DESAIN STRATEGI 4-4-2 MENYONGSONG
LIBERALISASI PARIWISATA
JUDUL BUKU
Liberalisasi Jasa Dan Masa Depan
Pariwisata Kita
PENULIS
IGN Parikesit Widiatedja
PENERBIT
Udayana University Press
CETAKAN
Pertama, Maret 2010
TEBAL
xxiv + 172 halaman
Keikutsertaan proaktif Indonesia dalam GATS (General
Agreement on Trade in Services) dan AFAS (ASEAN Framework on Services)
berimplikasi pada liberalisasi di sektor pariwisata. Proses ini menjadi isu
sentral yang menjadi sorotan publik di tengah upaya strategis yang disiapkan
untuk memajukan sektor tanpa cerobong asap tersebut. Pelbagai upaya promosi dan
serangkaian aksi keterpihakan dilakukan untuk mendongkrak sektor ini, dalam
ihtiarnya untuk meningkatkan kontribusinya bagi pembangunan sebagai eksesmultiplier
effect yang ditimbulkan. Proses liberalisasi pada sektor jasa mencakup
pemasokan atau penyediaan jasa-jasa melalui 4 modus penyelenggaraan jasa (modes
of supply) yaitu Cross Border Supply, yakni penyelenggaraan lintas
negara dari wilayah satu negara anggota ke wilayah negara anggota lainnya, Consumption
Abroad, atau konsumsi di luar negara, yaitu konsumsi dalam wilayah suatu
negara anggota kepada konsumen dari negara anggota, Commercial Presence,
yakni keberadaan komersial oleh penyedia jasa dari suatu negara anggota melalui
kehadirannya di negara anggota lainnya, seperti kantor perwakilan/cabang dan Presence/Movement
of Natural Persons, hal ini sangat berkaitan dengan keberadaan SDM.
Penyediaan jasa dari satu negara anggota melalui 12 kehadiran personil
(penyedia jasa) di negara anggota lainnya.
Dalam menyongsong liberalisasi
pariwisata yang rencananya akan diberlakukan penuh di tahun 2020, Indonesia
dapat melakukan manual prosedur offer and request pada sektor-sektor
yang telah menjadi brand image dan menjadi keunggulan komparatif
pariwisata. Sebagai suatu mekanisme perundingan yang lazim berlaku di dalam
WTO, setiap negara dapat menyampaikan komitmen (offer) mengenai
deregulasi dan debirokrasi bagi orang atau perusahaan asing untuk ikut ambil
bagian dalam jasa pariwisata misalnya memungkinkan warga negara lain
atau perusahaan asing memiliki persentase saham dalam sektor perhotelan di
suatu wilayah negara pemberi komitmen, dan sebaliknya dapat pula meminta hal
yang sama kepada negara lain (request). Proses negosiasi intensif ini
dapat dilangsungkan secara bilateral, plurilateral, dan multilateral.
Beranjak dari konsep di atas,
pemerintah menjadi aktor utama dalam menentukan masa depan pariwisata yang
berorientasi pada penyediaan jasa pawisata yang berstandar internasional.
Tujuan jangka panjang tersebut dapat ditransformasikan dalam suatu tindakan
pemerintah yang diistilahkan dengan kebijakan publik. Kebijakan ini menurut
Hugh Heglo adalah “suatu tindakan yang bermaksud mencapai tujuan (goal, end)
tertentu (a course of action intended to accomplish some end). Konstruksi
desain kebijakan pemerintah di sektor pariwisata inilah yang dideskripsikan
secara apik dan faktual oleh IGN Parikesit Widiatedja (29th), Dosen muda
Fakultas Hukum Universitas Udayana. Dalam buku keduanya yang berjudul
Liberalisasi Jasa dan Masa Depan Pariwisata Kita, penulis menjelaskan mengenai
teorema Angels sebagai rekomendasi desain kebijakan. Eksistensi seorang
malaikat atau bidadari yang termanifestasi sebagai agen kebenaran dan pencerahan
menjadi argumentasi istilah Teorema Angels ini dipergunakan.
Teorema Angels merupakan rumus
praktis ala penulis yang terdiri atasability, national interest, gradual,
equality, lawful dan sustainable. Abilityatau kemampuan, yakni
pemerintah dalam mendesain suatu kebijakan wajib didasarkan pada kemampuan riil
yang dimiliki baik ditinjau dari dimensi internal maupun eksternal. Realitas
kebijakan yang ada, kualitas sumber daya manusia, potensi produk yang
ditawarkan, ketersediaan infrastruktur, penguasaan teknologi hingga konfigurasi
persaingan global menjadi parameter kompulsif untuk mengukur dan menganalisis
kesiapan Indonesia dalam menghadapi fenomena kontemporer tersebut. Selanjutnya,
kepentingan nasional menjadi faktor yang sangat penting dalam menentukan arah
dan kendali liberalisasi pada subsektor-subsektor pariwisata. Tak hanya itu,
kepentingan nasional mewajibkan pula pemerintah untuk mengutamakan dan
memprioritaskan aspek manfaat bagi perekonomian dalam bentuk
proteksi dan pengakomodasian kepentingan nasional dalam persetujuan GATS.
Proses inilah yang diistilahkan penulis dengan National Interest.
Gradual atau bertahap
merupakan trademark GATS. Proses ini dapat diilustrasikan sebagai
proses tebang pilih yang berorientasi pada kemampuan dan kepentingan sendiri
sehingga tidak semua subsektor harus diliberalisasikan. Pemerintah mengambil
peran penting dalam menentukan subsektor-subsektor apa yang sudah siap atau
belum siap untuk diliberalisasi. Desain kebijakan juga seyogyanya
mempertimbangkan prinsip equality.Equality dalam konteks ini
merupakan pemerataan yang mencerminkan jiwa, semangat, dan tujuan ideal dari
setiap desain kebijakan yang akan digulirkan. Kebijakan yang ditempuh harus
mengarah pada pencapaian pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya serta tidak
terjebak pada ideologi pertumbuhan ekonomi yang sedang gencar dipromosikan
oleh negara-negara kapitalis. Pemerataan dapat ditempuh melalui
pendistribusian kesejahteraan, baik dalam bentuk perlindungan hukum maupun
prioritas pembangunan ekonomi bagi mereka yang berklaster minoritas dan
cenderung termarjinalkan.
Lawful menghendaki setiap
desain kebijakan yang ditempuh pemerintah sesuai dengan kaidah-kaidah hukum
yang berlaku. Dengan kata lain, proses harmonisasi dan transformasi persetujuan
GATS ke dalam kaidah hukum nasional harus sesuai dengan teori penjenjangan
norma sebagaimana yang diungkap oleh Hans Kelsen dalam Stufenbau theory.
Dan sustainableatau berkelanjutan merupakan desain kebijakan sebagai hasil
keterpaduan antara dimensi lalu, kini dan nanti. Kebijakan yang dibuat
hendaknya berkarakter otonom, prosedural, progresif dan visioner yang
menarasikan prediksi-prediksi yang akurat disertai dengan roap map menuju
pembangunan pawisata yang berkelanjutan. Merujuk Pacific Ministers Conference
on Tourism and Environment di Maldivest tahun 1997, prinsip-prinsip
pariwisata berkelanjutan ini meliputi kesejahteraan lokal, penciptaan lapangan
kerja, konservasi sumber daya alam, pemeliharaan dan peningkatan kualitas
hidup, serta equity inter dan antar generasi dalam distribusi
kesejahteraan.
Buku setebal 172 halaman yang
diterbitkan oleh Udayana University Press ini, merupakan wujud konkrit dari
eksistensi penulis di khazanah keilmuwan hukum pariwisata di tengah keringnya
minat generasi muda untuk meneliti. Paparan yang disajikan dalam buku Liberalisasi
Jasa dan Masa Depan Pariwisata Kita dikemas dalam bahasa yang komunikatif,
aktual, human interest, dan sarat akan rekomendasi mengenai rekonstruksi kebijakan
di bidang pariwisata. Buku ini juga berpotensi menjadi pilihan praktis dalam
meneropong liberalisasi jasa dengan prediksi-prediksi ilmiah yang mengantarkan
para pembaca menuju reorientasi dan revitalisasi sektor pariwisata Indonesia
yang berkelas dunia (world class).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar