Sabtu, 17 November 2012

Resensi Buku Liberalisasi Jasa dan Masa Depan Pariwisata Kita


DESAIN STRATEGI 4-4-2 MENYONGSONG LIBERALISASI PARIWISATA


JUDUL BUKU
Liberalisasi Jasa Dan Masa Depan Pariwisata Kita
PENULIS
IGN Parikesit Widiatedja
PENERBIT
Udayana University Press
CETAKAN
Pertama, Maret 2010
TEBAL
xxiv + 172 halaman


            Keikutsertaan proaktif Indonesia dalam GATS (General Agreement on Trade in Services) dan AFAS (ASEAN Framework on Services) berimplikasi pada liberalisasi di sektor pariwisata. Proses ini menjadi isu sentral yang menjadi sorotan publik di tengah upaya strategis yang disiapkan untuk memajukan sektor tanpa cerobong asap tersebut. Pelbagai upaya promosi dan serangkaian aksi keterpihakan dilakukan untuk mendongkrak sektor ini, dalam ihtiarnya untuk meningkatkan kontribusinya bagi pembangunan sebagai eksesmultiplier effect yang ditimbulkan. Proses liberalisasi pada sektor jasa mencakup pemasokan atau penyediaan jasa-jasa melalui 4 modus penyelenggaraan jasa (modes of supply) yaitu Cross Border Supply, yakni penyelenggaraan lintas negara dari wilayah satu negara anggota ke wilayah negara anggota lainnya, Consumption Abroad, atau konsumsi di luar negara, yaitu konsumsi dalam wilayah suatu negara anggota kepada konsumen dari negara anggota, Commercial Presence, yakni keberadaan komersial oleh penyedia jasa dari suatu negara anggota melalui kehadirannya di negara anggota lainnya, seperti kantor perwakilan/cabang dan Presence/Movement of Natural Persons, hal ini sangat berkaitan dengan keberadaan SDM. Penyediaan jasa dari satu negara anggota melalui 12 kehadiran personil (penyedia jasa) di negara anggota lainnya.

Dalam menyongsong liberalisasi pariwisata yang rencananya akan diberlakukan penuh di tahun 2020, Indonesia dapat melakukan manual prosedur offer and request pada sektor-sektor yang telah menjadi brand image dan menjadi keunggulan komparatif pariwisata. Sebagai suatu mekanisme perundingan yang lazim berlaku di dalam WTO, setiap negara dapat menyampaikan komitmen (offer) mengenai deregulasi dan debirokrasi bagi orang atau perusahaan asing untuk ikut ambil bagian dalam  jasa pariwisata misalnya memungkinkan warga negara lain atau perusahaan asing memiliki persentase saham dalam sektor perhotelan di suatu wilayah negara pemberi komitmen, dan sebaliknya dapat pula meminta hal yang sama kepada negara lain (request). Proses negosiasi intensif ini dapat dilangsungkan secara bilateral, plurilateral, dan multilateral.

Beranjak dari konsep di atas, pemerintah menjadi aktor utama dalam menentukan masa depan pariwisata yang berorientasi pada penyediaan jasa pawisata yang berstandar internasional. Tujuan jangka panjang tersebut dapat ditransformasikan dalam suatu tindakan pemerintah yang diistilahkan dengan kebijakan publik. Kebijakan ini menurut Hugh Heglo adalah “suatu tindakan yang bermaksud mencapai tujuan (goal, end) tertentu (a course of action intended to accomplish some end). Konstruksi desain kebijakan pemerintah di sektor pariwisata inilah yang dideskripsikan secara apik dan faktual oleh IGN Parikesit Widiatedja (29th), Dosen muda Fakultas Hukum Universitas Udayana. Dalam buku keduanya yang berjudul Liberalisasi Jasa dan Masa Depan Pariwisata Kita, penulis menjelaskan mengenai teorema Angels sebagai rekomendasi desain kebijakan. Eksistensi seorang malaikat atau bidadari yang termanifestasi sebagai agen kebenaran dan pencerahan menjadi argumentasi istilah Teorema Angels ini dipergunakan.

Teorema Angels merupakan rumus praktis ala penulis yang terdiri atasability, national interest, gradual, equality, lawful dan sustainable. Abilityatau kemampuan, yakni pemerintah dalam mendesain suatu kebijakan wajib didasarkan pada kemampuan riil yang dimiliki baik ditinjau dari dimensi internal maupun eksternal. Realitas kebijakan yang ada, kualitas sumber daya manusia, potensi produk yang ditawarkan, ketersediaan infrastruktur, penguasaan teknologi hingga konfigurasi persaingan global menjadi parameter kompulsif untuk mengukur dan menganalisis kesiapan Indonesia dalam menghadapi fenomena kontemporer tersebut. Selanjutnya, kepentingan nasional menjadi faktor yang sangat penting dalam menentukan arah dan kendali liberalisasi pada subsektor-subsektor pariwisata. Tak hanya itu, kepentingan nasional mewajibkan pula pemerintah untuk mengutamakan dan memprioritaskan aspek manfaat bagi perekonomian  dalam bentuk proteksi dan pengakomodasian kepentingan nasional dalam persetujuan GATS. Proses inilah yang diistilahkan penulis dengan National Interest.

Gradual atau bertahap merupakan trademark GATS. Proses ini dapat diilustrasikan sebagai proses tebang pilih yang berorientasi pada kemampuan dan kepentingan sendiri sehingga tidak semua subsektor harus diliberalisasikan. Pemerintah mengambil peran penting dalam menentukan subsektor-subsektor apa yang sudah siap atau belum siap untuk diliberalisasi. Desain kebijakan juga seyogyanya mempertimbangkan prinsip equality.Equality dalam konteks ini merupakan pemerataan yang mencerminkan jiwa, semangat, dan tujuan ideal dari setiap desain kebijakan yang akan digulirkan. Kebijakan yang ditempuh harus mengarah pada pencapaian pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya serta tidak terjebak pada ideologi pertumbuhan ekonomi yang sedang gencar dipromosikan oleh  negara-negara kapitalis. Pemerataan dapat ditempuh melalui pendistribusian kesejahteraan, baik dalam bentuk perlindungan hukum maupun prioritas pembangunan ekonomi bagi mereka yang berklaster minoritas dan cenderung termarjinalkan.

Lawful menghendaki setiap desain kebijakan yang ditempuh pemerintah sesuai dengan kaidah-kaidah hukum yang berlaku. Dengan kata lain, proses harmonisasi dan transformasi persetujuan GATS ke dalam kaidah hukum nasional harus sesuai dengan teori penjenjangan norma sebagaimana yang diungkap oleh Hans Kelsen dalam Stufenbau theory. Dan sustainableatau berkelanjutan merupakan desain kebijakan sebagai hasil keterpaduan antara dimensi lalu, kini dan nanti. Kebijakan yang dibuat hendaknya berkarakter otonom, prosedural, progresif dan visioner yang menarasikan prediksi-prediksi yang akurat disertai dengan roap map menuju pembangunan pawisata yang berkelanjutan. Merujuk Pacific Ministers Conference on Tourism and Environment di Maldivest tahun 1997, prinsip-prinsip pariwisata berkelanjutan ini meliputi kesejahteraan lokal, penciptaan lapangan kerja, konservasi sumber daya alam, pemeliharaan dan peningkatan kualitas hidup, serta equity inter dan antar generasi dalam distribusi kesejahteraan.

Buku setebal 172 halaman yang diterbitkan oleh Udayana University Press ini, merupakan wujud konkrit dari eksistensi penulis di khazanah keilmuwan hukum pariwisata di tengah keringnya minat generasi muda untuk meneliti. Paparan yang disajikan dalam buku  Liberalisasi Jasa dan Masa Depan Pariwisata Kita dikemas dalam bahasa yang komunikatif, aktual, human interest, dan sarat akan rekomendasi mengenai rekonstruksi  kebijakan di bidang pariwisata. Buku ini juga berpotensi menjadi pilihan praktis dalam meneropong liberalisasi jasa dengan prediksi-prediksi ilmiah yang mengantarkan para pembaca menuju reorientasi dan revitalisasi sektor pariwisata Indonesia yang berkelas dunia (world class).
                                                                                                                        

Tidak ada komentar:

Posting Komentar