IMPLIKASI GENERAL AGREEMENT ON TRADE IN SERVICES (GATS) BAGI OPERASIONALISASI BANK ASING DI INDONESIA
oleh
IGN Parikesit Widiatedja,SH.,MHum.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana
Abstract
GATS was entered into force in 1994 that became inseparable part of WTO. It emerged proliferation of liberalization in services surprising banks. Indonesia agreed to be bound by GATS through modifying the regulation of banks sector which gradually allowed the operation of foreign banks. The impact of its policy either positive or negative which significantly influenced the economic growth of Indonesia.
Keywords: implication, GATS, foreign banks
1. PENDAHULUAN
Melangkah di era milenium ketiga, laju perubahan berskala global berlangsung cepat dan menimbulkan sederet dampak, baik positif maupun negatif yang kesemuanya berhilir pada proliferasi liberalisasi di sektor jasa, investasi, dan hak atas kekayaan intelektual. Sektor perbankan sebagai industri jasa, tidak lepas dari kecenderungan kontemprer tersebut dengan dilahirkannya sebuah persetujuan internasional yang melegalisasi liberalisasi perdagangan jasa di seluruh dunia. Persetujuan ini belakangan dikenal sebagai General Agreement on Trade in Services yang dalam penulisan selanjutnya disebut GATS.[1]
Indonesia melalui Undang-undang No. 7 Tahun 1994, telah meratifikasi Persetujuan Pembentukan World Trade Organization (WTO) yang meliputi GATS didalamnya. Dengan demikian, Indonesia harus mentransformasi aturan-aturan hukum internasional yang terdapat di dalam GATS. Sektor perbankan pun menjadi salah satu sektor yang terkena imbas dari persetujuan yang mulai efektif berlaku sejak 1 Januari 1995 tersebut. Dalam konstruksi GATS, setiap bank yang beroperasi di suatu negara dapat berekspansi ke negara lain sebagai wujud internasionalisasi perbankan. Seiring dengan itu, Indonesia pun harus membuka diri terhadap operasionalisasi bank-bank asing yang nantinya akan berkompetisi secara terbuka dengan bank-bank Indonesia.
Tulisan ini mencoba menjawab sederet permasalahan seputar apa dan bagaimanakah mekanisme pengaturan liberalisasi sektor jasa, khususnya perbankan dalam koridor GATS? dan dampak apa yang ditimbulkan terkait keberadaan bank asing di Indonesia?
2. MEKANISME PENGATURAN GATS
Persetujuan di sektor jasa sebagai hasil perundingan Putaran Uruguay merupakan isu baru yang memiliki materi muatan nyaris sama luasnya dengan Persetujuan General Agreement on Tariff and Trade (GATT) untuk sektor barang yang mulai diterapkan sejak tahun 1947. Dengan demikian, realitas ini merefleksikan derajat keluasan materi pengaturan dan kompleksitas masalah yang menyangkut operasi sektor jasa-jasa.
Hasil Putaran Uruguay di bidang perdagangan jasa terbagi menjadi:
a. Framework Agreement
Framework agreement merupakan serangkaian aturan yang memuat prinsip-prinsip umum sebagai penegasan terhadap prinsip-prinsip umum yang terkandung dalam GATT. Pemberian warna penekanan ini dilakukan untuk menjamin terciptanya persamaan dan keadilan antar negara-negara peserta dalam menerapkan kebijakannya di sektor jasa, tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip tadi. Prinsip-prinsip umum ini terdiri dari: Prinsip Most Favoured Nation (MFN) atau Non-Diskriminasi, Prinsip National Treatment, Prinsip Transparansi dan Prinsip Progresive Liberalization.
b. Sectoral Agreement
Mengingat luasnya operasi sektor-sektor jasa dan masih besarnya disparitas dalam struktur, volume usaha, kecanggihan teknologi, dan faktor ekonomi mikro lainnya, maka tidak semua sektor jasa dapat segera mengikuti prinsip yang tercantum pada framework agreement. Pada sektor-sektor tertentu seperti: telekomunikasi, keuangan, perbankan, maritim, transportasi udara dan perpindahan personil, diperlukan berbagai langkah adaptif yang intinya menyimpang dari framework agreement dan diklasifikasikan sebagai sectoral agreement.
c. Schedule of comitments
Sebagai bukti konkret kesediaan untuk meliberalisasi sektor jasa, maka setiap negara anggota membuat schedule of commitments (SOC). SOC ini lantas mencantumkan secara eksplisit sektor-sektor yang terbuka serta jenis-jenis transaksi yang boleh dilakukan oleh foreign services provider atau pemasok jasa asing. Pada tahap pertama, dicantumkan sektor-sektor dimana negara peserta bersedia melakukan komitmen. Nantinya, mereka wajib menegaskan sektor-sektor yang akan dibuka atau telah dibuka kepada pihak asing. Dalam konstruksi bahasa yang berbeda, sektor dimana negara yang bersangkutan tidak bersedia untuk membuka diri pada tahap tersebut, maka sektor tersebut tidak termasuk dalam komitmen liberalisasi.
Mengerucut di sektor perbankan, komitmen Indonesia dalam menentukan beroperasinya jasa bank asing di Indonesia berdasarkan kesepakatan dalam GATS meliputi:[2]
1. Dalam akses pasar, pemasok jasa asing yang ingin menjual atau melayani jasa di wilayah Indonesia harus hadir di Indonesia. Kehadirannya harus dalam bentuk kantor perwakilan dan atau usaha patungan dalam bentuk Badan Hukum Perseroan Terbatas.
2. Dalam cross border supply, pada sektor perbankan diadakan pembatasan jumlah jasa yang dapat dilayani pemasok jasa asing dan lokasi pendirian kantor cabang dan cabang pembantu.
3. Pemasok jasa asing di sektor perbankan hanya mungkin memiliki saham bank nasional sebanyak-banyaknya 49% dari saham yang dijual melalui pasar modal.
4. MEKANISME PENGATURAN KEBERADAAN BANK ASING
Eksistensi bank asing memainkan peranan penting dalam menopang aktivitas investasi asing di Indonesia. Sebelas cabang bank asing telah didirikan sejak tahun 1968. Pada umumnya peranan mereka adalah mempermudah investasi asing dan aktivitas ekspor-impor serta mengembangkan industri dalam negeri dalam rangka pembangunan ekonomi dan perluasan kesempatan kerja. [3] Bank-bank asing dan bank campuran yang bergerak di Indonesia merupakan jenis bank umum. Aktivitasnya memiliki peranan dan fungsi yang sama dengan bank umum lainnya. yang membedakannya dengan bank umum milik Indonesia adalah mereka lebih mengkhususkan diri dalam bidang-bidang tertentu dan terdapat beberapa pembatasan tertentu dalam kaitannya dengan transaksi.[4]
Bank asing merupakan kantor cabang dari suatu bank di luar Indonesia yang saat ini hanya diperkenankan beroperasi di Jakarta dan membuka kantor cabang pembantu di beberapa ibukota provinsi selain Jakarta yaitu, Semarang , Surabaya , Bandung , Denpasar, Ujung Pandang , Medan dan Batam. Sejak pertengahan 1999 bank asing diberi kesempatan membuka kantor cabangnya dengan memenuhi persyaratan Bank Indonesia . Mereka dapat membuka cabangnya hanya jika berkategori bank yang memiliki aset 200 terbesar dunia dan memiliki rating minimal A dari lembaga peringkat internasional.[5]
Sebagai tindak lanjut keikutsertaannya dalam Persetujuan GATS, Pemerintah Indonesia lantas merevisi peraturan hukum perbankan melalui penerbitan Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 7 Tahun 1992 yang telah mengakomodiir prinsip-prinsip umum GATS. Dalam undang-undang tersebut telah terdapat beberapa revisi meliputi:
1. Ketentuan pasal 20 yang telah mengijinkan pembukaan kantor cabang, kantor cabang pembantu, dan kantor perwakilan dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri, yang dapat dilakukan dengan izin Pimpinan Bank Indonesia .
2. Ketentuan pasal 26 dimana setiap warga negara Indonesia, warga negara asing, badan hukum Indonesia dan atau badan hukum asing dapat membeli saham bank umum, baik secara langsung dan atau melalui bursa efek. Dengan demikian, tidak ada lagi diskriminasi terhadap hak-hak pembelian saham suatu bank.
3. Ketentuan pasal 39 yang telah menyatakan bahwa dalam menjalankan kegiatannya, setiap bank dapat menggunakan tenaga asing.
Pasal 21 lalu menyebutkan bahwa bentuk hukum dari kantor perwakilan dan kantor cabang bank yang berkedudukan di luar negeri mengikuti bentuk hukum kantor pusatnya. Kemudian dalam hal pemilikan diatur dalam pasal 22 dimana bank umum dapat didirikan warga negara Indonesia, dan atau badan hukum Indonesia dengan warga negara asing dan atau badan hukum asing melalui kemitraan.
Penjelasan yang lebih terperinci dapat ditemui dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1999 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pembukaan Kantor Cabang, Kantor Cabang Pembantu dan Kantor Perwakilan dari Bank yang Berkedudukan di Luar Negeri. Pasal 3 menyatakan bahwa bank yang berkedudukan di luar negeri yang dapat membuka kantor di Indonesia adalah bank yang mempunyai peringkat dan reputasi yang baik. Selanjutnya dalam memberikan izin pembukaan kantor-kantor bank yang berkedudukan di luar negeri, Bank Indonesia selain memperhatikan tingkat kesehatan bank yang bersangkutan, juga memperhatikan tingkat persaingan yang sehat antar bank, tingkat kejenuhan jumlah kantor bank dalam suatu wilayah tertentu serta pemerataan pembangunan ekonomi nasional.
Dalam menjalankan aktivitas perbankannya, pasal 5 peraturan pemerintah tersebut mensyaratkan bahwa kantor cabang, kantor cabang pembantu, kantor di bawah kantor cabang pembantu, dan kantor perwakilan dari bank yang berkedudukan di luar negeri, dalam melakukan kegiatan di Indonesia, tunduk pada seluruh ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan memenuhi syarat-syarat permodalan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
4. Implikasi GATS bagi Keberadaan Bank Asing
a. Implikasi Positif
Eksistensi Persetujuan GATS dapat menimbulkan beberapa implikasi positif. Setiap negara akan memiliki kebebasan yang sama dalam melakukan aktivitas bisnis, khususnya di sektor perbankan. Kebijakan-kebijakan yang bersifat protektif dan diskriminatif tidak akan terjadi lagi. Bagi Indonesia, kondisi ini dapat menjanjikan keuntungan karena bank-bank di Indonesia dapat dengan leluasa membuka kantor cabangnya di luar negeri. Sebaliknya, bank-bank asing pun dapat dengan leluasa beroperasi di Indonesia dan kita tidak bisa menetapkan kebijakan yang dapat menghambat aktivitas mereka. Tak hanya itu, lantaran menyangkut jasa perbankan, maka setiap penduduk Indonesia memiliki kebebasan dalam memilih jasa perbankan yang memberikan pelayanan terbaik bagi mereka, tanpa adanya keharusan untuk menggunakan suatu produk dari bank-bank tertentu.
Implikasi positif selanjutnya menyangkut peningkatan kontribusi bank-bank asing bagi perkembangan bank di Indonesia. Pada gilirannya mereka dapat mendorong laju pergerakan sektor-sektor jasa lainnya yang berujung pada peningkatan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Tidak bisa dipungkiri bahwa kehadiran bank-bank asing yang saat ini berjumlah 11, telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perkembangan perbankan nasional. Dengan beroperasi di Indonesia, mereka juga dapat menambah sumber finansial bagi pengembangan usaha dan memacu sektor riil yang saat ini tengah berjuang menghadapi belitan krisis ekonomi global.
Sumbangsih bank-bank asing lainnya dapat dilihat dari keragaman inovasi produk yang membuatnya menjadi market leader. Mereka telah menjadi pionir dalam beberapa produk derivatif seperti credit linked notes, investment linked deposits, dan asset backed securities, di mana bank-bank nasional masih menjadi pengikut. Kehadiran mereka tentu membawa suatu teknologi dan pengetahuan yang bermanfaat bagi kepentingan bank di Indonesia. Sebagai media transfer teknologi, bank-bank di Indonesia nantinya akan mengetahui beragam jenis dan trik pemasaran, sistem manajemen kerja, pengembangan sumber daya manusia hingga diversifikasi produk-produknya.
b. Implikasi Negatif
Selain mendatangkan implikasi postif, GATS juga menghadirkan implikasi negatif yang berpotensi memperburuk atmosfer perbankan di Indonesia. Hal yang paling mendasar, GATS telah mengeneralisasi keberadaan bank-bank yang beroperasi di suatu negara, memiliki kekuatan yang relatif berimbang untuk bersaing satu sama lain. GATS seakan mengingkari konstelasi perbankan dunia bahwa masih terdapat bank-bank sehat dan tidak sehat, bank-bank besar dan kecil. Tak ayal, fakta ini juga berdampak pada eksistensi bank-bank yang tidak sehat dan kecil tersebut karena ekspansi bank asing yang notabene memiliki kinerja kuat, menyebabkan mereka teralienasi dan berangsur-angsur tereliminasi di negerinya sendiri.
Kepemilikan bank-bank asing yang terlalu ekspansif dapat pula menimbulkan implikasi negatif. Kita patut mengkhawatirkan keberadaan mereka yang senantiasa mengintervensi setiap kebijakan perbankan pemerintah. Tendensi ini tak terlepas dari proporsi kepemilikan bank asing di perbankan nasional saat ini yang telah meningkat hingga mencapai 40%. Jika dibandingkan saat sebelum krisis ekonomi terjadi, penguasaan bank-bank asing hanya 11%. Perubahan yang cukup drastis tersebut disebabkan oleh krisis ekonomi yang menimpa Indonesia pada tahun 1998.
Selain itu, kehadiran bank asing ditengarai sering mempengaruhi nilai tukar mata uang rupiah di Indonesia . Sebagaimana diketahui, pengaruh nilai mata uang dapat memberikan efek kejut yang luar biasa bagi kebijakan perbankan di Indonesia . Untuk itu, Bank Indonesia harus bertindak tegas terhadap spekulan rupiah yang cenderung dimotori oleh bank-bank asing. Tindakan preventif ini dapat dilakukan melalui larangan internasionalisasi rupiah sehingga niscaya akan dapat melepaskan rupiah dari faktor instabilitas ekonomi dan politik.
Beberapa waktu belakangan ini, bank-bank asing disinyalir lebih memprioritaskan penyaluran kredit konsumtif dengan mengandalkan kecanggihan teknologi dan kekuatan jaringan yang mereka miliki. Bank asing sangat gencar dalam memasarkan kartu kredit, kredit produk otomotif, berspekulasi mata uang dan menawarkan deposito valas serta rupiah dengan suku bunga yang lebih rendah dari bank-bank lokal di Indonesia . Keadaan ini dapat berimplikasi negatif apabila terus menerus berlangsung karena lambat laun melahirkan budaya konsumtif bagi masyarakat Indonesia.
Akhir implikasi negatif dari Persetujuan GATS adalah semakin kuatnya pengaruh bank-bank asing di Indonesia . Pada titik ini, bank-bank yang kuat akan semakin digjaya dengan menunjukkan eksistensinya dan mengakibatkan kolapsnya bank-bank lokal di Indonesia. Ketidakseimbangan arus persaingan dalam bidang perbankan, menjadi pemicunya. Tendensi ketergantungan kepada bank-bank asing pun tak dapat dihindarkan apabila mereka pada akhirnya menguasai peta persaingan perbankan di Indonesia .[6]
5. PENUTUP
a. Kesimpulan
Persetujuan GATS telah menjadi cikal bakal liberalisasi di sektor jasa yang menyentuh pula perbankan. Indonesia sendiri melalui Undang-undang No. 7 Tahun 1994 telah menyatakan diri terikat pada GATS. Sebagai tindak lanjut, Pemerintah Indonesia lalu menerbitkan Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 7 Tahun 1992. Pada intinya, Indonesia akan menerapkan kebijakan liberalisasi secara bertahap pada sektor perbankan. Kebijakan tersebut bertujuan untuk menyediakan akses yang lebih luas bagi bank-bank asing dalam mendirikan, memiliki dan mengoperasikan lembaga perbankan di Indonesia, dengan tetap mengacu pada ketentuan yang berlaku di Indonesia.
Sederet dampak pun muncul sebagai ekses opsi kebijakan yang ditempuh pemerintah. Adanya kesempatan yang sama dan merata, peningkatan kontribusi perbankan asing bagi pertumbuhan ekonomi, dan pelaksanaan alih teknologi merupakan dampak positif yang diperoleh. Sementara itu, timbulnya dominasi perbankan asing, intervensi terhadap kebijakan pemerintah dan nilai tukar mata uang serta tumbuhnya budaya konsumtif di masyarakat menjadi dampak negatif yang harus kita terima.
b. Saran
Bertolak dari pembahasan di atas, penulis mencoba menawarkan beberapa saran menyangkut tindakan antisipatif dalam menghadapi serbuan bank-bank asing melalui langkah-langkah:
1. Penguatan kesehatan bank. Struktur perbankan yang sehat merupakan jawaban dari semua permasalahan perbankan, karena baik buruknya sektor perbankan akan cenderung ditentukan oleh kinerja struktur yang terbentuk, ditambah pengawasan dan pengaturan yang efektif.
2. Penetapan standarisasi perbankan. Kebijakan ini dapat dilakukan dengan mengacu kepada standarisasi bagi bank-bank asing yang ada sehingga memacu daya saing dan kesiapan perbankan nasional, baik secara internal maupun eksternal.
3. Penyaluran kredit bagi UKM. Kontribusi bank asing bagi perekonomian Indonesia harus lebih diarahkan bagi penyaluran kredit investasi dan modal kerja, termasuk kepedulian pada sektor usaha kecil menengah (UKM). Selama ini, mereka kurang mendapatkan perhatian dari bank-bank asing yang lebih tertarik pada aktivitas treasury, credit card, dan trade finance.
4. Pembentukan bank jangkar. Dalam mengantisipasi keberadaan jasa bank asing yang semakin luas di Indonesia , pemerintah perlu memikirkan upaya pembentukan bank jangkar untuk mengimbangi ekspansi dari bank asing tersebut. Adanya bank jangkar inilah yang niscaya menjadi lawan sepadan bagi bank-bank asing yang beroperasi di Indonesia .
DAFTAR PUSTAKA
Kartadjomena,H.S.1996. GATT dan WTO, Sistem Forum dan Lembaga Internasional Di Bidang Perdagangan. Jakarta: UI-Press.
-------------------- 1997. GATT WTO dan Hasil Uruguay Round. Jakarta:UI-Press.
Kasmir.2002. Dasar-Dasar Perbankan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Luckett,Dudley G.1994. Uang dan Perbankan.diterjemahkan oleh Paul C. Rosyadi. Surabaya :Erlangga.
Rudjito.2004. Kegunaan Penerapan Risk Management Untuk Perbankan, Jakarta: Jurnal Hukum Bisnis.
Siamat,Dahlan. 2001. Manajemen Lembaga Keuangan. Jakarta: Lembaga Penerbitan FE-UI.
Widiatedja, IGN Parikesit. 2010. Liberalisasi Jasa dan Masa Depan Pariwisata Kita. Denpasar: Udayana University Press.
-----------------------------. 2010. Bunga Rampai Pemikiran Hukum Kontemporer. Denpasar: Udayana University Press.
Direktorat Hubungan Perdagangan Multilateral dan Regional Departemen Perindustrian dan Perdagangan RI. World Trade Organization Sebagai Lembaga Pelaksana Dalam Mewujudkan Liberalisasi Perdagangan Dunia. http://www.ditjenkpi.go.id/website_kpi/fiks/con
[1] H.S. Kartadjomena.1996. GATT dan WTO, Sistem Forum dan Lembaga Internasional Di Bidang Perdagangan. Jakarta: UI-Press.
[2] Direktorat Hubungan Perdagangan Multilateral dan Regional Departemen Perindustrian dan Perdagangan RI.2004. World Trade Organization Sebagai Lembaga Pelaksana Dalam Mewujudkan Liberalisasi Perdagangan Dunia. http://www.ditjenkpi.go.id/website_kpi/fiks/con diakses pada 19 juni 2009 pukul 13.30 wita.
[3] Luckett,Dudley G.1994. Uang dan Perbankan.diterjemahkan oleh Paul C. Rosyadi. Surabaya :Erlangga, h. xiv
[4] Kasmir.2002. Dasar-Dasar Perbankan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, h.38
[5] Dahlan Siamant. 2001. Manajemen Lembaga Keuangan. Jakarta: Lembaga Penerbitan FE-UI, h.29
[6] IGN Parikesit Widiatedja. 2010. Bunga Rampai Pemikiran Hukum Kontemporer. Denpasar: Udayana University Press, h. 45
Tidak ada komentar:
Posting Komentar