Sabtu, 17 November 2012

Resensi Buku Liberalisasi Jasa dan Masa Depan Pariwisata Kita


DESAIN STRATEGI 4-4-2 MENYONGSONG LIBERALISASI PARIWISATA


JUDUL BUKU
Liberalisasi Jasa Dan Masa Depan Pariwisata Kita
PENULIS
IGN Parikesit Widiatedja
PENERBIT
Udayana University Press
CETAKAN
Pertama, Maret 2010
TEBAL
xxiv + 172 halaman


            Keikutsertaan proaktif Indonesia dalam GATS (General Agreement on Trade in Services) dan AFAS (ASEAN Framework on Services) berimplikasi pada liberalisasi di sektor pariwisata. Proses ini menjadi isu sentral yang menjadi sorotan publik di tengah upaya strategis yang disiapkan untuk memajukan sektor tanpa cerobong asap tersebut. Pelbagai upaya promosi dan serangkaian aksi keterpihakan dilakukan untuk mendongkrak sektor ini, dalam ihtiarnya untuk meningkatkan kontribusinya bagi pembangunan sebagai eksesmultiplier effect yang ditimbulkan. Proses liberalisasi pada sektor jasa mencakup pemasokan atau penyediaan jasa-jasa melalui 4 modus penyelenggaraan jasa (modes of supply) yaitu Cross Border Supply, yakni penyelenggaraan lintas negara dari wilayah satu negara anggota ke wilayah negara anggota lainnya, Consumption Abroad, atau konsumsi di luar negara, yaitu konsumsi dalam wilayah suatu negara anggota kepada konsumen dari negara anggota, Commercial Presence, yakni keberadaan komersial oleh penyedia jasa dari suatu negara anggota melalui kehadirannya di negara anggota lainnya, seperti kantor perwakilan/cabang dan Presence/Movement of Natural Persons, hal ini sangat berkaitan dengan keberadaan SDM. Penyediaan jasa dari satu negara anggota melalui 12 kehadiran personil (penyedia jasa) di negara anggota lainnya.

Dalam menyongsong liberalisasi pariwisata yang rencananya akan diberlakukan penuh di tahun 2020, Indonesia dapat melakukan manual prosedur offer and request pada sektor-sektor yang telah menjadi brand image dan menjadi keunggulan komparatif pariwisata. Sebagai suatu mekanisme perundingan yang lazim berlaku di dalam WTO, setiap negara dapat menyampaikan komitmen (offer) mengenai deregulasi dan debirokrasi bagi orang atau perusahaan asing untuk ikut ambil bagian dalam  jasa pariwisata misalnya memungkinkan warga negara lain atau perusahaan asing memiliki persentase saham dalam sektor perhotelan di suatu wilayah negara pemberi komitmen, dan sebaliknya dapat pula meminta hal yang sama kepada negara lain (request). Proses negosiasi intensif ini dapat dilangsungkan secara bilateral, plurilateral, dan multilateral.

Beranjak dari konsep di atas, pemerintah menjadi aktor utama dalam menentukan masa depan pariwisata yang berorientasi pada penyediaan jasa pawisata yang berstandar internasional. Tujuan jangka panjang tersebut dapat ditransformasikan dalam suatu tindakan pemerintah yang diistilahkan dengan kebijakan publik. Kebijakan ini menurut Hugh Heglo adalah “suatu tindakan yang bermaksud mencapai tujuan (goal, end) tertentu (a course of action intended to accomplish some end). Konstruksi desain kebijakan pemerintah di sektor pariwisata inilah yang dideskripsikan secara apik dan faktual oleh IGN Parikesit Widiatedja (29th), Dosen muda Fakultas Hukum Universitas Udayana. Dalam buku keduanya yang berjudul Liberalisasi Jasa dan Masa Depan Pariwisata Kita, penulis menjelaskan mengenai teorema Angels sebagai rekomendasi desain kebijakan. Eksistensi seorang malaikat atau bidadari yang termanifestasi sebagai agen kebenaran dan pencerahan menjadi argumentasi istilah Teorema Angels ini dipergunakan.

Teorema Angels merupakan rumus praktis ala penulis yang terdiri atasability, national interest, gradual, equality, lawful dan sustainable. Abilityatau kemampuan, yakni pemerintah dalam mendesain suatu kebijakan wajib didasarkan pada kemampuan riil yang dimiliki baik ditinjau dari dimensi internal maupun eksternal. Realitas kebijakan yang ada, kualitas sumber daya manusia, potensi produk yang ditawarkan, ketersediaan infrastruktur, penguasaan teknologi hingga konfigurasi persaingan global menjadi parameter kompulsif untuk mengukur dan menganalisis kesiapan Indonesia dalam menghadapi fenomena kontemporer tersebut. Selanjutnya, kepentingan nasional menjadi faktor yang sangat penting dalam menentukan arah dan kendali liberalisasi pada subsektor-subsektor pariwisata. Tak hanya itu, kepentingan nasional mewajibkan pula pemerintah untuk mengutamakan dan memprioritaskan aspek manfaat bagi perekonomian  dalam bentuk proteksi dan pengakomodasian kepentingan nasional dalam persetujuan GATS. Proses inilah yang diistilahkan penulis dengan National Interest.

Gradual atau bertahap merupakan trademark GATS. Proses ini dapat diilustrasikan sebagai proses tebang pilih yang berorientasi pada kemampuan dan kepentingan sendiri sehingga tidak semua subsektor harus diliberalisasikan. Pemerintah mengambil peran penting dalam menentukan subsektor-subsektor apa yang sudah siap atau belum siap untuk diliberalisasi. Desain kebijakan juga seyogyanya mempertimbangkan prinsip equality.Equality dalam konteks ini merupakan pemerataan yang mencerminkan jiwa, semangat, dan tujuan ideal dari setiap desain kebijakan yang akan digulirkan. Kebijakan yang ditempuh harus mengarah pada pencapaian pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya serta tidak terjebak pada ideologi pertumbuhan ekonomi yang sedang gencar dipromosikan oleh  negara-negara kapitalis. Pemerataan dapat ditempuh melalui pendistribusian kesejahteraan, baik dalam bentuk perlindungan hukum maupun prioritas pembangunan ekonomi bagi mereka yang berklaster minoritas dan cenderung termarjinalkan.

Lawful menghendaki setiap desain kebijakan yang ditempuh pemerintah sesuai dengan kaidah-kaidah hukum yang berlaku. Dengan kata lain, proses harmonisasi dan transformasi persetujuan GATS ke dalam kaidah hukum nasional harus sesuai dengan teori penjenjangan norma sebagaimana yang diungkap oleh Hans Kelsen dalam Stufenbau theory. Dan sustainableatau berkelanjutan merupakan desain kebijakan sebagai hasil keterpaduan antara dimensi lalu, kini dan nanti. Kebijakan yang dibuat hendaknya berkarakter otonom, prosedural, progresif dan visioner yang menarasikan prediksi-prediksi yang akurat disertai dengan roap map menuju pembangunan pawisata yang berkelanjutan. Merujuk Pacific Ministers Conference on Tourism and Environment di Maldivest tahun 1997, prinsip-prinsip pariwisata berkelanjutan ini meliputi kesejahteraan lokal, penciptaan lapangan kerja, konservasi sumber daya alam, pemeliharaan dan peningkatan kualitas hidup, serta equity inter dan antar generasi dalam distribusi kesejahteraan.

Buku setebal 172 halaman yang diterbitkan oleh Udayana University Press ini, merupakan wujud konkrit dari eksistensi penulis di khazanah keilmuwan hukum pariwisata di tengah keringnya minat generasi muda untuk meneliti. Paparan yang disajikan dalam buku  Liberalisasi Jasa dan Masa Depan Pariwisata Kita dikemas dalam bahasa yang komunikatif, aktual, human interest, dan sarat akan rekomendasi mengenai rekonstruksi  kebijakan di bidang pariwisata. Buku ini juga berpotensi menjadi pilihan praktis dalam meneropong liberalisasi jasa dengan prediksi-prediksi ilmiah yang mengantarkan para pembaca menuju reorientasi dan revitalisasi sektor pariwisata Indonesia yang berkelas dunia (world class).
                                                                                                                        

Minggu, 11 November 2012

Muatan Liberalisasi Pada Undang-undang Kepariwisataan


Muatan Liberalisasi dalam Undang-undang Kepariwisataan Kita

Oleh
IGN Parikesit Widiatedja
Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana


Memasuki era milenium ketiga atau yang oleh Alvin Toffler dan Francis Fukuyama persepsikan sebagai era informasi atau post industry, berbagai perubahan dalam berbagai lini  telah terjadi dan bermuara pada akselerasi kehidupan.  Tendensi masif ini pada gilirannya menimbulkan saling ketergantungan (interdependence) dalam kehidupan antarnegara bangsa (nation states) dan  hubungan transnasional (transnational relations). Tak dapat dipungkiri bahwa liberalisasi telah memberikan andil yang cukup kontributif bagi eskalasi perubahan tersebut. Tentu dalam perjalanannya proses konvergensi akibat realitas kontemporer itu tidak hanya melahirkan sinergi, namun juga menuai irama pergesekan-pergesekan atau bahkan fragmentasi.

Harus diakui bahwa liberalisasi merupakan proses yang sulit dihindari. Sebagai suatu perubahan sosial, meminjam bahasa  Ralf Dahrendorf, hampir tak ada satu negara pun yang mampu berlari dari dekapan liberalisasi, hanya mungkin derajat penerapannya bergantung pada  kebutuhan, kemampuan, kemauan dan kesiapan suatu negara itu sendiri. Barangkali tepat jika beberapa pihak bahkan mengasumsikan liberalisasi sebagai proses alamiah yang memang seharusnya terjadi. Dengan kata lain, liberalisasi merupakan sebuah takdir sejarah kehidupan manusia kini. Ibarat virus, liberalisasi bergerak secara  perlahan dalam tingkat yang tadinya kecil untuk kemudian bertransmutasi ke tingkat yang lebih besar, mulai dari sisi ekonomi,sosial, politik hingga budaya sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Talcot Parson sebagai cybernetika dan kini merambah berbagai sektor meliputi perdagangan, investasi, HaKI dan jasa-jasa.

Ditinjau dari perspektif perdagangan, liberalisasi  menekankan pada platform kebebasan individu atau peran rakyat secara aktif, dengan peran negara yang negatif dalam transaksi perdagangan. Merujuk teori dari maestro ilmu negara, George Jellinek.   Liberalisasi juga memungkinkan adanya  konstelasi hubungan atau interaksi dengan seluruh negara, tanpa adanya suatu pembatasan tertentu dalam produksi, distribusi hingga pemasaran suatu produk barang dan jasa. Dalam perspektif hukum, sistem hukum yang dianut pun memberikan ruang proteksi optimal bagi kemerdekaan individu dengan mengarusutamakan prinsip kebebasan (principle of freedom), prinsip persamaan hak (principle of legal equality) serta prinsip timbal balik (principle of reciprocity). Sejalan dengan fungsinya sebagai social engineering dan social empowering, materi muatannya  diterjemahkan untuk meladeni paradigma yang mengabdi pada akumulasi laba tersebut. Bahkan, keadilan menjadi variabel  yang bersifat sub-ordinat dari kemerdekaan individu.

Bagi sebagian negara khususnya yang berada di belahan bumi utara, liberalisasi perdagangan memunculkan peluang dan harapan yang sangat menggiurkan dalam memakmurkan dan mensejahterakan rakyatnya.  Tidak salah apa yang dikatakan oleh Richard Rosecrance, bahwa betapa besar kekuatan yang dapat diwujudkan suatu negara melalui liberalisasi perdagangan. Kegiatan tersebut bahkan mampu menggantikan ekspansi wilayah dan perang militer sebagai kunci pokok menuju kesejahteraan dan pencapaian kekuasaan internasional. Beliau menyimpulkan bahwa manfaat perdagangan dan kerjasama internasional jauh melampaui manfaat persaingan militer dan perluasan wilayah.

Tak heran bila pada akhirnya negara-negara di dunia pun seakan latah dengan berlomba-lomba mengintrodusir paradigma liberalisme dalam mengelola kehidupan masyarakatnya. Opsi kebijakan tersebut tentu tak lepas dari konfigurasi global yang didominasi oleh kekuatan Washington Consensus dan terepresentasikan pada tiga lembaga multilateral IMF, World Bank dan WTO, yang getol mempromosikan paradigma adikarya Adam Smith tersebut. Sebagai refleksi citra good boy dalam pergaulan internasional, Indonesia pun tak luput memulai penerapan prinsip-prinsip liberalisasi dan menjabarkannya dalam sistem hukum yang sejalan dengan kehendak ketiga tirani perdagangan dunia tersebut. Ratifikasi Persetujuan Pembentukan WTO melalui Undang-undang No.7 tahun 1994 menjadi tonggak bersejarah keterbukaan kita terhadap liberalisasi. Proses yang dilalui tanpa mekanisme reservasi tersebut hingga kini masih menuai polemik di dalam negeri terkait kandungan manfaatnya.

Untuk memperkuat legitimasi proses tersebut, maka instrumen hukum pun menegaskan kembali dalam bentuk kaidah-kaidah hukum yang tidak hanya  menyentuh level  teknis, namun  telah  menyentuh level konstitusi sebagai manifestasi politik hukum pemerintah. Refleksi pengakuan tersebut dapat ditemukan pada pasal 33 ayat (4) melalui pencantuman asas efisiensi, dan pasal 28 H ayat (4) UUD 1945 tentang pengakuan dan jaminan terhadap hak milik individu dari pengambil-alihan secara sewenang-wenang oleh siapapun. Perubahan yang cukup revolusioner ini lalu diikuti dalam tingkatan undang-undang. Tak kurang sekitar tiga puluh undang-undang telah diterbitkan pemerintah seiring keterlibatannya dalam proses liberalisasi. Berawal dari  Undang-undang No.10 tahun 1998 tentang Perbankan hingga Undang-undang No.10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan.

Pariwisata dan Liberalisasi

Sebagai salah satu industri terbesar di dunia, pariwisata terbukti dan teruji menjadi lokomotif penggerak ekonomi, terlebih apabila dilihat dari daya serap tenaga kerja yang tinggi dan kontribusinya bagi PDB. Pada 2004, industri tanpa cerobong asap tersebut memberikan kontribusi  pada PDB dunia sebesar 10,4%, penyerapan tenaga kerja 8,1%, ekspor 12,2% dan penanaman modal 9,4%. Disamping itu, pariwisata  juga menjadi satu dari lima kategori ekspor utama dari 83% negara-negara di dunia, dan telah menjadi sumber devisa utama sedikitnya 38% dari negara-negara itu. Nantinya, pariwisata akan terus tumbuh dengan baik dan World Tourism Organization (WTO) memproyeksikan pada 2020 akan terdapat sekitar 1,6 miliar wisatawan mancanegara.

Dengan sederet potensi yang dimilikinya, tak salah jika beberapa negara memberikan postulasi pariwisata layaknya ladang emas baru. Pariwisata tak hanya dianggap sebagai aktivitas tersier yang bersifat sampingan, tetapi sebagai sebuah industri jasa yang dinilai dari berbagai faktor produksi seperti: modal, tanah, tenaga kerja, teknologi, manajemen dan keragaman inovasi, menjanjikan keuntungan yang maksimal. Dan seiring dengan berdirinya World Trade Organization melalui Putaran Uruguay 1994, maka pariwisata pun menjadi sektor yang terkena imbas liberalisasi. Alhasil, Indonesia pun mengeluarkan komitmen liberalisasi pariwisatanya dengan mengijinkan beroperasinya pemasok jasa asing di tiga subsektor meliputi; Hotel (minimal bintang 3), Tour Operator/Travel Agent (di Jakarta & Bali) dan Tenaga Kerja Asing (setingkat manajer).

Sebagai refleksi keseriusan lainnya, pemerintah lalu menerbitkan Undang-undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Dalam konsideran,  pemerintah menempatkan pariwisata  sebagai bagian integral dari pembangunan nasional yang dilakukan secara sistematis, terencana dan terpadu, berkelanjutan, dan bertanggung jawab, dengan tetap memberikan perlindungan terhadap nilai-nilai agama, budaya yang hidup dalam masyarakat, kelestarian dan mutu lingkungan hidup serta kepentingan nasional. Undang-undang yang mulai berlaku sejak 16 Januari 2009 tersebut juga menyatakan bahwa pembangunan kepariwisataan diperlukan untuk mendorong pemerataan kesempatan berusaha dan memperoleh manfaat serta mampu menghadapi tantangan perubahan kehidupan lokal, nasional dan global.

Ditinjau dari sisi definisi, pasal 1 ayat 1 Undang-undang Kepariwisataan menyebutkan bahwa wisata merupakan kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara. Sementara Pariwisata sendiri seperti yang tersebut dalam pasal 1 ayat 3 merupakan  berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan, yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah dan pemerintah daerah. Kemudian kepariwisataan diartikan sebagai keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, pemerintah, pemerintah daerah dan pengusaha.

Sepintas, merujuk pada  konsep dan definisi di atas, belum terlihat adanya muatan liberalisasi secara eksplisit dalam undang-undang Kepariwisataan kita. Justru yang menonjol adalah kesan bahwa pemerintah hendak menjadikan pariwisata sebagai wahana pelestarian kekayaan budaya, alam dan lingkungan hidup sehingga niscaya akan menjadi keunggulan komparatif kita. Upaya meningkatkan kapasitas dan memobilisasi seluruh sumber daya pariwisata nampak pula terlihat ketika substansi undang-undang kepariwisataan mensyaratkan adanya peningkatan kualitas SDM, gerakan keterpihakan pada usaha mikro dan UKM, proses standardisasi dan sertifikasi pelaku usaha pariwisata, serta pembentukan kawasan strategis pariwisata dan badan promosi pariwisata.

Muatan liberalisasi akan mulai tercium ketika undang-undang kepariwisataan memberikan  pengakuan  kegiatan berwisata sebagai Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam menimbang point b UUK, disebutkan bahwa kebebasan melakukan perjalanan dan memanfaatkan waktu luang dalam wujud berwisata merupakan bagian dari hak asasi manusia. Pasal 5 point b UUK kemudian menjabarkan ketentuan ini dengan menyatakan pemyelenggaraan kepariwisataan berdasarkan pada prinsip menjunjung tinggi hak asasi manusia, keragaman budaya dan kearifan lokal.

Menelusuri jejak sejarahnya, HAM  lahir dari Perjanjian Internasional Hak Sipil dan Politik 1966 (International Convenant on Civil and Political Rights) yang lebih mempromosikan prinsip penegakan hak-hak individu. Terlebih lagi, kesepakatan yang mulai efektif berlaku sejak 1976 tersebut  diperjuangkan oleh negara-negara yang cenderung menganut paham liberalisme. Sehingga cukup beralasan apabila HAM kemudian disinyalir sebagai salah satu instrumen barat dalam menyebarkan ideologi liberalisme. Paham  yang lahir dari sekularisme barat tersebut telah tegas memisahkan agama dengan urusan kehidupan yang sarat dengan ide-ide kebebasan.

Sebagai maskot konstitusionalisme dan refleksi eksistensi negara hukum (rechtstaat), HAM memberikan jaminan bahwa manusia akan mampu mengembangkan potensinya secara utuh. Namun dalam perkembangan selanjutnya, konsep pengakuan HAM yang tadinya sangat mulia ini telah dipelintir oleh negara-negara maju dengan memanfaatkannya sebagai tameng dalam menyebarkan paham liberalisme. Jalinan kooperatif antar keduanya akan terlihat ketika negara maju ditengarai menggunakan pengakuan HAM sebagai  trayek awal bagi pengakuan kebebasan individu dalam segala sendi kehidupan termasuk dalam perdagangan barang dan jasa. Masih terngiang dalam ingatan kita ketika Indonesia terikat dengan IMF, dimana pelaksanaan prinsip good governance yang notebene meliputi pula pengakuan terhadap HAM, menjadi persyaratan kompulsif bagi pengucuran bantuan IMF kala itu ke Indonesia.

Sejatinya Indonesia sendiri telah memiliki aturan hukum mengenai HAM secara sui generis. Hal ini dapat dilihat dari Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang HAM dan Undang-undang No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Berangkat dari kenyataan tersebut,  pengakuan kegiatan berwisata sebagai HAM dalam undang-undang kepariwisataan sesungguhnya bukan merupakan sesuatu yang urgen. Untuk itu,  perlu penelitian lebih mendalam mengenai proporsi kontribusinya bagi peningkatan kunjungan wisatawan baik lokal maupun internasional dan  pendapatan yang diperoleh dari sektor pariwisata.

Muatan liberalisasi lainnya akan terlihat ketika Undang-undang kepariwisataan mengakui dan memberikan perlakuan sama atau nondiskriminasi bagi seluruh pelaku usaha yang menjalankan usahanya di Indonesia. Prinsip yang menjadi trademark GATT dan WTO tersebut dapat ditemukan pada Pasal 22 point a  dimana ditentukan bahwa setiap pengusaha pariwisata berhak untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam berusaha di bidang kepariwisataan. Pemerintah dan pemerintah daerah pun berkewajiban dalam menciptakan iklim yang kondusif untuk perkembangan usaha pariwisata yang meliputi  terbukanya kesempatan yang sama dalam berusaha, memfasilitasi dan memberikan kepastian hukum, seperti yang ditegaskan pada Pasal 23 ayat 1 point b. Sementara pasal 26 point c  mewajibkan setiap pengusaha pariwisata untuk memberikan pelayanan yang tidak diskriminatif.

Prinsip perlakuan sama atau nondiskriminasi merupakan syarat mutlak bagi setiap gerakan liberalisasi yang berlaku di suatu negara. Pada konteks liberalisasi jasa pariwisata, penegakan terhadap prinsip ini akan meniadakan upaya-upaya proteksi sepihak dan pemberian fasilitas atau keistimewaan tertentu bagi segelintir pihak, khususnya mereka yang memiliki bekal kekuatan modal dan dekat dengan kalangan penguasa. Pada pola relasi seperti ini, baik individu maupun korporasi nantinya memiliki kebebasan untuk bertransaksi dengan siapa saja, kemana saja dan kapan saja tanpa adanya suatu hambatan atau batasan-batasan diskriminatif tertentu.

Namun yang patut diwaspadai adalah keberadaan prinsip nondiskriminasi sebagai sebuah justifikasi bagi pemasok jasa asing, khususnya di sektor pariwisata untuk menuntut peningkatan atau perluasan operasional perusahaan jasanya yang ada di Indonesia.  Tabiat liberalisasi yang berkarakter agresif dan penetratif serta merupakan kristalisasi kehendak dari negara-negara maju, dapat menjadi barometernya. Benar apa yang dikatakan oleh Mubyarto bahwa liberalisasi merupakan pemecahan kejenuhan pasar negara-negara maju dan mencari tempat-tempat penjualan serta pembuangan produk-produk yang sudah mengalami kesulitan di negara mereka. Selain itu, tentu kita tidak ingin kejadian yang sempat menimpa Undang-undang No.25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang beberapa isinya dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi lantaran membuka kran liberalisasi berlebihan, terulang pada undang-undang kepariwisataan kita ini.

Sebagai sebuah negara  yang diposisikan sebagai ujung tombak negara-negara berkembang, Indonesia  acapkali memunculkan gelombang masalah ketika berupaya mengakomodiir keberadaan liberalisasi. Kurangnya pemahaman mengenai hakekat, makna dan pengejahwantahan dari paham yang mengusung slogan pay less get more tersebut, menjadi alasan utamanya. Kondisi yang sulit dan sarat tantangan ini tentu tak dapat dipisahkan dari keterbatasan modal, teknologi, infrastruktur dan yang terutama sumber daya manusia. Realitas yang menyodorkan peringatan bahaya bagi posisi Indonesia yang ditinjau dari aspek geografis, geologis, sosial ekonomi, klimatologis dan keuangan, merupakan pasar potensial dalam peningkatan aktivitas ekonomi negara-negara maju.

Di sektor pariwisata, tendensi eksploitatif ini seringkali diungkapkan oleh banyak peneliti.  D.A Fennel salah satunya berpendapat bahwa pariwisata telah menjadi wahana eksploitasi dari negara-negara maju. Berbagai fasilitas yang ada, sebagian besar adalah fasilitas yang diimpor dari negara asal wisatawan, misalkan saja mobil didatangkan dari Jerman, komputer dari Jepang, printer dari Hongkong, lampu dari Inggris, whisky dari Scotlandia, vodka dari Rusia, makanan dari Prancis, tas dari Italia, fire equipment dari USA dan furniture dari Swedia.

Tidak salah jika pada akhirnya liberalisasi  seolah-olah menempatkan negara-negara maju sebagai predator bagi negara-negara berkembang. Alih-alih meneteskan kesejahteraan (trickle down effect), mereka justru menimbulkan negasi dengan menambah kantong-kantong kemiskinan di negara berkembang dan pada gilirannya menimbulkan ketergantungan akut, yang berakibat pada semakin lemahnya posisi negara-negara berkembang dihadapan hegemoni negara-negara maju.  Joseph Stiglitz lantas mendeskripsikan konstruksi ini sebagai realitas yang asimetris. Sebagai ilustrasi, kolaborasi negara-negara maju yang berklaster minoritas dan terafiliasi  dalam G-8 dengan tingkat kepadatan kurang dari sepertiga penduduk dunia, mengkonsumsi lebih dari 40% energi, menikmati kesejahteraan 50% dalam bentuk barang dan jasa dan menguasai lebih dari 50% ekspor dunia. Sementara itu, negara-negara ketiga dengan tingkat kepadatan 2/3 dunia hanya menikmati kurang dari 20% kesejahteraan dan pemerataan dunia.

Agar kondisi ini tak terus terulang di masa mendatang, pemerintah  wajib memberikan kedalaman pengertian dan pemahaman, bahwa  hakikat liberalisasi   tidak hanya mendengung-dengungkan perdagangan bebas dan pertumbuhan ekonomi, namun bagaimana liberalisasi sanggup melahirkan suatu keadilan yang lebih bersifat substantial. Salah satu parameternya adalah timbulnya distribusi kesejahteraan kepada negara-negara berkembang dan terbelakang. John Rawls menyebutnya sebagai justice as fairness. Tak hanya itu, kita pun dapat berlindung di balik prinsip-prinsip liberalisasi jasa dalam GATS (General Agreement on Trade in Services) yang notebene dilaksanakan secara gradual (progressive liberalization), berdasarkan tujuan kebijakan nasional, mempertimbangkan tingkat perkembangan setiap negara, dan memiliki fleksibilitas tertentu bagi negara berkembang seperti Indonesia.

Akhirnya, demi mewujudkan peranan pariwisata sebagai katalisator dalam mempercepat manifesto atau cita-cita mulia Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur ( gemah ripah loh jinawi) di tahun 2025, pemerintah wajib mendengarkan aspirasi para pelaku usaha pariwisata dan masyarakat dalam sebuah ruang dialog, untuk secara proaktif mengidentifikasi segala kebutuhannya dalam menghadapi pergulatan liberalisasi, sekaligus memberikan koreksi yang obyektif, berkelanjutan serta bersama-sama mencari ukuran solusi yang tepat. Pasalnya, merekalah yang nantinya merasakan dampak langsung dari proses liberalisasi yang rencananya akan diberlakukan penuh pada tahun 2020 itu.