Muatan Liberalisasi dalam
Undang-undang Kepariwisataan Kita
Oleh
IGN Parikesit Widiatedja
Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana
Memasuki era milenium ketiga atau yang oleh Alvin Toffler dan Francis
Fukuyama persepsikan sebagai era informasi atau post industry, berbagai
perubahan dalam berbagai lini telah
terjadi dan bermuara pada akselerasi kehidupan.
Tendensi masif ini pada gilirannya menimbulkan saling ketergantungan (interdependence)
dalam kehidupan antarnegara bangsa (nation states) dan hubungan transnasional (transnational
relations). Tak dapat dipungkiri bahwa liberalisasi telah memberikan andil
yang cukup kontributif bagi eskalasi perubahan tersebut. Tentu dalam perjalanannya proses konvergensi akibat realitas kontemporer
itu tidak hanya melahirkan sinergi, namun juga menuai irama
pergesekan-pergesekan atau bahkan fragmentasi.
Harus diakui bahwa liberalisasi merupakan proses yang sulit dihindari. Sebagai
suatu perubahan sosial, meminjam bahasa Ralf Dahrendorf, hampir tak ada satu negara
pun yang mampu berlari dari dekapan liberalisasi, hanya mungkin derajat
penerapannya bergantung pada kebutuhan,
kemampuan, kemauan dan kesiapan suatu negara itu sendiri. Barangkali tepat jika
beberapa pihak bahkan mengasumsikan liberalisasi sebagai proses alamiah yang
memang seharusnya terjadi. Dengan kata lain, liberalisasi merupakan sebuah
takdir sejarah kehidupan manusia kini. Ibarat virus, liberalisasi bergerak
secara perlahan dalam tingkat yang tadinya
kecil untuk kemudian bertransmutasi ke tingkat yang lebih besar, mulai dari
sisi ekonomi,sosial, politik hingga budaya sejalan dengan apa yang dikemukakan
oleh Talcot Parson sebagai cybernetika dan kini merambah berbagai sektor
meliputi perdagangan, investasi, HaKI dan jasa-jasa.
Ditinjau dari perspektif perdagangan, liberalisasi menekankan pada platform kebebasan
individu atau peran rakyat secara aktif, dengan peran negara yang negatif dalam
transaksi perdagangan. Merujuk teori dari maestro ilmu negara, George Jellinek.
Liberalisasi juga memungkinkan adanya konstelasi hubungan atau interaksi dengan
seluruh negara, tanpa adanya suatu pembatasan tertentu dalam produksi,
distribusi hingga pemasaran suatu produk barang dan jasa. Dalam perspektif
hukum, sistem hukum yang dianut pun memberikan ruang proteksi optimal bagi
kemerdekaan individu dengan mengarusutamakan prinsip kebebasan (principle of
freedom), prinsip persamaan hak (principle of legal equality) serta
prinsip timbal balik (principle of reciprocity). Sejalan dengan
fungsinya sebagai social engineering dan social empowering, materi
muatannya diterjemahkan untuk meladeni
paradigma yang mengabdi pada akumulasi laba tersebut. Bahkan, keadilan menjadi variabel
yang bersifat sub-ordinat dari
kemerdekaan individu.
Bagi sebagian negara khususnya yang berada di belahan bumi utara,
liberalisasi perdagangan memunculkan peluang dan harapan yang sangat
menggiurkan dalam memakmurkan dan mensejahterakan rakyatnya. Tidak salah apa yang dikatakan oleh Richard
Rosecrance, bahwa betapa besar kekuatan yang dapat diwujudkan suatu negara
melalui liberalisasi perdagangan. Kegiatan tersebut bahkan mampu menggantikan
ekspansi wilayah dan perang militer sebagai kunci pokok menuju kesejahteraan
dan pencapaian kekuasaan internasional. Beliau menyimpulkan bahwa manfaat
perdagangan dan kerjasama internasional jauh melampaui manfaat persaingan
militer dan perluasan wilayah.
Tak heran bila pada akhirnya negara-negara di dunia pun seakan latah dengan
berlomba-lomba mengintrodusir paradigma liberalisme dalam mengelola kehidupan
masyarakatnya. Opsi kebijakan tersebut tentu tak lepas dari konfigurasi global
yang didominasi oleh kekuatan Washington Consensus dan terepresentasikan
pada tiga lembaga multilateral IMF, World Bank dan WTO, yang getol mempromosikan
paradigma adikarya Adam Smith tersebut. Sebagai refleksi citra good boy
dalam pergaulan internasional, Indonesia pun tak luput memulai penerapan
prinsip-prinsip liberalisasi dan menjabarkannya dalam sistem hukum yang sejalan
dengan kehendak ketiga tirani perdagangan dunia tersebut. Ratifikasi
Persetujuan Pembentukan WTO melalui Undang-undang No.7 tahun 1994 menjadi
tonggak bersejarah keterbukaan kita terhadap liberalisasi. Proses yang dilalui
tanpa mekanisme reservasi tersebut hingga kini masih menuai polemik di dalam
negeri terkait kandungan manfaatnya.
Untuk memperkuat legitimasi proses tersebut, maka instrumen hukum pun
menegaskan kembali dalam bentuk kaidah-kaidah hukum yang tidak hanya menyentuh level teknis, namun
telah menyentuh level konstitusi
sebagai manifestasi politik hukum pemerintah. Refleksi pengakuan tersebut dapat
ditemukan pada pasal 33 ayat (4) melalui pencantuman asas efisiensi, dan pasal
28 H ayat (4) UUD 1945 tentang pengakuan dan jaminan terhadap hak milik
individu dari pengambil-alihan secara sewenang-wenang oleh siapapun. Perubahan
yang cukup revolusioner ini lalu diikuti dalam tingkatan undang-undang. Tak
kurang sekitar tiga puluh undang-undang telah diterbitkan pemerintah seiring
keterlibatannya dalam proses liberalisasi. Berawal dari Undang-undang No.10 tahun 1998 tentang
Perbankan hingga Undang-undang No.10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan.
Pariwisata dan Liberalisasi
Sebagai salah satu industri terbesar di dunia, pariwisata terbukti dan
teruji menjadi lokomotif penggerak ekonomi, terlebih apabila dilihat dari daya
serap tenaga kerja yang tinggi dan kontribusinya bagi PDB. Pada 2004, industri
tanpa cerobong asap tersebut memberikan kontribusi pada PDB dunia sebesar 10,4%, penyerapan
tenaga kerja 8,1%, ekspor 12,2% dan penanaman modal 9,4%. Disamping itu, pariwisata juga menjadi satu dari lima kategori ekspor
utama dari 83% negara-negara di dunia, dan telah menjadi sumber devisa utama
sedikitnya 38% dari negara-negara itu. Nantinya, pariwisata akan terus tumbuh
dengan baik dan World Tourism Organization (WTO) memproyeksikan pada
2020 akan terdapat sekitar 1,6 miliar wisatawan mancanegara.
Dengan sederet potensi yang dimilikinya, tak salah jika beberapa negara
memberikan postulasi pariwisata layaknya ladang emas baru. Pariwisata tak hanya
dianggap sebagai aktivitas tersier yang bersifat sampingan, tetapi sebagai
sebuah industri jasa yang dinilai dari berbagai faktor produksi seperti: modal,
tanah, tenaga kerja, teknologi, manajemen dan keragaman inovasi, menjanjikan
keuntungan yang maksimal. Dan seiring dengan berdirinya World Trade
Organization melalui Putaran Uruguay 1994, maka pariwisata pun menjadi
sektor yang terkena imbas liberalisasi. Alhasil, Indonesia pun mengeluarkan
komitmen liberalisasi pariwisatanya dengan mengijinkan beroperasinya pemasok
jasa asing di tiga subsektor meliputi; Hotel (minimal bintang 3), Tour
Operator/Travel Agent (di Jakarta & Bali) dan Tenaga Kerja Asing
(setingkat manajer).
Sebagai refleksi keseriusan lainnya, pemerintah lalu menerbitkan
Undang-undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Dalam konsideran, pemerintah menempatkan pariwisata sebagai bagian integral dari pembangunan
nasional yang dilakukan secara sistematis, terencana dan terpadu, berkelanjutan,
dan bertanggung jawab, dengan tetap memberikan perlindungan terhadap
nilai-nilai agama, budaya yang hidup dalam masyarakat, kelestarian dan mutu
lingkungan hidup serta kepentingan nasional. Undang-undang yang mulai berlaku
sejak 16 Januari 2009 tersebut juga menyatakan bahwa pembangunan kepariwisataan
diperlukan untuk mendorong pemerataan kesempatan berusaha dan memperoleh
manfaat serta mampu menghadapi tantangan perubahan kehidupan lokal, nasional
dan global.
Ditinjau dari sisi definisi, pasal 1 ayat 1 Undang-undang Kepariwisataan
menyebutkan bahwa wisata merupakan kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh
seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan
rekreasi, pengembangan pribadi atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang
dikunjungi dalam jangka waktu sementara. Sementara Pariwisata sendiri seperti
yang tersebut dalam pasal 1 ayat 3 merupakan
berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta
layanan, yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah dan pemerintah
daerah. Kemudian kepariwisataan diartikan sebagai keseluruhan kegiatan yang
terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang
muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara
wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, pemerintah, pemerintah
daerah dan pengusaha.
Sepintas, merujuk pada konsep dan
definisi di atas, belum terlihat adanya muatan liberalisasi secara eksplisit
dalam undang-undang Kepariwisataan kita. Justru yang menonjol adalah kesan
bahwa pemerintah hendak menjadikan pariwisata sebagai wahana pelestarian
kekayaan budaya, alam dan lingkungan hidup sehingga niscaya akan menjadi
keunggulan komparatif kita. Upaya meningkatkan kapasitas dan memobilisasi
seluruh sumber daya pariwisata nampak pula terlihat ketika substansi undang-undang
kepariwisataan mensyaratkan adanya peningkatan kualitas SDM, gerakan keterpihakan
pada usaha mikro dan UKM, proses standardisasi dan sertifikasi pelaku usaha
pariwisata, serta pembentukan kawasan strategis pariwisata dan badan promosi
pariwisata.
Muatan liberalisasi akan mulai tercium ketika undang-undang kepariwisataan memberikan
pengakuan kegiatan berwisata sebagai Hak Asasi Manusia
(HAM). Dalam menimbang point b UUK, disebutkan bahwa kebebasan melakukan
perjalanan dan memanfaatkan waktu luang dalam wujud berwisata merupakan bagian
dari hak asasi manusia. Pasal 5 point b UUK kemudian menjabarkan ketentuan ini
dengan menyatakan pemyelenggaraan kepariwisataan berdasarkan pada prinsip
menjunjung tinggi hak asasi manusia, keragaman budaya dan kearifan lokal.
Menelusuri jejak sejarahnya, HAM lahir
dari Perjanjian Internasional Hak Sipil dan Politik 1966 (International
Convenant on Civil and Political Rights) yang lebih mempromosikan prinsip
penegakan hak-hak individu. Terlebih lagi, kesepakatan yang mulai efektif
berlaku sejak 1976 tersebut diperjuangkan oleh negara-negara yang cenderung
menganut paham liberalisme. Sehingga cukup beralasan apabila HAM kemudian
disinyalir sebagai salah satu instrumen barat dalam menyebarkan ideologi
liberalisme. Paham yang lahir dari
sekularisme barat tersebut telah tegas memisahkan agama dengan urusan kehidupan
yang sarat dengan ide-ide kebebasan.
Sebagai maskot konstitusionalisme dan refleksi eksistensi negara hukum (rechtstaat),
HAM memberikan jaminan bahwa manusia akan mampu mengembangkan potensinya secara
utuh. Namun dalam perkembangan selanjutnya, konsep pengakuan HAM yang tadinya sangat
mulia ini telah dipelintir oleh negara-negara maju dengan memanfaatkannya
sebagai tameng dalam menyebarkan paham liberalisme. Jalinan kooperatif antar
keduanya akan terlihat ketika negara maju ditengarai menggunakan pengakuan HAM
sebagai trayek awal bagi pengakuan
kebebasan individu dalam segala sendi kehidupan termasuk dalam perdagangan
barang dan jasa. Masih terngiang dalam ingatan kita ketika Indonesia terikat
dengan IMF, dimana pelaksanaan prinsip good governance yang notebene
meliputi pula pengakuan terhadap HAM, menjadi persyaratan kompulsif bagi
pengucuran bantuan IMF kala itu ke Indonesia.
Sejatinya Indonesia sendiri telah memiliki aturan hukum mengenai HAM secara
sui generis. Hal ini dapat dilihat dari Undang-undang No. 39 tahun 1999
tentang HAM dan Undang-undang No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Berangkat
dari kenyataan tersebut, pengakuan
kegiatan berwisata sebagai HAM dalam undang-undang kepariwisataan sesungguhnya
bukan merupakan sesuatu yang urgen. Untuk itu, perlu penelitian lebih mendalam mengenai proporsi
kontribusinya bagi peningkatan kunjungan wisatawan baik lokal maupun
internasional dan pendapatan yang
diperoleh dari sektor pariwisata.
Muatan liberalisasi lainnya akan terlihat ketika Undang-undang
kepariwisataan mengakui dan memberikan perlakuan sama atau nondiskriminasi bagi
seluruh pelaku usaha yang menjalankan usahanya di Indonesia. Prinsip yang
menjadi trademark GATT dan WTO tersebut dapat ditemukan pada Pasal 22
point a dimana ditentukan bahwa setiap
pengusaha pariwisata berhak untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam
berusaha di bidang kepariwisataan. Pemerintah dan pemerintah daerah pun
berkewajiban dalam menciptakan iklim yang kondusif untuk perkembangan usaha
pariwisata yang meliputi terbukanya
kesempatan yang sama dalam berusaha, memfasilitasi dan memberikan kepastian
hukum, seperti yang ditegaskan pada Pasal 23 ayat 1 point b. Sementara pasal 26
point c mewajibkan setiap pengusaha
pariwisata untuk memberikan pelayanan yang tidak diskriminatif.
Prinsip perlakuan sama atau nondiskriminasi merupakan syarat mutlak bagi
setiap gerakan liberalisasi yang berlaku di suatu negara. Pada konteks
liberalisasi jasa pariwisata, penegakan terhadap prinsip ini akan meniadakan
upaya-upaya proteksi sepihak dan pemberian fasilitas atau keistimewaan tertentu
bagi segelintir pihak, khususnya mereka yang memiliki bekal kekuatan modal dan
dekat dengan kalangan penguasa. Pada pola relasi seperti ini, baik individu
maupun korporasi nantinya memiliki kebebasan untuk bertransaksi dengan siapa
saja, kemana saja dan kapan saja tanpa adanya suatu hambatan atau
batasan-batasan diskriminatif tertentu.
Namun yang patut diwaspadai adalah keberadaan prinsip nondiskriminasi
sebagai sebuah justifikasi bagi pemasok jasa asing, khususnya di sektor
pariwisata untuk menuntut peningkatan atau perluasan operasional perusahaan
jasanya yang ada di Indonesia. Tabiat
liberalisasi yang berkarakter agresif dan penetratif serta merupakan
kristalisasi kehendak dari negara-negara maju, dapat menjadi barometernya. Benar
apa yang dikatakan oleh Mubyarto bahwa liberalisasi merupakan pemecahan
kejenuhan pasar negara-negara maju dan mencari tempat-tempat penjualan serta
pembuangan produk-produk yang sudah mengalami kesulitan di negara mereka. Selain
itu, tentu kita tidak ingin kejadian yang sempat menimpa Undang-undang No.25
tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang beberapa isinya dibatalkan oleh
Mahkamah Konstitusi lantaran membuka kran liberalisasi berlebihan, terulang
pada undang-undang kepariwisataan kita ini.
Sebagai sebuah negara yang diposisikan
sebagai ujung tombak negara-negara berkembang, Indonesia acapkali memunculkan gelombang masalah ketika berupaya
mengakomodiir keberadaan liberalisasi. Kurangnya pemahaman mengenai hakekat,
makna dan pengejahwantahan dari paham yang mengusung slogan pay less get
more tersebut, menjadi alasan utamanya. Kondisi yang sulit dan sarat
tantangan ini tentu tak dapat dipisahkan dari keterbatasan modal, teknologi,
infrastruktur dan yang terutama sumber daya manusia. Realitas yang menyodorkan
peringatan bahaya bagi posisi Indonesia yang ditinjau dari aspek geografis,
geologis, sosial ekonomi, klimatologis dan keuangan, merupakan pasar potensial
dalam peningkatan aktivitas ekonomi negara-negara maju.
Di sektor pariwisata, tendensi eksploitatif ini seringkali diungkapkan oleh
banyak peneliti. D.A Fennel salah
satunya berpendapat bahwa pariwisata telah menjadi wahana eksploitasi dari
negara-negara maju. Berbagai fasilitas yang ada, sebagian besar adalah
fasilitas yang diimpor dari negara asal wisatawan, misalkan saja mobil
didatangkan dari Jerman, komputer dari Jepang, printer dari Hongkong,
lampu dari Inggris, whisky dari Scotlandia, vodka dari Rusia,
makanan dari Prancis, tas dari Italia, fire equipment dari USA dan furniture
dari Swedia.
Tidak salah jika pada akhirnya liberalisasi seolah-olah menempatkan negara-negara maju
sebagai predator bagi negara-negara berkembang. Alih-alih meneteskan
kesejahteraan (trickle down effect), mereka justru menimbulkan negasi
dengan menambah kantong-kantong kemiskinan di negara berkembang dan pada
gilirannya menimbulkan ketergantungan akut, yang berakibat pada semakin
lemahnya posisi negara-negara berkembang dihadapan hegemoni negara-negara maju.
Joseph Stiglitz lantas mendeskripsikan
konstruksi ini sebagai realitas yang asimetris. Sebagai ilustrasi, kolaborasi
negara-negara maju yang berklaster minoritas dan terafiliasi dalam G-8 dengan tingkat kepadatan kurang dari
sepertiga penduduk dunia, mengkonsumsi lebih dari 40% energi, menikmati
kesejahteraan 50% dalam bentuk barang dan jasa dan menguasai lebih dari 50%
ekspor dunia. Sementara itu, negara-negara ketiga dengan tingkat kepadatan 2/3
dunia hanya menikmati kurang dari 20% kesejahteraan dan pemerataan dunia.
Agar kondisi ini tak terus terulang di masa mendatang, pemerintah wajib memberikan kedalaman pengertian dan
pemahaman, bahwa hakikat liberalisasi tidak
hanya mendengung-dengungkan perdagangan bebas dan pertumbuhan ekonomi, namun
bagaimana liberalisasi sanggup melahirkan suatu keadilan yang lebih bersifat
substantial. Salah satu parameternya adalah timbulnya distribusi kesejahteraan
kepada negara-negara berkembang dan terbelakang. John Rawls menyebutnya sebagai
justice as fairness. Tak hanya itu, kita pun dapat berlindung di balik prinsip-prinsip liberalisasi jasa dalam
GATS (General Agreement on Trade in Services) yang notebene dilaksanakan
secara gradual (progressive liberalization), berdasarkan tujuan
kebijakan nasional, mempertimbangkan tingkat perkembangan setiap negara, dan
memiliki fleksibilitas tertentu bagi negara berkembang seperti Indonesia.
Akhirnya, demi mewujudkan peranan pariwisata sebagai katalisator dalam mempercepat manifesto atau cita-cita mulia
Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur ( gemah ripah loh jinawi)
di tahun 2025, pemerintah wajib
mendengarkan aspirasi para pelaku usaha pariwisata dan masyarakat dalam sebuah
ruang dialog, untuk secara proaktif mengidentifikasi segala kebutuhannya dalam
menghadapi pergulatan liberalisasi, sekaligus memberikan koreksi yang obyektif,
berkelanjutan serta bersama-sama mencari ukuran solusi yang tepat. Pasalnya,
merekalah yang nantinya merasakan dampak langsung dari proses liberalisasi yang
rencananya akan diberlakukan penuh pada tahun 2020 itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar