Rabu, 07 September 2011

Liberalisasi Pariwisata

 MENYONGSONG LIBERALISASI PARIWISATA DI ERA GLOBALISASI:
REKONSTRUKSI KEBIJAKAN  PEMBANGUNAN PARIWISATA  BERKELANJUTAN  (SUSTAINABLE TOURISM) DI BALI
oleh
IGN Parikesit Widiatedja, S.H.,M.Hum.

I. LIBERALISASI PARIWISATA DI ERA GLOBALISASI

1.1 Arus Pemikiran Liberalisasi dan Tuntutan Globalisasi
Adanya liberalisasi merupakan arus pemikiran umum yang muncul sebagai respon perkembangan dunia yang sangat dinamis, progresif dan berkarakter multidimensi.[1]  Liberalisasi bukanlah isu faktual, namun selalu menjadi editorial dunia beberapa dekade terakhir. Amartya Sen, peraih nobel ekonomi tahun 1998, seringkali mengatakan di berbagai kesempatan[2] bahwa liberalisasi  sejatinya merupakan  pemikiran yang tak lagi segar, namun juga takkan pernah mati.

Ditinjau dari pendekatan historis, liberalisasi berakar dari gagasan sebuah paham pada abad XIX yang belakangan dikenal sebagai liberalisme. Paham yang dipelopori oleh Adam Smith ini menegaskan filsafat individualistik dalam pemikiran ekonomi. Menurutnya, teori pembagian kerja atau spesialisasi dianggap sebagai kunci pertumbuhan ekonomi yang terus menerus. Pemikiran yang demikian menghendaki adanya  dukungan solid dari pasaran barang produksi dengan manifestasinya perluasan wilayah sebagai dalih untuk memperluas pasar, bahkan dengan bantuan pemerintah sekalipun.[3]

Dalam perspektif hukum, sistem hukum yang dianut dalam sistem liberalisme bertendensi memberikan ruang perlindungan yang luas bagi kemerdekaan individu dengan menegakkan prinsip kebebasan (principle of freedom), prinsip persamaan hak (principle of legal equality) serta prinsip timbal balik (principle of reciprocity).[4] Sejalan dengan fungsinya sebagai social engineering, materi muatannya pun diterjemahkan untuk mengayomi paradigma liberalisme tersebut. Bahkan, keadilan menjadi sesuatu yang bersifat sub-ordinat dari kemerdekaan Individu.

Dalam perspektif perdagangan, liberalisasi merupakan proses pengurangan hingga pada akhirnya penghapusan semua hambatan tarif dan nontarif,[5] secara terstruktur, sistematis dan berskala masif antarnegara, pada pelaksanaan transaksi perdagangan, khususnya terkait arus pergerakan barang dan jasa. Pada rumusan yang lebih sederhana, setiap individu memiliki kebebasan untuk bertransaksi dengan siapa saja, ke mana saja dan kapan saja tanpa adanya suatu hambatan atau batas-batas tertentu.

Jika ditinjau dari pendekatan ke dalam (inward looking), liberalisasi perdagangan menekankan pada platform kebebasan individu atau peran rakyat secara aktif dengan peran negara yang negatif[6] dalam transaksi perdagangan. Meminjam istilah yang dikemukakan George Jellinek. Sementara secara pendekatan ke luar (outward looking) liberalisasi memungkinkan adanya  pola hubungan atau interaksi dengan seluruh negara, tanpa adanya suatu pembatasan tertentu dalam produksi, distribusi hingga pemasaran suatu produk barang dan jasa.

Di era modern, liberalisasi seakan-akan mendapatkan tandemnya yang serasi dengan fenomena yang sesungguhnya lebih dulu eksis atau dikenal sebagai globalisasi. Liberalisasi merupakan conditio sine qua non dari sebuah fenomena globalisasi dengan prasyarat utama akses informasi tak terbatas. Jalinan kooperatif antar keduanya bahkan dianggap sebagai variabel penentu dalam memproyeksikan, mempromosikan dan merealisasikan kemakmuran dunia yang menjadi impian umat manusia. Tak ayal, keduanya pun kini telah menjadi isu utama dunia.

Bertolak pada hakekat dasar globalisasi, Wallerstein, salah seorang pemikir abad globalisasi menyatakan sesungguhnya sejak abad XV globalisasi telah dimulai.[7] Globalisasi dalam konteks ini merupakan karakteristik  hubungan antara penduduk bumi yang melampaui batas-batas konvensional, seperti bangsa dan negara. Dalam konstruksi relasi semacam ini, dunia telah dimampatkan (compressed) serta terjadi intensifikasi kesadaran terhadap dunia sebagai satu kesatuan utuh.[8]

Robertson lalu mengatakan” Globalization as a concept refers both to the compression of the world and the intensification of consciousness of the world as a whole[9] Dengan kata lain, globalisasi telah mengembangkan kesadaran bahwa dunia adalah kesatuan yang utuh dan tidak lagi dilihat sebagai blok-blok yang terpisah satu dengan yang lain. Thomas Friedman mempersepsikan fenomena ini sebagai dunia yang rata (the world of flat). Menyangkut pranata hukum, Erman Rajagukguk menjelaskan relasi antara globalisasi, liberalisasi ekonomi dan harmonisasi hukum. Pada era globalisasi, kompetisi dan perdagangan bebas akan kerapkali terjadi. Proses yang lazim disebut sebagai liberalisasi ini lalu diiringi oleh globalisasi hukum. Artinya, apabila ekonomi menjadi terintegrasi, maka harmonisasi hukum akan mengikutinya.[10]

Dalam perspektif perdagangan, globalisasi mensyaratkan transparansi tanpa adanya batas-batas klasik (borderless) dan tanpa dinding penyekat (barriers) dalam setiap transaksi dagang khususnya terkait produksi, distribusi dan pemasaran barang dan jasa. Alan Greenspan, mantan ketua Federal Reserve Board menyebutkan globalisasi sebagai pengecilan keluaran ekonomi untuk membuatnya lebih efisien.[11] Argumentasi ini mengukuhkan argumentasi Paul Samuelson, tokoh ekonomi yang melahirkan buku ekonomi terlaris di dunia ”Economics”. Beliau menyatakan segala sesuatu yang efisien adalah baik dan yang tidak efisien adalah buruk.[12] Tidak salah jika pada akhirnya negara-negara menganggap globalisasi sebagai jalan bebas hambatan untuk mengoptimalkan kapasitas perekonomiannya.

Hingar bingar globalisasi dan liberalisasi telah menciptakan dunia dalam satu kesatuan global dengan menghadirkan potret pasar bebas sebagai manifestasi kemerdekaan individu. Akhirnya, peran negara pun tereduksi dan mengakibatkan setiap negara mau tidak mau harus survive menghadapi perubahan akibat keberadaan realitas kontemporer tersebut. Sebab hanya negara yang kuatlah yang kelak akan bertahan dan berjaya (the survival of the fittest).

1.2 Pariwisata dan Liberalisasi

Menelusuri jejak liberalisasi di era modern, tidak dapat dipisahkan dari sejarah berdirinya tiga pilar ekonomi dunia melalui bretton woods. Pilar ini terdiri dari International Monetary Fund (IMF), International Bank for Reconstruction and Develpoment (IBRD), dan GATT  yang kemudian bermetamorfosis menjadi World Trade Organization (WTO) setelah penyelenggaraan Putaran Uruguay. Beberapa kalangan mengatakan ketiga pilar yang berdiri pada tahun 1944 tersebut sebagai formalisasi atau pembadanan dari ideologi liberalisme. Kaum ekstremis bahkan menyebutnya sebagai oligarki neo-kolonialisme[13] yang tak kasat mata. Pasalnya, liberalisasi ditengarai sebagai kristalisasi kehendak negara maju dalam menapaktilasi era kolonialisme baru dengan menumpang kendaraan melalui ketiga pilar ekonomi tersebut.

Bagi sebagian negara khususnya yang berada di belahan bumi utara, liberalisasi memunculkan peluang dan harapan yang sangat menggiurkan dalam memakmurkan dan mensejahterakan rakyatnya.  Tidak salah apa yang dikatakan oleh Richard Rosecrance bahwa betapa besar kekuatan yang dapat diwujudkan suatu negara melalui liberalisasi perdagangan. Kegiatan tersebut bahkan mampu menggantikan ekspansi wilayah dan perang militer sebagai kunci pokok menuju kesejahteraan dan pencapaian kekuasaan internasional. Beliau menyimpulkan bahwa manfaat perdagangan dan kerjasama internasional jauh melampaui manfaat persaingan militer dan perluasan wilayah.[14]

Sebagai respon untuk mencapai tujuan liberalisasi dan dalam rangka upaya meraih legitimasi, Putaran Uruguay 1994 kemudian menetapkan suatu aturan main (rule of the game) pada bidang perdagangan jasa. Perjanjian yang diselenggarakan di Marakesh, Maroko ini lalu dikenal sebagai General Agreement on Trade in Services yang dalam penulisan selanjutnya disebut GATS. Sebenarnya, GATS merupakan salah satu isu baru yang mengemuka dalam perundingan Putaran Uruguay, yang sebelumnya tidak pernah menyentuh masalah ini.[15] Selain GATS yang mengatur liberalisasi jasa, Putaran Uruguay juga mengatur ketentuan mengenai investasi dan hak atas kekayaan intelektual (HaKI).

Sistem dan proses dalam GATS menghendaki setiap negara anggota menyusun komitmen liberalisasi jasa, jangka waktu pelaksanaannya dan kedalaman serta ruang lingkup beroperasinya suatu pemasok jasa asing di suatu wilayah negara tertentu. Komitmen ini meliputi sektor-sektor  jasa seperti perbankan, telekomunikasi, konsultasi, pariwisata, dan pengangkutan. Prinsip-prinsip utama dari persetujuan yang mulai berlaku efektif sejak 1 januari 1995 ini antara lain Prinsip Most Favoured Nation (MFN), National Treatment, Transparansi dan Progresive Liberalization atau liberalisasi secara bertahap.[16]

Indonesia sendiri melalui Undang-undang No 7 Tahun 1994, telah meratifikasi ketentuan World Trade Organization (WTO) yang mencakup GATS di dalamnya. Konsekuensinya, Indonesia harus siap menghadapi tak hanya liberalisasi perdagangan, namun juga liberalisasi jasa, investasi bahkan hak atas kekayaan intelektual (HaKI). Mau tidak mau, siap tidak siap, kita harus menyambutnya sebagai sebuah tantangan baru sekaligus peluang untuk mempercepat perwujudan cita-cita pembangunan Indonesia.

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia sejatinya menyimpan potensi alam dan budaya yang luar biasa dan dapat dijadikan modal dasar sekaligus keunggulan komparatif untuk mengembangkan sektor  pariwisata. Potensi yang dimiliki dapat dikonversi menjadi sesuatu yang bernilai ekonomi dengan nilai kompetitif yang tinggi. Selain itu, kita mengetahui  bahwa bahan baku usaha pariwisata sesungguhnya tidak akan pernah habis-habis, sedangkan bahan baku usaha-usaha lainnya sangatlah terbatas.[17]

Berbagai organisasi internasional antara lain: PBB, Bank Dunia dan World Tourism Organization (WTO), telah mengakui bahwa pariwisata merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia utamanya menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Diawali dari kegiatan yang semula hanya dinikmati oleh segelintir orang-orang yang relatif kaya pada awal abad ke-20[18], kini telah berkembang  menjadi bagian dari hak asasi manusia sebagaimana diutarakan oleh John Naisbitt dalam bukunya Global Paradox. Beliau menyatakan bahwa “where once travel was considered a privilege of the money elite, now it is considered a basic human right. Kecenderungan ini terjadi tidak hanya di negara maju, tetapi mulai dirasakan pula di negara berkembang termasuk Indonesia.[19]

Berdasarkan data yang dikutip dari World Tourism Organization (WTO) pada tahun 2000, wisatawan manca negara (wisman) internasional mencapai jumlah 698 juta orang dengan menciptakan pendapatan sebesar USD 476 milyar. Pertumbuhan jumlah wisatawan pada dekade 90-an sebesar 4,2 %, sedangkan pertumbuhan penerimaan dari wisman sebesar 7,3 persen, bahkan di 28 negara, pendapatan tumbuh 15 pesen per tahun. Sedangkan jumlah wisatawan dalam negeri di masing-masing negara jumlahnya lebih besar lagi dan kelompok ini merupakan penggerak utama dari perekonomian nasional.[20] 

Selanjutnya  pada 2004, kontribusi pariwisata pada PDB dunia mencapai 10,4%, penyerapan tenaga kerja 8,1%, ekspor 12,2% dan penanaman modal 9,4%. Pada intinya, pariwisata telah terbukti dan teruji menjadi lokomotif penggerak ekonomi dan menciptakan lapangan kerja serta mensejahterakan masyarakat. Demikian pula pariwisata  juga menjadi satu dari lima kategori ekspor utama dari 83% negara-negara di dunia, dan telah menjadi sumber devisa utama sedikitnya 38% dari negara-negara itu. Nantinya, pariwisata akan terus tumbuh dengan baik dan World Tourism Organization (WTO) memproyeksikan pada 2020 akan terdapat sekitar 1,6 miliar wisatawan mancanegara.[21]

Diukur secara kuantitas,  peranan pariwisata cukup nyata sebagai tulang punggung pembangunan di Indonesia. Industri tanpa cerobong tersebut memiliki daya serap tenaga kerja yang cukup tinggi. Demikian pula dengan pendapatan yang dihasilkan sehingga meningkatkan kontribusinya bagi produk domestik bruto. Sebagai sebuah jasa, pariwisata menyangkut jasa perhotelan, jasa transportasi (udara maupun laut),  dan berbagai jasa lainnya yang lambat laun tumbuh seiring dengan perkembangan pariwisata. Hal ini terungkap dalam data pada tahun 2001 dimana pariwisata menyumbangkan sekitar USD 5,4 milliar, dan Bali memberikan kontribusi sebesar 40%.[22] Kemudian pada tahun 2004 sektor pariwisata menyumbang 534.290.000 USD untuk investasi asing dan 312.625.000 USD untuk investasi dalam negeri.[23] Kontribusi pariwisata lainnya dapat tercermin dalam Peraturan Presiden No 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yang menyodorkan fakta bahwa pada tahun 2002, pariwisata merupakan penyumbang devisa kedua terbesar setelah ekspor migas.

Berkenaan dengan adanya GATS,  pariwisata telah menjadi salah satu sektor jasa yang terkena imbas liberalisasi modern selain sektor jasa lainnya. Indonesia yang menggantungkan harapan pada kinerja sektor  pariwisata,  kembali harus berhitung secara cermat dalam memasuki arena kompetisi sengit dengan negara-negara lain. Terbukanya akses informasi, berkurangnya hambatan-hambatan yang diimbuhi pula oleh berkurangnya intervensi pemerintah, serta semakin luasnya cakupan liberalisasi, menyebabkan kita harus mampu mempertahankan diri dalam kancah persaingan dunia utamanya terkait faktor eksistensi dan kontribusi  pariwisata itu sendiri.

1.3 Komitmen Liberalisasi  Pariwisata Indonesia

Berkenaan dengan komitmen liberalisasi  pariwisata, Pemerintah Indonesia telah mengijinkan pengoperasian perusahaan asing di Indonesia secara progresif melalui sejumlah persyaratan. Untuk jasa hotel, pemerintah tidak lagi menerapkan pembatasan-pembatasan akses pasar bagi perusahaan asing untuk beroperasi di wilayah Indonesia Timur, Kalimantan, Bengkulu, Jambi dan Sulawesi. Pemerintah mengijinkan investor untuk menguasai 100% saham atas modal yang digunakan.

Pihak departemen kebudayaan dan pariwisata   lalu menegaskan bahwa pemerintah telah menetapkan sejumlah subsektor pariwisata yang akan diliberalisasi. Pembatasan liberalisasi pariwisata masih akan diberlakukan hingga nantinya berakhir pada tahun 2020. Pelaksanaan Liberaliasi sektor pariwisata sampai saat ini masih berpegang kepada apa yang telah disepakati dalam komitmen GATS Indonesia di sektor pariwisata.

Saat ini subsektor-subsektor di sektor  pariwisata yang telah diliberalisasi dan terbuka bagi investor asing  meliputi:perhotelan atau resort dan biro perjalanan atau tour operator.  Untuk bidang perhotelan dan resort pemerintah menetapkan syarat-syarat:[24]

a.  pemasokan jasa hanya diijinkan untuk hotel dengan kualifikasi bintang 3, 4 dan 5;
b.  modal   yang  disetor  harus  lebih  tinggi  dibanding pemasok jasa agent dan tour operator domestik;                   
c.   investor     asing       boleh   menguasai kepemilikan saham hingga 100% di bisnis perhotelan dan tourist resort di Kawasan Timur Indonesia (KTI).

Sementara itu untuk jasa biro perjalanan dan tour operator dengan  model pasokan jasa melalui pendirian perusahaan asing di Indonesia, pemerintah menetapkan sejumlah persyaratan meliputi:
a.  hanya diperkenankan maksimum 60 travel agen dan tour operator;
b. tour  operator haruslah  travel agent yang berkedudukan di Jakarta dan Bali.

Terkait penggunaan tenaga kerja asing, pemerintah Indonesia memberikan pembatasan posisi yang dapat diduduki oleh tenaga kerja asing sebatas level direktur, manager dan penasehat ahli atau teknis. Implementasi liberalisasi jasa pariwisata ini akan ditinjau setiap lima tahun sekali.

Pada perkembangan terbaru dan sebagai tindak lanjut Undang-undang no. 25 tahun 2007 tentang penanaman modal, pemerintah lalu menetapkan Peraturan Presiden No. 36 tahun 2010 tentang daftar bidang usaha yang  tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan  persyaratan di bidang penanaman modal atau yang lazim disebut sebagai daftar negatif investasi. Dalam produk hukum yang mulai berlaku sejak 25 mei 2010 tersebut, bidang usaha yang tertutup merupakan bidang usaha tertentu yang dilarang diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal. Sementara itu, bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan adalah bidang usaha tertentu yang dapat diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal dengan syarat tertentu, yaitu bidang usaha yang dicadangkan untuk usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi, bidang usaha yang dipersyaratkan dengan kemitraan, bidang usaha yang dipersyaratkan kepemilikan modalnya, bidang usaha yang dipersyaratkan dengan lokasi tertentu, dan bidang usaha yang dipersyaratkan dengan perizinan khusus.

Menyangkut sektor pariwisata, terdapat beberapa bidang usaha yang terbuka bagi kepemilikan asing dengan proporsi saham yang bervariasi mulai 49%, 51%, 67% hingga 100% dengan persyaratan lokasi dan kesesuaian dengan peraturan daerah (Perda) setempat. Konstruksi ini telah memperluas komitmen liberalisasi pariwisata Indonesia sejak pertama kali digulirkan pada 1 Januari 1995.

Usaha jasa pariwisata yang terbuka bagi kepemilikan asing hingga 100 % adalah usaha jasa Golf yang harus terletak di kawasan timur Indonesia yakni Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Sementara itu, usaha jasa pariwisata yang terbuka bagi kepemilikan asing hingga 67% meliputi: galeri seni, galeri pertunjukan seni, dan ketangkasan sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan daerah setempat.

Usaha jasa pariwisata yang terbuka bagi kepemilikan asing hingga 51% meliputi:
1. hotel bintang 1 dan bintang 2 sepanjang tidak bertentangan dengan Perda setempat;
2. jasa akomodasi motel dan lodging services di Indonesia bagian timur meliputi: Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua;
3. Jasa Restoran atau Rumah Makan Talam;
4. Jasa Boga/catering. Jasa Konvensi, pameran, dan perjalanan insentif;
5. Pengusahaan obyek wisata budaya meliputi museum dan peninggalan sejarah yang dikelola swasta;
6. golf sepanjang tidak bertentangan dengan Perda setempat;
7. SPA;
8. pengusahaan obyek wisata alam di luar kawasan konservasi.
           
 Usaha jasa pariwisata yang terbuka bagi kepemilikan asing hingga maksimal 49% dan dapat menjadi 51% dengan menjalin kemitraan dengan UMKM dan Koperasi meliputi:
1. Jasa akomodasi motel dan lodging services sepanjang tidak bertentangan dengan perda setempat;
2. Restoran atau rumah makan non talam;
3. Biro perjalanan wisata;
4. jasa impresariat;
5. Usaha Rekreasi dan Hiburan meliputi: taman rekreasi, gelanggang renang, pemandian alam, kolam pemancingan, gelanggang permainan, gelanggang bowling,rumah biliar, kelab malam, diskotik,panti pijat, panti mandi uap, Bowling, Renang, Sepak Bola, Tenis Lapangan, Kebugaran/Fitness, Sport Centre, dan Kegiatan Olahraga Lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan Perda setempat.
6.  Golf
7. Bar, Café, singing room (karaoke)

Usaha yang dicadangkan untuk usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi meliputi:
1. Pondok wisata,
2.  agen perjalanan wisata,
3. jasa pramuwisata, dan
4. sanggar seni.

II. KONSTRUKSI PEMBANGUNAN  PARIWISATA BALI YANG BERKELANJUTAN

2.1   Realitas Pembangunan Pariwisata Bali

            Eksistensi pariwisata sebagai industri terbesar di era globalisasi telah melahirkan sederet  peluang dan tantangan bagi negara-negara yang menggantungkan harapan pada sektor tanpa cerobong asap tersebut. Apabila ditelusuri dari ragam pembentuk faktor produksi seperti: modal, tanah, tenaga kerja, teknologi, dan manajemen, ia dapat berkontribusi signifikan  sebagai katalisator dalam mengembangkan pembangunan (agent of development) dan  pemerataan pendapatan masyarakat (re-distribution of income).[25]. Dalam aras kontradiktif, tendensi pengembangan eksploitatif telah mengancam industri pariwisata itu sendiri. Tak heran jika pada alur destruktif berikutnya mulai menyeruak ekses-ekses negatif dari tindakan pemangku kepentingan pariwisata yang lebih mengedepankan dorongan periferal, pragmatis, superfisial dan komersiil.

Untuk mereduksi kemungkinan bertunasnya masalah di atas, konsep dan pelaksanaan pembangunan pariwisata berkelanjutan menjadi pilihan solutif di masa depan. Sejak sepuluh tahun terakhir, proses diskursif akan urgensi pembangunan berkelanjutan semakin kuat dipromosikan berbagai kalangan. Pembangunan berkelanjutan sejatinya merupakan sebuah proses pembangunan yang memperhatikan daya dukung (carrying capacity )dari sumber daya alam dan sumber daya manusia yang tersedia. Berkelanjutan dapat berarti pemberian lingkaran konsentrasi pada sinergisitas pelestarian yang meliputi dimensi ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan hidup. Secara singkat, alur konstruksi pengembangan pariwisata berkelanjutan merupakan perpaduan kelayakan secara ekonomi, keadilan secara sosial budaya,dan berkewajaran dari sisi lingkungan.

Sebagai ikon dan figurasi pariwisata Indonesia, Bali telah menjelma menjadi salah satu destinasi wisata dunia yang sangat populer. Pariwisata tak ubahnya generator penggerak pembangunan perekonomian masyarakat Bali. Sumbangsihnya dalam mendorong perkembangan perekonomian masyarakat Bali tidak dapat terbantahkan lagi. Dari berbagai pengamatan dan penelitian empiris, tidak kurang 80% dari seluruh masyarakat Bali menggantungkan hidupnya pada pariwisata, baik secara langsung maupun tidak langsung. Tak salah jika pada akhirnya Pemerintah Provinsi Bali sebagai pemegang otoritas dan legitimasi  beserta seluruh stakeholder yang berinteraksi langsung di tataran implementatif mulai menggulirkan  konsep pengembangan pariwisata yang berkelanjutan demi menjaga konsistensi dan kontinuitas peran dan kontribusinya bagi Bali.

Struktur logika di atas tentu berdasarkan pula pada keindahan alam dan  kebudayaan Bali yang unik dan beranekaragam serta berfalsafah hindu.  Seperti diketahui, pembangunan pariwisata di Bali selalu berlandaskan pada  konsep “Tri Hita Karana”. Konsep ini berekspektasi untuk menyeimbangkan hubungan antara manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan alam. Lambat laun, manusia akan dapat memperoleh imbal balik dalam bentuk kesejahteraan, kemakmuran, kebahagiaan dan kedamaian dalam hidupnya.[26]

Pada era globalisasi dan liberalisasi yang diimbuhi dengan hiperkonsumerisme, Pemerintah Indonesia telah menggulirkan sederet kebijakan yang berhilir pada penempatan pariwisata sebagai salah satu penghasil devisa potensial.  Tak ayal, terjadi  akselerasi  pembangunan Pariwisata Bali secara terus menerus dan ambisius yang mengakibatkan penurunan kemampuan lingkungan dalam mengimbangi kecepatan pembangunan tersebut. Pada gilirannya, serangkaian tindakan ini mulai meminggirkan ide, konsep, pemikiran dan urgensi pembangunan pariwisata berkelanjutan yang sempat didengungkan sebelumnya.

Langkah pertama untuk kembali mempromosikan dan mengembalikan urgensi pengembangan pariwisata berkelanjutan tentu disandarkan pada kemampuan dan kemauan pemerintah dalam menetapkan kebijakan yang benar-benar mengarusutamakan prinsip perlindungan, pengendalian, dan pemanfaatan pariwisata.  Jika ini dapat dilaksanakan, maka pada pola ekspektasi berikutnya pengelolaan pariwisata akan berjalan secara wajar, terencana, dan berkelanjutan baik ditinjau dari sisi ekonomi, sosial budaya dan juga lingkungan sebagai representasi ideal pembangunan pariwisata berkelanjutan.

2.2  Konstruksi Kebijakan Pariwisata Berkelanjutan

Sejatinya, pembangunan berkelanjutan merupakan konsep alternatif yang bersifat kontradiktif bagi konsep pembangunan konservatif. Terdapat sederet persyaratan kompulsif  di dalamnya seperti pemberian skala prioritas dari sisi ekologis, pemenuhan kebutuhan dasar manusia, prinsip keadilan bagi generasi mendatang, dan  penentuan nasib sendiri bagi masyarakat setempat. Menelusuri jejak sejarahnya, konsep pembangunan berkelanjutan pertama kali tercetus dalam konferensi di Stockholm pada tahun 1972 tentang “Stockholm Conference on Human and Environment”. Secara singkat definisi pembangunan berkelanjutan adalah: Sustainable development is defined as a process of meeting the present needs without compromising the ability of the future generations to meet their own needs.

Dalam perkembangan selanjutnya, Pacific Ministers Conference on Tourism and Environment di Maldivest tahun 1997  lantas menyebutkan prinsip-prinsip pariwisata berkelanjutan yang meliputi kesejahteraan lokal, penciptaan lapangan kerja, konservasi sumber daya alam, pemeliharaan dan peningkatan kualitas hidup, serta keseimbangan inter dan antar generasi dalam distribusi kesejahteraan. Sebagai proses tindak lanjut, Konferensi Dunia tentang Pariwisata Berkelanjutan pada tahun 1995 merumuskan secara elaboratif Piagam Pariwisata Berkelanjutan yang isinya sebagai berikut:

1.  Pembangunan  pariwisata  harus berdasarkan kriteria keberlanjutan yang antara lain dapat didukung secara ekologis dalam waktu yang lama, layak secara ekonomi, adil secara etika dan sosial bagi masyarakat setempat.
2.  Pariwisata harus berkontribusi bagi pembangunan berkelanjutan dan diintegrasikan dengan lingkungan alam, budaya, dan manusia.
3.  Pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat setempat harus mengambil tindakan reaktif untuk mengintegrasikan perencanaan pariwisata kedalam pembangunan berkelanjutan.
4.  Pemerintah  dan  organisasi multilateral  harus  memprioritaskan  dan  memperkuat bantuan terhadap proyek-proyek pariwisata yang berkontribusi bagi perbaikan kualitas lingkungan.
5.  Ruang-ruang dengan lingkungan dan budaya yang rentan saat ini maupun di masa depan harus diberi prioritas khusus dalam hal kerjasama teknis dan bantuan keuangan untuk pembangunan pariwisata berkelanjutan.
6.  Promosi atau dukungan terhadap berbagai bentuk alternatif kegiatan pariwisata yang sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan
7.  Pemerintah  harus mendukung  dan berpartisipasi dalam penciptaan jaringan untuk penelitian, diseminasi informasi, dan transfer pengetahuan tentang pariwisata dan teknologi pariwisata berkelanjutan.
8.  Penetapan   kebijakan  pariwisata  berkelanjutan  memerlukan dukungan  dan sistem pengelolaan pariwisata yang ramah lingkungan, studi kelayakan untuk transformasi sektor, dan pelaksanaan berbagai proyek percontohan dan pengembangan program kerjasama internasional.

Berdasarkan kerangka postulasi tersebut, maka langkah strategis selanjutnya adalah menjabarkannya dalam serangkaian kebijakan yang tentunya berikhtiar untuk mendorong, memperkuat, dan menegakkan  konsep pengembangan  pariwisata secara berkelanjutan. Dalam tataran nasional, Undang-undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam konsideran mengamanatkan bahwa pembangunan ekonomi nasional  diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Selanjutnya, pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.

Menyentuh sektor pariwisata, Undang-undang  No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan mengamanatkan bahwa kepariwisataan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang dilakukan secara sistematis, terencana, terpadu, berkelanjutan, dan bertanggung jawab dengan tetap memberikan perlindungan terhadap nilai-nilai agama, budaya yang hidup dalam masyarakat, kelestarian dan mutu lingkungan hidup, serta kepentingan nasional. Pasal 2 lalu menegaskan bahwa salah satu prinsip penyelenggaraan kepariwisataan adalah berkelanjutan.

Di tataran lokal, Pemerintah Daerah Bali telah menetapkan Peraturan Daerah (Perda) No. 3 Tahun 1974 tentang Pariwisata Budaya sebagai acuan pengembangan kepariwisataan secara komprehensif. Perda tersebut dalam perjalanannya kemudian diperbaharui menjadi Perda No 3 Tahun 1991 yang pada prinsipnya menyatakan bahwa kepariwisataan yang dikembangkan di daerah Bali adalah pariwisata budaya yang dijiwai oleh agama Hindu. Dengan demikian, kegiatan pariwisata diharapkan dapat berjalan secara selaras, serasi, dan harmonis dengan kebudayaan setempat dan berakar pada nilai-nilai luhur agama Hindu.

Sederet kebijakan yang menyangkut konsep pengelolaan pariwisata berkelanjutan di Bali antara lain:

a.          Perda Tk.I Bali Nomor 3 Tahun 1974 juncto Perda Tk.I Bali Nomor  3 Tahun 1991 tentang  Pariwisata Budaya.
b.         Perda Prov. Bali Nomor 3 Tahun 2005 tentang RTRW Provinsi Bali yang di dalamnya diatur tentang penetapan 15 kawasan pariwisata.
c.          Perda Prov. Bali Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup.
d.         Perda Prov. Bali Nomor 5 Tahun 2005 tentang Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung.
e.          Perda Prov. Bali Nomor 7 Tahun 2007 tentang Usaha Penyediaan Sarana Wisata Tirta.
f.          Perda Prov. Bali Nomor 5 Tahun 2008 tentang Pramuwisata.

Beranjak dari serangkaian konstruksi di atas,  pengembangan pariwisata berkelanjutan di era globalisasi merupakan suatu serangkaian proses secara terukur dan terencana yang berikhtiar untuk memenuhi kebutuhan di masa sekarang untuk selanjutnya diwariskan kepada generasi mendatang. Pada spektrum ideal selanjutnya, generasi sekarang dan generasi yang akan datang mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk menikmati alam beserta isinya ini.  Untuk itulah dibutuhkan suatu   instrumen kebijakan   yang   efektif, transparan,   terperinci dan terpadu sebagai pengejahwantahan prinsip good governance.yang melibatkan partisipasi aktif dan seimbang antara pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam pengelolaan pariwisata.

III. Rekonstruksi Kebijakan Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan di Bali

Keberadaan suatu kebijakan khususnya kebijakan hukum secara tersendiri (sui generis) yang integral, komprehensif dan telah memuat  prinsip-prinsip pariwisata berkelanjutan menjadi titik awal (starting point) yang sangat menentukan sistem manajemen dan tata kelola pariwisata pada tahap-tahap selanjutnya. Ditinjau dari pendekatan ke dalam (inward looking), kebijakan tersebut harus mampu memelihara dan melindungi kekayaan alam dan budaya sebagai aset pariwisata kita yang telah menjadi ciri khas dan identitas  Indonesia selama ini. Ditinjau dari pendekatan ke luar (outward looking), kebijakan tersebut harus pula  mencegah proses internasionalisasi dan komersialisasi pariwisata secara eksesif sebagai imbas berlakunya liberalisasi sejak pemberlakuan General Agreement on Trade in Services (GATS) di tahun 1995.

Bagi pariwisata Bali, rekonstruksi kebijakan pariwisata berkelanjutan akan melindungi keberadaan beberapa elemen budaya di Bali yang menjadi ciri, identitas, dan daya tarik wisatawan antara lain muatan tradisi, pandangan hidup, arsitektur, agama, makanan tradisional, seni dan musik, barang-barang kerajinan, sejarah, dan bahasa daerah. Selain itu, instrumen koersif, normatif dan simbolik tersebut akan melindungi dan menjamin pengelolaan pariwisata yang ramah lingkungan dan memberikan sentuhan positif  bagi keberadaan komunitas lokal.

3.1  Rekonstruksi Kebijakan dari Perspektif  Ekonomi

            Beberapa kalangan meyakini pariwisata mampu beperan sebagai lokomotif  pertumbuhan ekonomi secara menyeluruh. Penciptaan lapangan kerja, pengurangan angka kemiskinan serta penguatan daya beli masyarakat menjadi mata rantai positif dari peningkatan nilai ekonomi di sektor usaha tanpa cerobong asap tersebut.[27] Untuk itu, rekonstruksi kebijakannya harus memiliki dua buah tujuan, yakni harus   memaksimalkan kontribusi dari sumber daya pariwisata yang telah terbukti mampu memberikan nilai tambah secara ekonomi, dan berupaya menelusuri potensi-potensi ekonomi baru yang belum tergali sebelumnya.

Rekonstruksi kebijakan pertama dapat diwujudkan dengan menetapkan suatu kebijakan yang mampu menciptakan simbiosis mutualisme antara pariwisata, pertanian dan kelautan. Hasil-hasil pertanian dan kelautan yang telah diperoleh harus dikemas dan dipasarkan sesuai dengan standar bisnis internasional untuk menunjang keunikan pariwisata yang kita miliki. Sebaliknya dari perspektif ekonomi, rekonstruksi tersebut akan meningkatkan kesejahteraan petani dan nelayan yang selama ini cenderung termarginalkan. Selain itu, pelaksanaan good coorporate governance usaha pariwisata yang meliputi transparansi, akuntabilitas, responsif, independent dan fairness baik dalam fase governance structure, governance process dan governance outcome akan dapat meningkatkan nilai ekonomi pariwisata itu sendiri.

Memanfaatkan peluang usaha  pariwisata yang selama ini belum tergarap secara maksimal seperti wisata religius, konvensi, selam, adventure dan ekoturisme, menjadi rekonstruksi kebijakan kedua untuk meningkatkan nilai ekonomi pariwisata. Peluang ini didukung oleh fenomena beberapa waktu belakangan ini di mana telah terjadi perubahan consumer behaviour pattern atau pola konsumsi dari para wisatawan ke jenis wisata yang lebih beragam seperti atraksi wisata minat khusus dan pariwisata berwawasan lingkungan. Pada fase terakhir, beberapa aspek yang patut menjadi skala prioritas dalam mendorong peningkatan nilai ekonomi pariwisata secara tidak langsung meliputi: peningkatan kualitas infrastruktur pendukung di area destinasi wisata, kebijakan pemberian pendidikan, pelatihan dan keterampilan demi peningkatan produktivitas dan kapasitas SDM pariwisata.

Apabila terealisasi, maka masa depan pariwisata akan memiliki daya saing ekonomi  yang jauh lebih baik sehingga mampu mengejar ketertinggalan, dan mempunyai posisi yang sejajar dalam pergaulan pariwisata internasional di era globalisasi. Alasannya, dengan pendekatan bisnis yang relatif tradisional saja Indonesia telah mampu mencuri perhatian dunia melalui ciri khas pariwisata yang kita miliki. Apabila  dikombinasikan dan diperkuat dengan strategi, konsep, tata kelola dan penerapan bisnis modern, maka kita tidak hanya mampu mempertahankan pasar, tetapi juga memelihara peluang dalam meningkatkan penetrasi pasar pariwisata di luar negeri yang semakin terbuka sebagai imbas adanya liberalisasi jasa. Tinggal sekarang bagaimana kita mampu memanfaatkan dan mengolah peluang ini, sekaligus siap mengantisipasi berbagai kemelut dan hambatan yang sesungguhnya lebih banyak berasal dari dalam kita sendiri.

3.2 Rekonstruksi Kebijakan dari Perspektif Sosial Budaya

Di era globalisasi dan liberalisasi, interaksi dan mobilitas masyarakat  telah menyebabkan  peningkatan intensitas persentuhan sosial dan budaya. Tak ayal sebagai media interaksi dan transaksi, pariwisata menjadi sektor yang memberi andil kontributif  bagi persentuhan hingga percampuran  budaya, antaretnik dan antarbangsa yang rentan akan menimbulkan patogen sosial dan kerawanan konflik. Oleh karenanya, warna penekanan rekonstruksi kebijakan dalam perspektif kebijakan publik haruslah bertujuan pada pembentukan ketahanan budaya, pemantapan integrasi sosial, dan pemberdayaan penduduk lokal.

Sejauh ini, perhatian terhadap aspek sosial budaya masih memprihatinkan. Kecenderungan ini karena performance indicator (kinerja atau ukuran keberhasilan) umumnya diukur secara statistika atau kuantitatif, sementara itu sebagian dari isu sosial budaya bersifat kualitatif sehingga tidak termasuk dalam indikator keberhasilan pembangunan. Dengan demikian cukup beralasan apabila pelaksanaan pembangunan tidak memberikan perhatian serius terhadap aspek sosial budaya mengingat tidak adanya ukuran yang pasti dalam menemukan hubungan sebab akibat (cause and effect) dari fenomena sosial budaya tersebut.[28]

Untuk mensiasati kondisi di atas, pembuatan       kebijakan    yang   mewajibkan   para pelaku usaha pariwisata memprioritaskan dan melestarikan keunikan budaya sekaligus mengikutsertakan peran masyarakat lokal sekitar, menjadi suatu keharusan. Kebijakan ini  dapat diderivasi melalui pembuatan   kebijakan  yang  mensyaratkan  adanya  even  pariwisata semacam festival pariwisata dengan mengedepankan atraksi-atraksi budaya yang dimiliki, dan melibatkan pula masyarakat internasional sebagai media promosi, pembuatan kebijakan yang mengikutsertakan  peran aktif masyarakat sebagai manifestasi diplomasi total yang memanfaatkan segenap lini kekuatan pariwisata. Peran masyarakat lokal tak dapat dikesampingkan, justru di tangan merekalah sesungguhnya melekat keunikan dan keragaman yang sangat bermanfaat bagi penciptaan  identitas dan jati diri, sebagai bagian dari pengembangan pariwisata secara inklusif. Proses pemberdayaan ini tentu bertujuan pula dalam meningkatkan kesejahteraan materiil, spritual hingga kemampuan intelektual masyarakat lokal.

Kombinasi dari kesuksesan sederet upaya di atas akan menjadi embrio bagi terbentuknya sebuah citra positif dan identitas pariwisata yang solid. Bagi usaha jasa seperti pariwisata, citra dan identitas yang terbentuk  merupakan faktor yang sangat krusial. Proses pengambilan keputusan perjalanan wisata suatu konsumen jasa kerapkali ditentukan oleh citra dan identitas dari suatu daerah tujuan wisata. Tidak salah jika pada akhirnya faktor ini mengalahkan potensi sumber daya pariwisata lainnya yang tersedia di daerah tersebut. Di era liberalisasi jasa, citra positif dan identitas yang solid melalui pemantapan dan penguatan kredibilitas pengembangan pariwisata merupakan kolaborasi positif yang menjadi bagian dari diplomasi pariwisata kita. Harapan ini tentu tergantung pada kesiapan, kemauan dan kemampuan kita dalam menanamkan, mengembangkan dan memelihara citra dan identitas yang terbentuk sebagai modal berharga dalam mempertahankan eksistensi pariwisata kita di masa-masa mendatang.

3.3 Rekonstruksi Kebijakan dari Perspektif Lingkungan Hidup

Sejalan dengan konsep pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism), pemerintah dan pelaku usaha pariwisata lainnya,  wajib mengedepankan gerakan pengendalian terhadap dampak merusak (detrimental effect) dari aktivitas  pariwisata. Seperti kita ketahui, pariwisata merupakan aktivitas yang acapkali memanfaatkan bagian-bagian atau komponen-komponen dari lingkungan hidup, sehingga kebijakan pariwisata sudah selayaknya selalu memberi perhatian pada perlindungan dan pelestarian  lingkungan hidup, demi kepentingan generasi yang akan datang. Di samping itu, perhatian terhadap eksistensi lingkungan hidup juga merupakan aktualisasi pengakuan terhadap nilai-nilai civil society.

Rekonstruksi kebijakan dari perspektif lingkungan hidup dapat bersifat preventif dan represif dengan melibatkan partisipasi aktif dari seluruh pemangku kepentingan di sektor pariwisata. Secara preventif, pembuatan  serangkaian cetak  biru (blue print) standarisasi lingkungan hidup menjadi suatu kebutuhan yang mendesak. Kebijakan ini akan menjadi pedoman, kriteria, prosedur teknis dan penetapan kinerja bagi pelaku pariwisata dalam mengelola dan mempertahankan eksistensi usaha pariwisata di masa depan, sekaligus tak luput mengedepankan aspek perlindungan  atau konservasi terhadap lingkungan hidup.

Selanjutnya, pembuatan kebijakan yang menetapkan daerah konservasi alam seperti pantai, sungai, danau, dan hutan, serta warisan budaya akan mampu mereduksi dampak negatif dari komersialisasi pariwisata. Nantinya, rekonstruksi kebijakan ini sekaligus pula membatasi kecenderungan alih fungsi lahan produktif menjadi kawasan aktivitas bisnis yang menyalahi tata letak dan tata ruang di suatu daerah. Pada gilirannya menjamurnya aktivitas pembangunan pengembangan sarana pariwisata tidak akan menyebabkan degradasi kualitas dan kuantitas lingkungan hidup.

Secara represif, tindakan tegas dan tidak memihak terhadap   pelaku  pariwisata yang terbukti sah dan melawan hukum melakukan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup, wajib dikedepankan. Untuk lebih mengefektifkan sistem ini, pemberiannya pun harus dipublikasikan secara luas demi menimbulkan efek jera yang memadai. Upaya represif ini dapat bersifat administratif yakni berwujud peringatan, paksaan pemerintahan, uang paksa, serta pencabutan izin dari pemerintah. Dalam perspektif perdata, gugatan kerugian dan pembayaran uang paksa menjadi instrumen represif yang dapat dikenakan. Sementara itu, tuntutan pidana berupa pidana pokok dengan atau tanpa disertai pidana tambahan menjadi instrumen represif ditinjau dari perspektif pidana.[29]


4. Penutup

Pembangunan pariwisata berkelanjutan merupakan pembangunan yang berdimensi ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan hidup sehingga memiliki keadilan tidak hanya untuk generasi sekarang tetapi juga generasi yang akan datang. Dalam rekontruksi kebijakan pembangunan pariwisata berkelanjutan di Bali, pariwisata harus dipandang sebagai suatu sistem yang meliputi beragam komponen yang saling berinteraksi dan saling mempengaruhi. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu sinergi kebijakan yang mengatur penyelenggaraan pariwisata dengan pendekatan multisektor dan multidisiplin.  Signifikasi pelaksanaan prinsip good and clean governance, soliditas koordinasi dan konsolidasi antar aparat, sinkronisasi dan integrasi pelayanan, dan sinergisitas pemerintah dan masyarakat, mutlak menjadi lingkaran konsentrasi dalam mewujudkan konsistensi pembangunan pariwisata berkelanjutan yang sekaligus menjadi ciri dan identitas pariwisata Indonesia dan Bali khususnya ditengah persaingan yang semakin luas dan bebas sebagai imbas liberalisasi dan globalisasi.

DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Anom, Putu,dkk. 2010. Pariwisata Berkelanjutan dalam Pusaran Krisis Global. Denpasar: Udayana  University Press.
Darmayudha, Suasthawa I M., I W. Koti Cantika. 1991. Filsafat Adat Bali.Denpasar: PT. Upada Sastra.

Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.2005.Rencana Strategik 2005-2009. Jakarta.
Hata.2006.Perdagangan Internasional dalam Sistem GATT dan WTO, Aspek-Aspek Hukum dan Non Hukum. Bandung:Refika Aditama.

Koentjaraningrat.2000. Bunga Rampai Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia

Pendit, Nyoman S.2003.Ilmu Pariwisata Sebuah Pengantar Perdana. Jakarta: Pradnya Paramitha.

Pitana, I Gde dan Gayatri, Putu G.2005.Sosiologi Pariwisata.Yogyakarta: Penerbit Andi.
Rostow, Walt Whiteman.1962. The  Stages  of  Economic   Growth: A  Non Communist Manifesto.London: Cambridge University Press.
Sanusi, Bachrawi Sanusi.2004. Tokoh Pemikir dalam Mazhab Ekonomi.Jakarta: Rineka Cipta.

Starke,J.G.1984.  Introduction to International Law. Ninth Edition,  Butterworth, London.
Siregar,    Mahmul. 2005.  Perdagangan    Internasional    dan   Penanaman Modal. Medan: Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera.
Spillane, James J.1991.Ekonomi Pariwisata. Yogyakarta:Kanisius.
Turner, L and J Ash. 1976. The   Golden    Hordes: International Tourism and Pleasure Periphery. New York: St Martin’s Press.
Wyasa Putra, Ida Bagus dkk.2003. Hukum Bisnis Pariwisata. Bandung:Refika Aditama.

Widiatedja, IGN Parikesit .2010. Liberalisasi Jasa dan Masa Depan Pariwisata Kita. Denpasar: Udayana University Press.

------------------------------------2010. Bunga Rampai Pemikiran Hukum Kontemporer. Denpasar: Udayana University Press.
----------------------------------2011. Kebijakan Liberalisasi Pariwisata: Konstruksi Konsep, Ragam Masalah, dan Alternatif Solusi. Denpasar: Udayana University Press.
Van Den Bossche, Peter. The Law and Policy of the World Trade Organization. UK: Cambridge University Press.

Yoeti, Oka A. 1996. Anatomi Pariwisata. Bandung: Angkasa.
__________________.2006. Pariwisata Budaya: Masalah dan Solusinya. Jakarta: Pradnya Paramita.
Makalah dan Jurnal

Amartya Sen. Suara Kaum Jelata dari Tanah Damai. Tempo 9 Desember 2001.

Dewa  Gede Palguna.2009.    Global    Economic    Crisis and Globalization. Paper in International Seminar in connection with The Third International Senior Diplomatic Training Centre. Faculty of Law of Udayana University.Denpasar.
Makes,David.25 Mei 2005. Pariwisata Indonesia Berpeluang Menarik wisatawan Asing.  disampaikan  pada seminar "Menuju Manajemen Pariwisata yang Ramah Lingkungan". Jakarta:Panitia Lustrum IX Universitas Katolik (Unika) Atma Jaya.
Soemitro Djoyohadikusumo. 3 Desember 1994. Perdebatan Seputar Liberalisasi. Harian Suara Pembaharuan.
Clift R,2003. Background Paper on the General Agreement on Trade in Services,http://www.cufa.bc.ca/brief/gats.html. Retrieved on 2009-06-02
Pascal Lamy.2009. Globalization and Trade Opening Can Promote Human Rights, http://www.wto.org/english/news_e/sppl_e/sppl128_ehtm. Retrieved on 2009-06-04
World  Trade  Organization, 2004.  Why  Is The   Liberalization of Services Important?, GATS: Fact or Fiction (online), http://www.wto.org/english/traptop_e/gats_factfiction.htm Retrieved on 2009-05-29.



[1]   Karakter multidimensi ini merujuk pada sebuah  teori yang dikemukakan oleh Talcott Parson. Proses perkembangan liberalisasi dalam fase awal akan mempengaruhi orientasi ekonomi dan struktur politik hingga menjalar pada struktur sosial. Pada fase terakhir, kondisi ini akan merombak tatanan budaya suatu komunitas tertentu.
[2]    Salah  satunya  dapat dilihat pada Suara  Kaum Jelata dari Tanah Damai. Majalah Tempo. 9 Desember 2001, h.76-78.
[3]    Adam Smith dalam Mahmul Siregar.2005. Perdagangan Internasional dan Penanaman Modal. Medan: Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera, h.43.
[4]  Sukarmi. 2005. Implikasi   Ketentuan  Anti dumping dan Subsidi bagi Indonesia. Makalah disampaikan pada Penyuluhan dan Penyebaran Informasi tentang Implementasi Peraturan Anti Dumping dan Subsidi. Malang, h.2.
        Coba lihat juga Soetiksno. 1981. Filsafat Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita, h.79-82.
[5]     hambatan  tarif  biasanya  berbentuk pajak tinggi yang dipungut atas suatu barang yang diimpor, sementara hambatan non tarif dapat berupa pungutan bea masuk, penetapan kuota, subsidi dan hambatan-hambatan yang bersifat administratif.
[6]     A. Mukthie Fadjar.2005. Tipe Negara Hukum.Malang: Bayumedia, h.2.
[7]   Dapat   pula   dilihat   pada  hubungan orang-orang   kerajaan  Mesir  kuno dengan Eropa, India kuno dengan Cina, hingga Cina dengan Indonesia pada jaman kerajaan Majapahit.
[8]   Wallerstein dalam Khudzaifah  Dimyati.2004. Teorisasi Hukum. Surakarta: UM-Press, h.10.
[9]   Roland Robertson.1992. Globalization, Social Theory and Global Culture.London: SAGE Publication, h.8.
    Lihat juga dalam George C. Lodge.1995. Managing Globalization in the Age Interdependence. San Diego: Pfeifer & Company, h.18.  
[10]   Erman Rajagukguk.1999.  Peranan Hukum  Dalam  Pembangunan  Pada  Era Globalisasi. Jurnal Hukum FH-UII No.11, h.112-115.
[11]   John Naisbitt & Patricia Aburdene.1990. Megatrends 2000 alih bahasa oleh FX Budijanto. Jakarta: Binarupa Aksara, h.16.
[12]  Paul Samuelson  dalam Mubyarto. 1 April 2003.   Teori Investasi & Pertumbuhan Ekonomi dalam Ekonomi Pancasila. http://www.ekonomikerakyatan.ugm.ac.id/Myweb/sembul03_2htm diakses pada 21 Juni 2008 pukul 22.36.
    Pendapat senada dikemukakan pula oleh Richard A. Posner.2001. Frontiers of Legal Theory. Massachusetts: Harvard Press, h.26.
[13]   Pendapat   ini   sering   dikemukakan  oleh  Mubyarto,  Faisal  Basri, Sri  Edi Swasono, Christianto Wibisono dan Sritua Arief.
[14]   Richard Rosecrance.1991. The Rise of Trading states.  terjemahan   Budiono  Kusumohamidjojo. Kebangkitan Negara Dagang. Jakarta: P.T Gramedia Pustaka Utama, h.ix.
    Iihat juga dalam Hikmahanto Juwana.2009. Membumikan dan Memihakkan Hukum Internasional. Kuliah Umum pada Mahkamah Konstitusi.Jakarta, h.2, beliau menyatakan bahwa negara-negara maju cenderung mendudukkan hukum internasional sebagai instrumen politik dan seolah menjadi alat kolonialisme kepada negara-negara berkembang.
[15]  GATS merupakan hasil kesepakatan putaran Uruguay yang khusus mengatur bidang-bidang perdagangan jasa. Putaran Uruguay sendiri merupakan salah satu agenda rutin GATT/WTO yang menghasilkan  suatu persetujuan baru yang memperluas ruang lingkup perdagangan meliputi: perdagangan jasa (GATS), investasi (TRIMs) dan HaKI (TRIPs).
[16]   H.S Kartadjomena.1996.  GATT dan  WTO,  Sistem  Forum  dan  Lembaga Internasional Di Bidang Perdagangan. Jakarta: UI-Press, h.77.
[17]   James J. Spillane.1991.Ekonomi Pariwisata. Yogyakarta:Kanisius, h.46.
[18]  Dalam I  Gde Pitana dan Putu G. Gayatri. 2005. Sosiologi Pariwisata. Yogyakarta: Penerbit Andi,h. 40 disebutkan tonggak-tonggak  sejarah pariwisata dapat ditelusuri melalui perjalanan Marco Polo (1254-1324), perjalanan Pangeran Henry (1394-1460), Christopher Columbus (1451-1506) dan Vasco da Gama (akhir abad XV).
[19]   Setyanto P. Santosa. 13 Januari 2004. Pengembangan Pariwisata Indonesia. http://www.budpar.go.id/page.php?id=146&ic=851 diakses pada 7 juni 2009 pukul 15.45 wib.
[20]      Ibid.
[21]  Hilda Sabri. 1 Maret 2006. Kesepakatan mengentaskan kemiskinan lewat Pariwisata. http://www.bisnisindonesia.com/index.php/berita10306 diakses pada 15 Juni 2009 pukul 19.45 wita.
[22]      Ida Bagus  Wyasa Putra dkk. 2003. Hukum Bisnis Pariwisata. Bandung:Refika Aditama, h.32.
[23]   Data      Kementerian         Kebudayaan      dan       Pariwisata   Tahun 2004. www.budpar.go.id/statistik.html/catid/231204/ diakses pada 22 Januari 2009 pukul 09.07 wib.
[24] IB Wyasa Putra,op.cit.,h.43
[25]  Oka  A. Yoeti. 2006. Pariwisata Budaya: Masalah dan Solusinya.  Jakarta: Pradnya Paramita, h.2.
[26]  Darmayudha, Suasthawa I M., I W. Koti Cantika. 1991. Filsafat Adat Bali.Denpasar: PT. Upada Sastra, h.6-8.
[27] Lihat ulasan I Gde Pitana dan Putu Gayatri.2005.Sosiologi Pariwisata.Yogyakarta: Penerbit Andi,h.112.

[28]  ibid,h.32.
[29] Coba lihat Ida Bagus Wyasa Putra,op.cit., h.182