembentukan WTO.
Keputusan pemerintah Indonesia yang dianggap cukup berani dalam mengikutsertakan diri pada keanggotaan WTO tentu dalam tataran implementatif di Indonesia menimbulkan sejumlah konsekuensi. Untuk mempermudah pembahasan, proses ini akan dipilah menjadi proses konsolidasi yang bersifat eksternal dan internal meliputi:
a. Proses konsolidasi eksternal, yakni:
1. Pemahaman terhadap prinsip-prinsip dasar yang termuat dalam Persetujuan Pembentukan WTO, seperti prinsip nondiskriminasi dan transparansi.
2. Pemahaman terhadap kaidah hukum internasional utamanya proses penyesuaian diri yang sebaiknya diterapkan pada kaidah hukum nasional.
3. Pemahaman terhadap kaidah hukum specific (per sektor) di bidang perdagangan jasa yang berlaku dalam praktek-praktek pergaulan internasional.
4. Pemahaman mengenai kaidah hukum terkait prosedur penyelesaian sengketa yang termuat dalam Persetujuan Pembentukan WTO.
5. Melakukan proses perundingan atau negosiasi perdagangan secara bertahap dan terus menerus dengan negara-negara lainnya yang tergabung dalam WTO.
b. Proses konsolidasi internal, yakni:
1. Melakukan pemetaan (mapping) dan pengkajian semua kaidah hukum nasional yang bertentangan dengan prinsip dasar yang termuat dalam Persetujuan Pembentukan WTO.
2. Menyiapkan seperangkat kaidah hukum nasional yang mengadopsi apa yang dikehendaki dalam Persetujuan Pembentukan WTO.
3. Penyelarasan kaidah-kaidah hukum antara pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah khususnya terkait aspek prosedural atau adminisratif.
4. Peningkatan kerjasama antarpihak yang terlibat dalam proses interaksi dan transaksi perdagangan baik itu pemerintah, pengusaha atau pemasok jasa dan masyarakat.
IV. Respon Kontradiktif Keikutsertaan Indonesia pada GATS
Pada kasus Indonesia, keikutsertaan kita dalam GATS melalui ratifikasi Persetujuan Pembentukan WTO telah menuai respon yang kontradiktif. Pandangan pertama cenderung skeptis dengan menganggap keikutsertaan Indonesia sebagai sebuah blunder yang ditengarai dapat menjerumuskan Indonesia. Mereka berargumen demikian mengingat rekam jejak Indonesia yang selalu berkutat dengan masalah, seperti beban hutang luar negeri yang sangat memberatkan, defisit perkiraan berjalan dalam neraca pembayaran yang bersifat kronis, ketidakmampuan tabungan domestik untuk membiayai investasi nasional dan masalah kepincangan struktural yang secara fundamental belum dikoreksi. Sritua Arif mengemukakan pandangan ini. Christianto Wibisono memperkuat pandangan Sritua Arif tersebut. Beliau bahkan mengganggap bahwa pembentukan WTO yang memperluas eskalasi perdagangan termasuk GATS, tak ubahnya seperti perjanjian dagang VOC dengan raja-raja Nusantara terdahulu.
Isi persetujuan seolah berbunyi kerjasama ekonomi, namun ujung-unjungnya adalah eksploitasi ekonomi. Sri Edi Swasono lalu mengatakan pasar bebas melalui WTO akan menggagalkan cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pasar bebas akan menutup hak demokrasi ekonomi rakyat miskin yang tanpa daya beli akan menjadi penonton, berada di luar pagar-pagar transaksi ekonomi. Pasar bebas juga melahirkan swastanisasi yang memberikan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak ke tangan partikelir dan asing. Ketimpangan struktural pun terjadi dan mendorong terbentuknya polarisasi sosial ekonomi yang pada akhirnya merenggangkan persatuan nasional. Pemikiran selanjutnya dari mereka yang menolak liberalisasi perdagangan melalui WTO antara lain lahir dari Amartya Sen. Guru Besar Trinity College, Cambridge, London, yang juga peraih nobel ekonomi 1998. Beliau menyatakan liberalisasi perdagangan melalui WTO sebagai proses yang justru membuat jurang si miskin dan si kaya semakin lebar. Liberalisasi mustahil bisa berfungsi adil jika tak ada kekuatan dalam memperoleh keunggulan informasi dan pengelolaan sumber daya. Liberalisasi juga takkan berfungsi optimal jika tak ada piranti lain yang membuka akses bagi semua orang untuk berperan serta. Pendek kata, tanpa aturan main yang bisa mencegah si kuat melahap yang lemah, liberalisasi akan menjadi alat perampasan ekonomi. Dari sinilah ketimpangan pendapatan dan kepincangan kesejahteraan bermula. Soemitro Djoyohadikusumo, arsitek ekonomi Orde Baru, membantah semua pandangan tersebut. Beliau bersikukuh bahwa liberalisasi ekonomi bukanlah barang haram sepanjang liberalisasi tersebut tidak bertentangan dengan semangat UUD 1945. Liberalisasi ekonomi dapat diterima sebagai upaya untuk memperbaiki struktur perekonomian dunia agar distribusi kesejahteraan di antara masyarakat dunia menjadi adil dan merata. Lebih jauh beliau mengungkapkan, bahwa adanya Persetujuan Pembentukan WTO yang melegalkan liberalisasi justru menjadi cambuk untuk mempercepat deregulasi sektor riil dan menghilangkan kebijakan-kebijakan perdagangan yang hanya menguntungkan kelompok-kelompok tertentu. Yoshihara Kunio yang mempopulerkan istilah kapitalisme semu (ersatz capitalism) mendukung pendapat ini. Beliau beranggapan modal-modal yang beredar di negara-negara berkembang sesungguhnya didominasi oleh modal asing dan kaum kapitalis Cina. Dikatakan sebagai kapitalisme semu karena mereka sebagian besar merupakan pemburu rente serta mengandalkan proteksi pemerintah dalam bentuk konsensi, lisensi, hak monopoli dan subsidi pemerintah. Pendapat ini sekaligus merespon kebijakan-kebijakan negara-negara berkembang yang enggan menerapkan kebijakan liberalisasi, namun justru memberikan kebijakan yang diskriminatif yang hanya menguntungkan segelintir pihak saja. Pemerintah Indonesia memiliki argumentasi tersendiri terkait keikutsertaannya pada Persetujuan Pembentukan WTO. Menurut Susanto Sutoyo, Dirjen Multilateral Ekubang Departemen Luar Negeri, pengaruh positif keikutsertaan Indonesia pada WTO yang juga menjadi alasan diterbitkannya Undang-undang No 7 Tahun 1994 meliputi: 1. WTO memiliki prinsip utama untuk menjamin tindakan-tindakan nondiskriminasi antarnegara anggotanya. Implementasi prinsip ini penting bagi negara-negara yang secara ekonomi lebih kecil. Jika tak terdapat suatu sistem multilateral, maka negara-negara di dunia harus bernegosiasi satu per satu dengan negara lain. Suatu proses yang tentunya akan menguras waktu, energi dan biaya.
2. Adanya sistem penyelesaian sengketa WTO memungkinkan posisi negara kecil sejajar dengan negara-negara besar. Jika melalui jalur negosiasi bilateral, negara yang lebih kecil secara ekonomi dengan posisi tawar lebih kecil tentunya akan menjadi sasaran empuk kepentingan negara besar apabila bersengketa dengannya.
3. Pembentukan WTO dapat meningkatkan arus lalu lintas barang dan jasa. Pada gilirannya, ini akan mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, mendongkrak pendapatan negara serta membuat lebih disiplinnya suatu negara sehingga tidak mudah mengubah-ubah suatu peraturan yang ditujukan untuk kepentingan segelintir orang saja.
4. Selain merupakan perangkat perjanjian internasional yang menjamin implementasi prinsip nondiskriminasi di antara negara anggotanya, WTO juga menjamin perlakuan yang berbeda atau lebih fleksibel bagi negara berkembang. Melalui pengaturan ini, negara berkembang memiliki peluang untuk mengejar ketertinggalannya dari negara-negara yang sudah lebih dulu maju.
S.B Joedono, Menteri Perdagangan RI pada tahun 1994 memperkuat alasan-alasan tersebut. Beliau menyatakan bahwa kesediaan Indonesia menandatangani final act hasil kesepakatan Putaran Uruaguay didasari oleh keyakinan bahwa pilihan ini memberikan manfaat yang lebih besar bagi Indonesia. Persetujuan ini akan memberikan payung multilateral sebagai pengayom Indonesia dalam menghadapi mitra-mitra dagang yang lebih besar. Dengan demikian, Indonesia akan berada pada posisi yang seimbang dengan mitra-mitra dagang lainnya sekaligus mereduksi kecenderungan proteksionisme yang kerapkali terjadi sebelum adanya Putaran Uruguay. Pernyataan yang ternyata sejalan dengan penjelasan Undang-undang No.7 Tahun 1994 tentang Agreement Establishing the World Trade Organization. Undang-undang ini menyebutkan bahwa Persetujuan Pembentukan WTO pada hakikatnya bukan saja memungkinkan terbukanya peluang pasar internasional yang lebih luas, tetapi juga menyediakan kerangka perlindungan multilateral yang lebih baik bagi kepentingan nasional, khususnya dalam menghadapi mitra dagang.
Pada perkembangan terbaru, Menteri Luar Negeri kita, Hasan Wirayuda mengapresiasi pilihan keikutsertaan Indonesia di dalam WTO.
Beliau mengungkapkan pola interaksi perdagangan multilateral melalui WTO sangat cocok digunakan sebagai media dalam mengembangkan perdagangan Indonesia. Pola ini jauh lebih efektif ketimbang melakukan pendekatan secara bilateral mengingat aturan mainnya yang telah jelas. Beliau lalu mencontohkan ketika Indonesia memenangkan tuntutan antidumping atas penjualan kertas ekspor ke Korea yang proses penyelesaian sengketanya melalui forum resmi dalam WTO.Marie Elka Pangestu, Menteri Pedagangan kita, mengutarakan pendapat senada. Beliau menegaskan eksistensi WTO sebagai payung yang tepat bagi Indonesia berkaitan dengan perlindungan kerja sama perdagangan dunia. Beliau juga meyakinkan bahwa absennya Indonesia dari WTO justru akan dapat memberatkan berbagai upaya dalam mengatasi ketidakpastian dalam berbagai hubungan bilateral maupun regional yang dilakukan. Beliau kembali menegaskan strategi Indonesia dalam melakukan pendekatan multilateral, regional dan bilateral. Indonesia tidak mungkin hanya mengandalkan kerja sama bilateral karena akan melemahkan posisi tawar Indonesia sebagai negara berkembang, utamanya jika harus menghadapi negara-negara maju seperti Jepang dan Amerika Serikat.
Perbedaan persepsi ini sempat terjadi tatkala GATT menjadi payung hukum transaksi perdagangan internasional. Sebagian pihak beranggapan bahwa perjanjian ini hanyalah sebuah pedoman umum yang tidak mempunyai kekuatan mengikat atau lex imperfecta. Aliran ini kemudian dikenal sebagai non-legaistik. Sementara pihak yang lain jelas-jelas beranggapan bahwa GATT memiliki kekuatan mengikat yang juga memiliki proses penyelesaian sengketa yang tegas, obyektif dan efektif. Aliran ini kemudian dikenal sebagai legalistik/ rule-oriented. Akibatnya, perjanjian GATT menjadi tumpul dan tidak memiliki kekuatan pemaksa akibat diragukannya eksistensi dari Persetujuan GATT itu sendiri.
Pasal XVI ayat 4 Agreement Establishing the World Trade Organization.
RI Berkepentingan Agar Putaran Doha Berhasil. 21 Februari 2007. http://www.antara.co.id/view/?i=1172067738&c=int&s= diakses pada 3 Maret 2009 pukul 22.37 wita.