Minggu, 24 Juli 2011

Grand Strategi 4-4-2 Masa Depan Pariwisata

Grand  Strategi (4-4-2) Masa Depan Pariwisata di Era Liberalisasi Jasa

Empat program jangka pendek yang mendesak meliputi:

1.         Pembuatan kaidah hukum pariwisata;
2.     pemberdayaan  sumber  daya  pariwisata;
3.     peningkatan nilai ekonomi pariwisata;
4.     perhatian   terhadap   aspek lingkungan hidup.
 
Point 4.1 dilakukan dengan

1.   Memperhatikan aspek khas dari pariwisata;
2.  alokasi dana tetap bagi pariwisata;
3.  sinkronisasi kaidah hukum pariwisata;
4.  deregulasi dan debirokratisasi pariwisata;
5.  persyaratan alih teknologi;
6.  klasifikasi, standarisasi dan sertifikasi;
7.  mekanisme sanksi yang tegas.

Point 4.2 dilakukan dengan

 1.    Kerjasama antardaerah dalam otonomi;
2.    kerjasama antarpelaku usaha pariwisata;
3.    pemanfaatan teknologi informasi;
4.    pemberdayaan masyarakat sekitar;
5.    peningkatan keamanan;
6.   peningkatan   intensitas   penelitian  dan pengembangan pariwisata;
7.    proses  sosialisasi  liberalisasi  jasa  pariwisata  sejak  usia dini.

Point 4.3 dilakukan dengan

             1.       Memanfaatkan  hasil  pertanian, kelautan untuk mendukung pariwisata;
     2.       pendekatan bisnis modern dalam pengelolaan   pariwisata;     
         3.      diversifikasi  prioritas  pengembangan usaha pariwisata;
             4.      penambahan      dan    perbaikan    infrastruktur,     fasilitas pariwisata;
             5.      peningkatan  produktivitas dan  kapasitas SDM Pariwisata;
             6.      kerjasama dan negosiasi internasional;
             7.      mekanisme promosi antar instansi.

Point 4.4 dilakukan dengan

             1.     Standarisasi lingkungan hidup;
             2.    sistem  reward  and  punishment  dalam lingkungan hidup.


Empat program jangka menengah sebagai langkah lanjutan meliputi:

 1.    Konsistensi penegakan kaidah hukum pariwisata;
 2.    terbangunnya citra positif dan identitas pariwisata yang solid
 3.   terciptanya kompetensi usaha pariwisata yang berdaya saing tinggi;
 4.   terjaminnya keberlangsungan usaha pariwisata yang berwawasan lingkungan.

Dua program jangka panjang sebagai hasil akhir meliputi:

  1. Eksistensi pariwisata sebagai agen pelestarian khazanah budaya bangsa;
  2. eksistensi pariwisata sebagai media meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia.







Rabu, 20 Juli 2011

A.N.G.E.L. Theory dan Solusi Konkret Liberalisasi Jasa

A.N.G.E.L Theory dan Rekomendasi Desain Kebijakan di Era Liberalisasi Jasa
Oleh
IGN Parikesit Widiatedja,SH.,MHum.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana


Kontribusi pemikiran ini sesungguhnya merupakan konklusi dari tulisan-tulisan sebelumnya bahwa pemerintah sebagai pihak yang memiliki otoritas, legitimasi sekaligus pengaruh, sudah selayaknya ketika mendesain kebijakan memiliki suatu filosofi ibarat para malaikat atau bidadari. Harapan yang cukup masuk akal mengingat setiap kebijakan yang dipilih sangat menentukan nasib dan kelangsungan hidup  pariwisata kita di masa mendatang. Eksistensi seorang malaikat/bidadari yang termanifestasikan sebagai agen kebenaran dan pencerahan menjadi argumentasi penggunaan istilah  A.N.G.E.L Theory  dalam pembahasan ini.

Rumus ini terdiri dari Ability, National Interest, Gradual, Equality, dan Lawful  A.N.G.E.L Theory  mungkin  pernah atau sedang berjalan sekarang, namun ini akan coba disusun  kembali menjadi sebuah rumus praktis yang mudah diingat dan dipahami sehingga niscaya akan lebih mudah untuk dilaksanakan, khususnya bagi pemerintah sebagai decision maker, dan juga mereka-mereka yang mau menjadi warga negara yang terlibat (concerned citizen) dalam memikirkan  kelangsungan hidup  pariwisata Indonesia di era liberalisasi jasa.

Ability atau kemampuan memiliki arti bahwa ketika pemerintah mendesain suatu kebijakan, wajib didasarkan pada kemampuan riil yang kita miliki, baik ditinjau dari dimensi internal maupun eksternal. Realitas kebijakan yang ada, kualitas sumber daya manusia, potensi produk yang ditawarkan, ketersediaan infrastruktur, penguasaan teknologi hingga konfigurasi persaingan global, dapat menjadi parameter dalam mengukur dan menakar kesiapan kita sebagai media untuk mengidentifikasi dan menganalisis kemampuan kita dalam menghadapi liberalisasi jasa pariwisata.

National Interest atau kepentingan nasional mengharuskan atau mewajibkan pemerintah untuk mengutamakan dan memprioritaskan kepentingan nasional dalam mendesain sebuah kebijakan. Topik yang akan berkutat pada aspek manfaat bagi pemerintah, pelaku usaha pariwisata dan masyarakat sendiri dalam keikutsertaannya pada liberalisasi jasa, dan bentuk perlindungan serta pengakomodasian kepentingan Indonesia dalam Persetujuan GATS.

Gradual atau bertahap merupakan trademark GATS. Proses ini dapat disebut sebagai proses tebang pilih yang lazim digunakan dalam perbincangan mengenai pemberantasan korupsi. Tebang pilih di sini lebih berkonotasi positif dengan melihat kemampuan dan kepentingan kita sendiri sehingga tidak semua subsektor pariwisata harus diliberalisasi. Kalau kita mampu dan siap, maka kita bisa membukanya untuk diliberalisasi. Jika tidak, maka subsektor tersebut wajib dilindungi dan akan diliberalisasi apabila kita telah benar-benar siap untuk menjalaninya. Peran pemerintah  begitu dominan ketika menentukan subsektor-subsektor yang telah siap atau belum siap dalam menghadapi liberalisasi jasa melalui komitmen liberalisasi yang dibuatnya. 

             Equality dalam konteks ini merupakan pemerataan yang mencerminkan jiwa, semangat dan tujuan ideal setiap desain kebijakan yang akan digulirkan. Kebijakan yang ditempuh harus mengarah pada pencapaian pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, dan tidak terjebak pada  ideologi pertumbuhan ekonomi yang sedang gencar dipromosikan oleh negara-negara kapitalis. Pemerataan dapat ditempuh melalui pendistribusian kesejahteraan baik dalam bentuk perlindungan hukum maupun prioritas pembangunan ekonomi bagi mereka yang berklaster minoritas dan cenderung termarjinalkan.

                Lawful menghendaki setiap desain kebijakan yang ditempuh pemerintah tidak lancang menabrak kaidah hukum  yang telah berlaku di Indonesia. Dalam proses harmonisasi dan transformasi Persetujuan GATS ke dalam kaidah hukum nasional, wajib  selalu menjunjung tinggi seluruh kaidah hukum yang ada, baik itu kaidah hukum tertinggi yang berlaku sebagai kaidah dasar alias grundnorm, konstitusi, undang-undang, dan bentuk kaidah-kaidah hukum lain  yang berada di bawahnya.


Mengapa Kita Terikat GATS?

MENGAPA KITA HARUS TERIKAT
GENERAL AGREEMENT ON TRADE IN SERVICES (GATS)?
oleh
IGN Parikesit Widiatedja,SH.,MHum.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana


I.  GATS dan Kekuatan Mengikat Perjanjian Internasional

            Proses mengikatnya sebuah perjanjian internasional  dalam konteks ini GATS, membutuhkan pembahasan tersendiri sebagai upaya untuk menghadirkan  argumentasi secara logis, sistematis dan objektif berdasarkan  hukum, kebiasaan dan praktek-praktek pergaulan internasional yang lazim berlaku selama ini. Topik akan berkutat pada  sederet pertanyaan mengenai apa, mengapa dan bagaimana kekuatan mengikat dari sebuah perjanjian internasional.
            Pembahasan yang lebih cenderung bernuansa normatif ini memiliki tiga buah tujuan yakni:
1.  Menumbuhkan  kesatuan  pandang  dalam mempelajari konsekuensi-konsekuensi baik secara yuridis maupun non-yuridis bagi negara-negara yang terlibat di dalam sebuah perjanjian internasional;
2.   menghindari  perbedaan  persepsi  yang  tiada berujung  dalam memahami GATS sebagaimana pengalaman pahit yang pernah menimpa GATT di masa lampau;[1]
3.  agar  GATS yang telah efektif berlaku sebagai aturan hukum yang mengikat (legally binding contractual agreement), tidak menuai penolakan atau keragu-raguan, baik ditinjau dari  eksistensinya maupun aspek formalitas atau proseduralnya.
Hikmah dari tercapainya tujuan-tujuan tersebut, kita  akan lebih fokus memusatkan energi, akal dan pikiran untuk menganalisis pendekatan yang lebih bersifat substansial. Pada tahap selanjutnya, upaya ini akan menggiring kita agar mampu menempatkan GATS selalu dalam bingkai kepentingan Indonesia, sekaligus sebagai sistem peringatan dini (early warning system) dalam menghadapi akselerasi kehidupan sebagai andil dari adanya liberalisasi jasa.
            Kekuatan mengikat  GATS akan diidentifikasi berdasarkan teori perjanjian internasional yang ada, asas atau prinsip umum yang telah menjadi kebiasaan internasional, sifat mengikat perjanjian internasional, eksistensi WTO sebagai organisasi internasional yang menjadi payung GATS, dan tahapan prosedur yang telah dilewati oleh sebuah negara sebagai aspek validitas mengikatnya sebuah perjanjian internasional.

1.1.  Berdasarkan Teori Perjanjian Internasional

Sebuah perjanjian internasional merupakan salah satu instrumen terdepan dalam memprakarsai, merumuskan, melaksanakan dan mengembangkan kerjasama internasional. Tak dapat dipungkiri, bahwa perjanjian internasional telah menjadi media yang praktis bagi transaksi dan komunikasi antaranggota masyarakat negara.[2] Bagi sebagian besar negara, perjanjian internasional dapat diilustrasikan sebagai sebuah jembatan atau titian untuk mengkomunikasikan kebijakan, sikap, dan tindakan suatu negara dalam hubungannya dengan negara lain.
Berdasarkan argumentasi Bierly, perjanjian internasional merupakan perjanjian kontraktual antarnegara, yang pada perkembangan selanjutnya memiliki beragam istilah seperti perjanjian internasional (Treaty), Konvensi (Convention), Pakta (Pacts), Deklarasi (Declaration) dan Protokol (Protocol).[3] Konvensi Wina 1969 dan Konvensi Wina 1986 mendefinisikan perjanjian internasional sebagai suatu persetujuan internasional yang disepakati antara negara-negara, dalam bentuk tertulis dan diatur oleh hukum internasional, baik diwujudkan dalam satu instrumen tunggal, ataupun dalam dua atau lebih instrumen yang saling berkaitan, bagaimanapun penandaan khususnya.[4]
Dasar mengikatnya suatu perjanjian internasional itu sendiri dapat ditelusuri dari berbagai teori yang mengatur kekuatan mengikat suatu hukum internasional. Teori-teori ini antara lain:

1. Teori hukum alam:  Hugo Grotius mempopulerkan teori ini. Beliau menyatakan bahwa persetujuan (consent) sebagai dasar terbentuknya hukum internasional. Pada gilirannya, persetujuan ini dapat memaksa negara-negara untuk mentaati hukum internasional itu sendiri. Jadi, persetujuan merupakan elemen utama yang membuat hukum internasional dapat ditegakkan. [5]
2.      Teori kekuatan mengikat berdasarkan kehendak sendiri: George Jellinek mempopulerkan teori ini. Beliau mendasarkan kekuatan mengikat hukum internasional atas kehendak negara itu sendiri.[6]
3.  Teori  kekuatan  mengikat   karena kehendak bersama: Triepel mempopulerkan teori ini. Beliau menyatakan bahwa hukum internasional mengikat bagi negara-negara karena suatu kehendak bersama untuk tunduk pada hukum internasional.[7]
4.  Mazhab Wina:  Hans Kelsen mempopulerkan teori ini. Beliau menyatakan bahwa bukan kehendak negara, melainkan suatu kaidah hukum merupakan dasar terakhir dari kekuatan mengikat hukum internasional. Kaidah hukum yang lebih tinggi mendasari berlakunya kaidah hukum ini. Pada fase selanjutnya,  suatu kaidah yang lebih tinggi lagi berlaku sebagai dasar bagi kaidah hukum tadi hingga mencapai suatu puncak kaidah yang dinamakan sebagai kaedah dasar (grundnorm). Hans Kelsen lalu menyebutkan alasan bagi keabsahan kaidah hukum dalam hukum internasional yang tercipta melalui perjanjian sebagai norma yang terbentuk oleh tradisi, dan dirumuskan dalam satu kalimat: pacta sunt servanda. [8]
1.2. Berdasarkan   Asas  Pacta  Sunt  Servanda

Dalam perspektif hukum privat, asas pacta sunt servanda dapat diasosiasikan sebagai asas kepastian hukum. Asas ini kurang lebihnya mempunyai arti bahwa setiap perjanjian yang telah disetujui oleh para pihak berlaku sebagai sebuah undang-undang bagi para pihak tersebut. Pihak yang tidak terlibat pun tetap diwajibkan untuk menghormati dan menempatkan perjanjian itu laksana sebuah undang-undang.[9]
Starke lalu menyebutkan bahwa dalam praktek pergaulan internasional, hampir dalam semua kasus perjanjian internasional bertujuan untuk membebankan kewajiban-kewajiban yang mengikat terhadap negara peserta.[10] Mengikatnya kewajiban-kewajiban yang diatur dalam suatu perjanjian internasional kepada peserta-pesertanya disandarkan pada sebuah asas yang dianggap sebagai norma fundamental, yakni Pacta Sunt Servanda. Penegasan ini disampaikan oleh Anziloty, seorang juris terkenal dari Italia yang pernah menjabat hakim pada permanent Court of Justice. [11]
Norma fundamental itu lalu menetapkan bahwa negara-negara harus menghormati perjanjian internasional yang telah dibuat di antara mereka. Sekali suatu negara mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional, maka negara itu harus berkomitmen untuk melaksanakan setiap ketentuannya dengan itikad baik dan tidak dapat menarik diri dari kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan tanpa adanya persetujuan dari negara-negara anggota lainnya.[12] Pasal 26 Konvemsi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional menyatakan bahwa” Every treaty in force in binding upon the parties to it and must be performed by them in good faith”.
Pengakuan terhadap eksistensi asas pacta sunt servanda, telah menjadi sebuah kebiasaan internasional[13] yang diakui oleh negara-negara di dunia. Kenyataan ini bahkan telah dipraktekkan jauh hari sebelum norma hukum internasional itu ada. Sebelum adanya Vienna Convention 1969, perjanjian antarnegara, baik bilateral maupun multilateral, diselenggarakan semata-mata berdasarkan asas pacta sunt servanda dan itikad baik serta  diperkuat dengan argumentasi para ahli hukum internasional (doktrin).[14]
Faktor yang tak kalah  pentingnya dengan posisinya sebagai kebiasaan internasional, maka asas pacta sunt servanda merupakan salah satu sumber hukum asli bagi hukum internasional. Kebiasaan internasional telah menjadi salah satu sumber hukum tertua yang diakui sebagai hukum yang mengikat yang berasal dari praktek-praktek negara-negara.[15] Ketika perputaran roda pergaulan internasional bergerak kencang, dan tak mampu diimbangi dengan penetapan seperangkat kaidah hukum yang tertulis, maka kebiasaan internasional pulalah yang nantinya mengambil peran untuk mencegah atau menghindari terjadinya kekosongan hukum.
Jika ditinjau dari perspektif hubungan internasional, telah lazim dikenal dimensi lain selain kaidah hukum internasional berikut kekuatan mengikatnya. Etika pergaulan, dan  faktor pencitraan (image), serta kepercayaan (trust) yang lahir dari praktek pergaulan dan kebiasaan internasional, telah menjadi pilar penting yang bersifat akumulasi dan komplementer dalam mengaktualisasikan postur diplomasi internasional suatu negara.  Hubungan antarnegara sifatnya sangatlah panjang dengan melintasi beberapa generasi alias berdimensi kini dan nanti. Seiring dengan itulah, dibutuhkan keseriusan, kecermatan dan komitmen kuat untuk melaksanakan setiap perjanjian internasional yang telah disetujui dan berlaku pula sebagai kewajiban suatu negara terhadap negara lain dalam komunitas internasional (erga omnes). Yang patut diingat, sikap, kemauan dan tindakan yang dilakukan suatu rezim pemerintahan kini sebagai representasi negara, akan menjadi catatan perjalanan sejarah yang tak terputus bagi eksistensi suatu pemerintahan selanjutnya di masa mendatang.

1.3.  Berdasarkan Sifat Mengikat Perjanjian Internasional

Jika ditelusuri dari sifat mengikatnya, perjanjian internasional dapat dikategorikan menjadi treaty contract dan law making treaty. Treaty contract merupakan perjanjian yang bertujuan untuk melahirkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban di antara pihak yang mengadakan perjanjian itu saja. Sementara itu, law making treaty adalah perjanjiian yang mengandung  norma  hukum universal dan berlaku bagi anggota  masyarakat  bangsa-bangsa, sekaligus merupakan pejanjian  internasional   yang bersumber   langsung  pada hukum internasional.[16] Dalam  perspektif  demikian, model  perjanjian ini   juga  mengikat   bagi  negara-negara yang tidak  terlibat   secara  penuh  atau aktif dalam proses pembentukan perjanjian tersebut.
            Perjanjian yang bersifat treaty contract misalnya dapat terlihat pada perjanjian-perjanjian yang bersifat bilateral seperti: perjanjian kerjasama Indonesia dengan Australia dalam “Joint Declaration on a Comprehensive Partnership”,  perjanjian Indonesia dengan Papua Nugini dalam “Joint Border Commission” dan Perjanjian Multilateral Asia Africa dalam bentuk The New Asia-African Strategic Partnership (NAASP). Perjanjian yang bersifat law making treaty dapat ditemui dalam konvensi-konvensi internasional yang dikeluarkan badan atau organisasi internasional seperti: Konvensi Paris 1919, Konvensi Chicago 1944, Konvensi Jenewa 1949, Space Treaty 1967 dan Konvensi Wina 1969.
Beranjak dari uraian tersebut, jelaslah terlihat bahwa  GATS  merupakan perjanjian yang bersifat law making treaty. Perjanjian yang dikeluarkan oleh organisasi perdagangan dunia (WTO) ini merupakan norma hukum universal yang wajib dihomati dan ditaati oleh seluruh negara di dunia, terlebih bagi yang tergabung di dalam WTO.

1.4. Berdasarkan Eksistensi WTO

Organisasi internasional merupakan  suatu model pengaturan kerjasama yang ruang lingkupnya melintasi batas negara, untuk mencapai tujuan-tujuan yang disepakati bersama, baik antar pemerintah maupun nonpemerintah, dengan memiliki struktur organisasi yang jelas dan lengkap.[17] Untuk mendirikan suatu organisasi internasional, memang membutuhkan suatu dasar hukum yang biasanya termaktub dalam suatu perjanjian internasional. Dalam perjanjian inilah, lazimnya akan  termuat tujuan, fungsi dan struktur organisasi internasional.[18] Pada konteks organisasi perdagangan dunia (WTO), dasar hukum ini terdapat pada Agreement Establishing of The World Trade Organization.
Untuk dapat dikatakan sebagai sebuah subjek hukum internasional yang sah dan mandiri, suatu organisasi internasional  perlu memiliki  kedudukan atau kepribadian hukum (legal personality). Suatu persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh keabsahan atau validitas hukum sebagai pelaku (subjek) serta satuan tersendiri dalam pergaulan atau hubungan internasional. Syarat-syarat yang harus dipenuhi antara lain:[19]

1.   Merupakan himpunan negara-negara yang bersifat tetap, serta dilengkapi dengan struktur organisasi yang lengkap dan tetap.
2.    Memiliki perbedaan, dalam hal kewenangan hukum dan tujuan organisasi, antar organisasi itu dengan negara anggota.
3.      Diakui sebagai satuan tersendiri (bukan sekadar kumpulan negara-negara) dalam transaksi atau hubungan dengan pihak lain.

Contoh organisasi yang memiliki legal personality tersendiri adalah ASEAN, PBB, IMF dan WTO. Sementara, organisasi yang hanya berupa pengelompokan negara-negara, misalnya gerakan non-blok atau gerakan-gerakan lain yang sifatnya lebih kepada penggalangan dukungan moral, tidak memiliki legal personality. Dengan adanya kedudukan hukum, maka suatu organisasi internasional memiliki sebuah kekuasaan untuk mewujudkan tujuannya, sekaligus pula untuk memiliki kekuatan memaksa dalam mengeksekusi setiap kebijakan yang telah dibuatnya.[20]
WTO sendiri jelas merupakan organisasi internasional dengan legal personality yang inheren di dalamnya. Di dalam struktur organisasi WTO, jelas terpampang pembagian fungsi antara legislatif, eksekutif dan yudikatif. Merujuk pada teori trias politika Montesqueiu. Ministerial Conference atau konferensi tingkat menteri menjalankan fungsi legislatif, Dewan umum (General Council) menjalankan fungsi eksekutif dan Dispute Settlement Body (DSB) menjalankan fungsi yudikatif. Sehingga tak terbantahkan lagi, bahwa WTO merupakan organisasi internasional sejati yang segala keputusannya memiliki kekuatan mengikat bagi seluruh negara anggotanya.
Pengakuan terhadap kekuatan mengikat sebuah organisasi internasional dapat pula ditelusuri dari  sebuah doktrin yang dikemukakan oleh J.G. Starke. Beliau menyebutkan definisi hukum internasional sebagai  keseluruhan hukum yang sebagian besar terdiri atas sendi-sendi dan aturan-aturan perilaku yang mengikat negara-negara, untuk mentaatinya dalam hubungan antara negara-negara itu sama lain dan juga meliputi:[21]
a.    Aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan fungsi lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi internasional, hubungan-hubungan lembaga atau organisasi yang satu dengan yang lainnya dan hubungan-hubungan lembaga atau organisasi itu dengan negara-negara dan individu-individu.
b.    Aturan-aturan hukum tertentu yang berkaitan dengan individu-individu dan satuan-satuan bukan negara, sejauh hak-hak dan kewajiban-kewajiban para individu dan satuan-satuan bukan negara itu, merupakan kepentingan masyarakat internasional.

Dalam pemahaman dan kerangka berpikir demikian, maka dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya organisasi internasional merupakan salah satu subsistem utama dalam bangunan hukum internasional. Konsekuensinya, setiap keputusan yang ditetapkan oleh suatu organisasi internasional tertentu, membentuk kaidah hukum internasional yang memiliki kekuatan mengikat sebagaimana layaknya suatu hukum positif yang berlaku di suatu negara.

1.5.  Berdasarkan Tahapan Prosedur yang Dilewati

Suatu negara dapat mengekspresikan persetujuannya untuk terikat dalam perjanjian internasional melalui beragam cara. Pasal 11 Konvensi Wina 1969 mengatur:

“the consent of state to be bound by a treaty may be expressed by signature, exchange instrument constituting a treaty, ratification, acceptance, approval or accession, or by any other means if so agreed”

Berdasarkan ketentuan tersebut, penandatanganan, pertukaran instrumen dalam bentuk perjanjian ratifikasi, aksesi atau dengan cara lain yang disepakati merupakan ekspresi keterikatan suatu negara pada sebuah perjanjian internasional. Ada pun teknis pelaksanaannya, sepenuhnya bergantung pada kesepakatan negara-negara peserta yang tercantum dalam naskah perjanjian dimaksud.[22]
Jika suatu perjanjian internasional  menentukan bahwa pengikatan diri oleh negara-negara pesertanya dituangkan dalam bentuk penandatanganan, maka penandatanganan yang dilakukan  serta merta mengikatkan negara tersebut pada kewajiban-kewajiban yang diatur dalam perjanjian internasional tersebut. Sementara itu, apabila di dalam perjanjian  tercantum kehendak negara-negara pesertanya untuk menerapkan mekanisme ratifikasi, maka pengikatan diri hanya terjadi setelah mekanisme ratifikasi. Penerapan mekanisme ratifikasi sebagai suatu cara negara mengikatkan diri pada perjanjian internasional, menjadikan penandatanganan pada naskah perjanjian bukan lagi menjadi momentum bagi pengikatan diri, tetapi sekadar menjadi tindakan yang mengontetikkan (formalitas) naskah perjanjian internasional yang bersangkutan.[23]
Menurut Burhan Tsani, ratifikasi dalam praktek pergaulan internasional  mengandung rasio bahwa:[24]

1.  Negara berhak untuk mempunyai kesempatan guna meneliti kembali instrumen yang telah ditandatangani oleh utusannya, sebelum negara mengemban kewajiban-kewajiban yang ada dalam instrumen perjanjian.
2.      Berdasarkan kedaulatannya, suatu negara berhak untuk menarik diri dari partisipasi dalam suatu perjanjian internasional, apabila di kemudian hari negara yang bersangkutan menghendaki demikian.
3.   Sering suatu perjanjian internasional mengundang dilakukannya amandemen atau penyesuaian hukum nasional.
4.      Karena prinsip demokrasi bahwa pemerintah harus berkonsultasi dengan aspirasi umum yang ada dalam parlemen atau tempat lain, mengenai ada tidaknya keharusan untuk mengkonfirmasi perjanjian internasional.
Mekanisme ratifikasi dapat diilustrasikan sebagai putusan sela dalam pelaksanaan pengadilan. Ratifikasi memberikan nafas bagi sebuah negara untuk melakukan proses analisis komprehensif sekaligus sebagai upaya korektif serta antisipatif dengan melibatkan para pengambil keputusan (decision maker). Pengejahwantahan prinsip kehati-hatian  ini diperlukan guna menghindari kemungkinan terjadinya kesalahan dalam penetapan kaidah hukum yang justru menjadi bumerang bagi kelangsungan hidup suatu negara di masa mendatang.
Di tubuh WTO sendiri, mekanisme pengikatan diri negara-negara anggota  perjanjian-perjanjian perdagangan multilateral diatur dalam naskah Persetujuan Pembentukan WTO. WTO Agreement Final Act, Paragraf 2 menentukan:
“by signing the present Final Act, the representatif agree….To submit, as appropriate, the WTO agreement for the consideration of their respective competent authorities with a view to eeking approval of the agreement in accordance with their procedure…”

Kemudian Persetujuan Pembentukan WTO pasal 2 menentukan bahwa:
“the Agreement and associated legal instrument included in annexes 1,2 and 3 (hereinafter reffered to as’Multilateral Trade Agreement’) are integral part of this agreement, binding on all members”

Berdasarkan pemaparan tersebut, Persetujuan Pembentukan WTO mutlak dilakukan melalui mekanisme ratifikasi. Mengingat  seluruh perdagangan multilateral yang dihasilkan dalam putaran Uruguay dilampirkan dan dinyatakan sebagai bagian yang tak terpisahkan (integral) dari Persetujuan Pembentukan WTO, maka ratifikasi persetujuan ini menjadi momentum yang tidak sekadar mengikatkan diri negara-negara anggota WTO terhadap kewajiban-kewajiban yang tercantum dalam Persetujuan Pembentukan WTO, melainkan juga terhadap seluruh perjanjian perdagangan multilateral yang terlampir didalamnya termasuk GATS.
II.  Proses Terikatnya Indonesia pada GATS
Merujuk pada pasal 24 Konvensi Wina tahun 1969 tentang Perjanjian Internasional, suatu perjanjian internasional dinyatakan efektif berlaku melalui cara dan sejak tanggal yang ditentukan atau menurut cara yang disetujui negara-negara peserta yang terlibat aktif dalam perundingan. Bila tidak terdapat ketentuan mengenai klausul ini, maka perjanjian internasional tersebut mulai berlaku segera setelah diadakan persetujuan untuk mengikatkan diri terhadap perjanjian internasional.
Di dalam hukum positif Indonesia, berdasarkan Pasal 3 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, Pemerintah Republik Indonesia mengikatkan diri pada perjanjian internasional melalui cara-cara sebagai berikut:
  a.  Penandatanganan;
  b.  pengesahan;
              c.   pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik;
        d. cara-cara  lain  sebagaimana   disepakati  para pihak dalam perjanjian internasional
Pasal 4 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional kemudian menyatakan bahwa dalam  pembuatan perjanjian internasional, Pemerintah Republik Indonesia berpedoman pada kepentingan nasional dan berdasarkan prinsip-prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan memperhatikan baik hukum nasional maupun hukum internasional yang berlaku.
Merunut dari pendekatan historis, negara-negara peserta Putaran Uruguay pada masa itu (1994) telah sah dan tanpa syarat menyetujui bahwa saat berlakunya Perjanjian Pembentukan WTO ditetapkan pada tanggal tertentu sebagaimana termaktub dalam Final Act. Final Act lalu menyebutkan bahwa Persetujuan Pembentukan WTO mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1995 atau sesegera mungkin sesudahnya. Semenjak tanggal tersebut, seluruh negara anggota WTO wajib melaksanakan segala konsesi dan kewajiban yang tercantum baik dalam Persetujuan Pembentukan WTO maupun di dalam seluruh persetujuan perdagangan multilateral yang menjadi lampirannya.
Menurut Kartadjoemena, sebagai salah satu negara berkembang yang terlibat aktif dalam pergaulan internasional, Indonesia memutuskan untuk mengambil sikap untuk tidak berbuat pasif pada saat berlangsungnya perundingan Putaran Uruguay. Kepentingan untuk mempromosikan dan memperjuangkan pasar bagi barang-barang dan jasa-jasa yang diproduksi di Indonesia menjadi dasar argumentasinya. Indonesia sendiri harus berupaya mempertahankan pasaran bagi barang-barang dan jasa-jasanya, dengan turut menjaga agar aturan dalam sistem perdagangan internasional tidak berlaku secara diskriminatif, dan negara-negara maju tidak bertindak secara sepihak atas negara-negara berkembang.[25]
Penerbitan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang pengesahan Agreement Establishing of The World Trade Organization, secara resmi telah mengikat Indonesia untuk tunduk pada segala ketentuan yang diatur dalam Persetujuan Pembentukan WTO. Segera setelah Persetujuan Pembentukan WTO berlaku semenjak 1 Januari 1995, Indonesia wajib menjalankan segala konsesi dan kewajiban yang tertuang dalam WTO agreement dan berbagai perjanjian perdagangan multilateral yang menjadi lampirannya termasuk GATS.[26]
Seluruh persetujuan yang dihasilkan dalam  Putaran Uruguay, baik yang bersifat multilateral ataupun plurilateral, yang tercakup oleh Persetujuan Pembentukan WTO dan mengikat Indonesia meliputi:[27]
1.      Annex 1 yang terdiri dari tiga annex, yakni annex 1a, yaitu General Agreement on Tariff and Trade (GATT), sebagai hasil Putaran Uruguay beserta seluruh instrumen hukum yang terkait lainnya, kecuali Protocol of Provisional Application (PPA) dan penyempurnaan Tokyo Round Codes sebagai hasil Putaran Uruguay beserta instrumen-instrumen yang terkait lainnya, kecuali Codes dan arrangement sebagaimana tercantum dalam Annex 4; annex 1b, yaitu General Agreement on Trade in Services (GATS); dan annex 1c, yaitu Trade Related of Intelectual Property Rights (TRIPs).
2.      Annex 2, yakni Integrated disputed Settlement Understanding (IDSU).
3.      Annex 3, yakni Trade Policy Review Mechanism (TRRM).
4.      Annex 4 yang terdiri dari Civil Aircarft Agrement, the Government Procurement Code, The Dairy Arrangement, The Bovine Mete Arrangement.

III.  Konsekuensi  Keikutsertaan Indonesia pada GATS

Pada saat Putaran Uruguay berakhir dengan menghasilkan berbagai persetujuan perdagangan internasional, Indonesia telah menentukan sikap untuk  menyetujui berbagai persetujuan tersebut. Sebagai bentuk persetujuannya, Indonesia mengutus delegasinya ke Marakesh, Maroko untuk membubuhkan tanda tangan persetujuan. Amanat Final Act yang menghendaki agar pemerintah terlebih dahulu meminta pertimbangan badan legislatif untuk memperoleh persetujuan dalam rangka mengikatkan diri pada Persetujuan Pembentukan WTO segera direalisasikan. Pemerintah mengajukan usulan ratifikasi Persetujuan Pembentukan WTO kepada DPR RI dan usulan itu pun diterima yang bermuara dengan diterbitkannya Undang-undang Nomor 7 tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing of The World Trade Organization.[28]
Bagi Indonesia dan sejumlah negara lainnya, pilihan untuk menyertakan diri dalam persetujuan pembentukan WTO yang mencakup GATS tentu menuai sejumlah konsekuensi.  Paling tidak, mereka harus  mengagendakan program penyesuaian diri terhadap kaidah-kaidah hukum mengenai WTO, khususnya mengenai GATS.  Proses transformasi kaidah hukum internasional ke dalam kaidah hukum nasional pada akhirnya pun terjadi.[29] Konsekuensi lain yang mungkin mengemuka berkenaan dengan keikutsertaan negara-negara dalam WTO, terkait  kemungkinan ketidaksinkronan, bahkan konflik berbagai kaidah hukum nasional terhadap perjanjian internasional yang telah digariskan mengikat di suatu negara sebagai kaidah hukum baru.
PBB sebenarnya sudah cukup lama menyadari masalah pelik ini. Dalam resolusi Majelis Umum PBB No. 2102 (XX), menyatakan bahwa:
            “conflict and divergencies arising from the laws of different states in matters relating to international trade constitute an obstale to the development of world trade”
           
Guna mengatasi masalah ini, sebenarnya ada tiga alternatif solusi yang dapat ditempuh:[30]

 a.   Negara-negara    bersepakat    untuk   tidak menerapkan kaidah hukum nasionalnya. Sebaliknya mereka menerapkan kaidah hukum internasional untuk mengatur hubungan-hubungan hukum yang terjadi.
b.     Apabila   kaidah  hukum  internasional   tidak ada atau tidak disepakati oleh salah satu pihak, kaidah hukum nasional suatu negara tertentu dapat digunakan. Cara penentuan kaidah hukum nasional yang akan berlaku melalui penerapan prinsip choice of law. Choice of law adalah klausul pilihan hukum dimana para pihak sepakat untuk menuangkannya dalam kontrak yang mereka buat.
c.     Melakukan    unifikasi    dan    kesesuaian hukum aturan-aturan substantif kaidah hukum internasional. Kedua kata ini sama-sama berarti upaya atau proses menyeragamkan substansi pengaturan sistem-sistem hukum yang ada. Penyeragaman tersebut mencakup pengintegrasian sistem hukum yang sebelumnya berbeda. Perbedaannya tampak pada derajat penyeragaman tersebut, dalam unifikasi hukum penyeragaman mencakup penghapusan dan penggantian suatu sistem hukum dengan sistem hukum yang baru. Sementara itu, kesesuaian hukum tidak sedalam unifikasi hukum. Tujuan kesesuaian hukum hanya berupaya mencari keseragaman atau titik temu dari prinsip-prinsip yang bersifat fundamental dari berbagai sistem hukum yang ada.

Berdasarkan pengalaman, negara-negara anggota WTO cenderung memilih cara unifikasi dan kesesuaian hukum. Mereka beranggapan cara ini lebih akomodatif dalam mengantisipasi kemungkinan terjadinya konflik dengan kaidah hukum nasional mereka. Upaya win-win solution ini menipiskan peluang konflik diantara sistem-sistem hukum yang dianut oleh masing-masing negara tersebut.[31]
Pada WTO kebijakan mengenai unifikasi atau kesesuaian hukum ini terdapat dalam pasal XVI Persetujuan Pembentukan WTO yang menyatakan:[32]
“Each member shall ensure the conformity of its laws, regulations and administrative procedures with its obligations as provided in the annexed Agreements”

            Ketentuan pasal ini menjadi indikator penting bagaimana WTO mewajibkan negara-negara anggotanya untuk menyesuaikan kaidah hukum nasionalnya dengan kaidah-kaidah hukum yang termuat dalam WTO. Bahkan ketentuan pasal XVI juga mewajibkan negara anggotanya untuk menyesuaikan administrasi birokrasi sesuai dengan apa yang termuat dalam Persetujuan Pembentukan WTO.
            Keputusan pemerintah Indonesia yang dianggap cukup berani dalam mengikutsertakan diri pada keanggotaan WTO tentu dalam tataran implementatif di Indonesia menimbulkan sejumlah konsekuensi. Untuk mempermudah pembahasan, proses ini akan dipilah menjadi proses konsolidasi yang bersifat eksternal dan internal meliputi:
       a. Proses konsolidasi eksternal, yakni:
1.  Pemahaman    terhadap    prinsip-prinsip    dasar  yang termuat dalam Persetujuan Pembentukan WTO, seperti prinsip nondiskriminasi dan transparansi.
2. Pemahaman     terhadap   kaidah   hukum internasional utamanya proses penyesuaian diri yang sebaiknya diterapkan pada kaidah hukum nasional.
3.  Pemahaman terhadap kaidah hukum specific (per sektor) di bidang perdagangan jasa yang berlaku dalam praktek-praktek pergaulan internasional.
4.  Pemahaman   mengenai   kaidah hukum terkait prosedur penyelesaian sengketa yang termuat dalam Persetujuan Pembentukan WTO.
5.  Melakukan proses perundingan atau negosiasi perdagangan secara bertahap dan terus menerus dengan negara-negara lainnya yang tergabung dalam WTO.

       b.     Proses konsolidasi internal, yakni:
1. Melakukan  pemetaan (mapping) dan pengkajian   semua kaidah hukum nasional yang bertentangan dengan prinsip dasar yang termuat dalam Persetujuan Pembentukan  WTO.
2.  Menyiapkan  seperangkat kaidah hukum nasional yang mengadopsi apa yang dikehendaki dalam Persetujuan Pembentukan WTO.
3.  Penyelarasan  kaidah-kaidah  hukum    antara     pemerintah    pusat dengan pemerintahan daerah khususnya terkait aspek prosedural atau adminisratif.
4.  Peningkatan  kerjasama antarpihak yang terlibat dalam proses interaksi dan transaksi perdagangan baik itu pemerintah, pengusaha atau pemasok jasa dan masyarakat.
IV. Respon Kontradiktif Keikutsertaan Indonesia pada GATS

            Pada kasus Indonesia, keikutsertaan kita dalam GATS melalui ratifikasi Persetujuan Pembentukan WTO telah menuai respon yang kontradiktif. Pandangan pertama  cenderung skeptis dengan menganggap keikutsertaan Indonesia sebagai sebuah blunder yang ditengarai dapat menjerumuskan Indonesia. Mereka berargumen demikian mengingat rekam jejak Indonesia yang selalu berkutat dengan masalah, seperti beban hutang luar negeri yang sangat memberatkan, defisit perkiraan berjalan dalam neraca pembayaran yang bersifat kronis, ketidakmampuan tabungan domestik untuk membiayai investasi nasional dan masalah kepincangan struktural yang secara fundamental belum dikoreksi. Sritua Arif mengemukakan pandangan ini.[33]
            Christianto Wibisono memperkuat pandangan Sritua Arif tersebut. Beliau bahkan mengganggap bahwa pembentukan WTO yang memperluas eskalasi perdagangan termasuk GATS, tak ubahnya seperti perjanjian dagang VOC dengan raja-raja Nusantara terdahulu. Isi persetujuan seolah berbunyi kerjasama ekonomi, namun ujung-unjungnya adalah eksploitasi ekonomi.[34]
            Sri Edi Swasono lalu mengatakan pasar bebas melalui WTO akan menggagalkan cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pasar bebas akan menutup hak demokrasi ekonomi rakyat miskin yang tanpa daya beli akan menjadi penonton, berada di luar pagar-pagar transaksi ekonomi. Pasar bebas juga melahirkan swastanisasi yang memberikan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak ke tangan partikelir dan asing.  Ketimpangan struktural pun terjadi dan mendorong terbentuknya polarisasi sosial ekonomi yang pada akhirnya merenggangkan persatuan nasional.[35]
Pemikiran selanjutnya dari mereka yang menolak liberalisasi perdagangan melalui WTO antara lain lahir dari Amartya Sen. Guru Besar Trinity College, Cambridge, London, yang juga peraih nobel ekonomi 1998. Beliau menyatakan liberalisasi perdagangan melalui WTO sebagai proses yang justru membuat jurang si miskin dan si kaya semakin lebar. Liberalisasi mustahil bisa berfungsi adil jika tak ada kekuatan dalam memperoleh keunggulan informasi dan pengelolaan sumber daya. Liberalisasi juga takkan berfungsi optimal jika tak ada piranti lain yang membuka akses bagi semua orang untuk berperan serta. Pendek kata, tanpa aturan main yang bisa mencegah si kuat melahap yang lemah, liberalisasi akan menjadi alat perampasan ekonomi. Dari sinilah ketimpangan pendapatan dan kepincangan kesejahteraan bermula.[36]
Soemitro Djoyohadikusumo, arsitek ekonomi Orde Baru, membantah semua pandangan tersebut. Beliau bersikukuh bahwa liberalisasi ekonomi bukanlah barang haram sepanjang liberalisasi tersebut tidak bertentangan dengan semangat UUD 1945. Liberalisasi ekonomi dapat diterima sebagai upaya untuk memperbaiki struktur perekonomian dunia agar distribusi kesejahteraan di antara masyarakat dunia menjadi adil dan merata. Lebih jauh beliau mengungkapkan, bahwa adanya Persetujuan Pembentukan WTO yang melegalkan liberalisasi justru menjadi cambuk untuk mempercepat deregulasi sektor riil dan menghilangkan kebijakan-kebijakan perdagangan yang hanya menguntungkan kelompok-kelompok tertentu.[37]
Yoshihara Kunio yang mempopulerkan istilah kapitalisme semu (ersatz capitalism) mendukung pendapat ini. Beliau beranggapan modal-modal yang beredar di negara-negara berkembang sesungguhnya didominasi oleh modal asing dan kaum kapitalis Cina. Dikatakan sebagai kapitalisme semu karena mereka  sebagian besar merupakan pemburu rente serta mengandalkan proteksi pemerintah dalam bentuk konsensi, lisensi, hak monopoli dan subsidi pemerintah. Pendapat ini sekaligus merespon  kebijakan-kebijakan negara-negara berkembang yang enggan menerapkan kebijakan liberalisasi, namun justru memberikan kebijakan yang diskriminatif yang hanya menguntungkan segelintir pihak saja.[38]
Pemerintah Indonesia  memiliki argumentasi tersendiri terkait keikutsertaannya pada Persetujuan Pembentukan WTO. Menurut Susanto Sutoyo, Dirjen Multilateral Ekubang Departemen Luar Negeri, pengaruh positif keikutsertaan Indonesia pada WTO yang juga menjadi alasan diterbitkannya Undang-undang No 7 Tahun 1994 meliputi:[39]
1.   WTO memiliki prinsip utama untuk menjamin tindakan-tindakan nondiskriminasi antarnegara anggotanya. Implementasi prinsip ini penting bagi negara-negara yang secara ekonomi lebih kecil. Jika tak terdapat suatu sistem multilateral, maka negara-negara di dunia harus bernegosiasi satu per satu dengan negara lain. Suatu proses yang tentunya akan menguras waktu, energi dan biaya.
2.      Adanya sistem penyelesaian sengketa WTO memungkinkan posisi negara kecil sejajar  dengan negara-negara besar. Jika melalui jalur negosiasi bilateral, negara yang lebih kecil secara ekonomi dengan posisi tawar lebih kecil tentunya akan menjadi sasaran empuk kepentingan negara besar apabila bersengketa dengannya.
3.      Pembentukan WTO dapat meningkatkan arus lalu lintas barang dan jasa. Pada gilirannya, ini akan mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, mendongkrak pendapatan negara serta membuat  lebih disiplinnya suatu negara sehingga tidak mudah mengubah-ubah suatu peraturan yang ditujukan untuk kepentingan segelintir orang saja.
4.  Selain merupakan perangkat perjanjian internasional yang menjamin implementasi prinsip nondiskriminasi di antara negara anggotanya, WTO juga menjamin perlakuan yang berbeda atau lebih fleksibel bagi negara berkembang. Melalui pengaturan ini, negara berkembang memiliki peluang untuk mengejar ketertinggalannya dari negara-negara yang sudah lebih dulu maju.
S.B Joedono, Menteri Perdagangan RI pada tahun 1994 memperkuat alasan-alasan tersebut. Beliau menyatakan bahwa kesediaan  Indonesia menandatangani final act hasil kesepakatan  Putaran Uruaguay didasari oleh keyakinan bahwa pilihan ini memberikan manfaat yang lebih besar bagi Indonesia. Persetujuan ini akan memberikan payung multilateral sebagai pengayom Indonesia dalam menghadapi mitra-mitra dagang yang lebih besar. Dengan demikian, Indonesia akan berada pada posisi yang seimbang dengan mitra-mitra dagang lainnya sekaligus mereduksi kecenderungan  proteksionisme yang kerapkali terjadi sebelum adanya Putaran Uruguay.[40]
Pernyataan yang ternyata sejalan dengan penjelasan Undang-undang No.7 Tahun 1994 tentang Agreement Establishing the World Trade Organization. Undang-undang ini menyebutkan bahwa Persetujuan Pembentukan WTO pada  hakikatnya bukan saja memungkinkan terbukanya peluang pasar internasional yang lebih luas, tetapi juga menyediakan kerangka perlindungan multilateral yang lebih baik bagi kepentingan nasional, khususnya dalam menghadapi mitra dagang.
Pada perkembangan terbaru, Menteri Luar Negeri kita, Hasan Wirayuda mengapresiasi pilihan keikutsertaan Indonesia di dalam WTO. Beliau mengungkapkan pola interaksi perdagangan multilateral melalui WTO sangat cocok digunakan sebagai media dalam mengembangkan perdagangan Indonesia. Pola ini jauh lebih efektif ketimbang melakukan pendekatan secara bilateral mengingat aturan mainnya yang telah jelas. Beliau lalu mencontohkan ketika Indonesia memenangkan tuntutan antidumping atas penjualan kertas ekspor ke Korea yang proses penyelesaian sengketanya  melalui forum resmi dalam WTO.[41]
Marie Elka Pangestu, Menteri Pedagangan kita, mengutarakan pendapat senada. Beliau menegaskan eksistensi WTO sebagai payung yang tepat bagi Indonesia berkaitan dengan perlindungan kerja sama perdagangan dunia. Beliau juga meyakinkan bahwa absennya Indonesia dari     WTO    justru    akan    dapat    memberatkan   berbagai   upaya    dalam mengatasi     ketidakpastian   dalam  berbagai    hubungan  bilateral maupun regional yang dilakukan. Beliau kembali menegaskan strategi Indonesia dalam melakukan pendekatan multilateral, regional dan bilateral. Indonesia tidak mungkin hanya mengandalkan kerja sama bilateral karena akan melemahkan  posisi tawar Indonesia sebagai negara berkembang, utamanya jika harus menghadapi  negara-negara maju seperti Jepang dan Amerika Serikat.[42]


[1]  Perbedaan persepsi ini sempat terjadi tatkala GATT menjadi payung hukum  transaksi perdagangan internasional. Sebagian pihak beranggapan bahwa perjanjian ini hanyalah sebuah pedoman umum yang tidak mempunyai kekuatan mengikat atau lex imperfecta. Aliran ini kemudian dikenal sebagai non-legaistik. Sementara pihak yang lain jelas-jelas beranggapan bahwa GATT memiliki kekuatan mengikat yang juga memiliki proses penyelesaian sengketa yang tegas, obyektif dan efektif. Aliran ini kemudian dikenal sebagai legalistik/ rule-oriented. Akibatnya, perjanjian GATT menjadi tumpul dan tidak memiliki kekuatan pemaksa akibat diragukannya eksistensi dari Persetujuan GATT itu sendiri.

[2]  Mohd. Bursan Tsani. 1990. Hukum dan Hubungan Internasional. Yogyakarta: Liberty, h.67.
[3]   Bierly dalam Bursan Tsani, ibid.
[4]   Ibid., h.68.
[5]   Jawahir Thontowi & Pranoto Iskandar.2006. Hukum Internasional Kontemporer. Bandung: Refika Aditama, h.13.
[6]   Mochtar  Kusumaatmadja. 1990.  Pengantar  Hukum  Internasional. Bandung: Bina Cipta,h.43-46.
[7]   Ibid.
Lihat juga dalam Jawahir Thontowi & Pranoto Iskandar,op.cit., h.13.
[8]   Hans Kelsen. 2006.  Teori Hukum Murni: Dasar-dasar  Ilmu Hukum Normatif. Diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien. Bandung: Nusamedia & Nuansa, h. 238.
[9]  Lihat dalam Salim H.S.2006. Hukum Kontrak; Teori & Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta: Sinar Grafika, h.10.
    Bandingkan pula dalam Richard Burton Simatupang.2003. Aspek Hukum dalam Bisnis. Jakarta: Rineka Cipta, h.31.
[10]   J.G Starke. 2001.Pengantar  Hukum  Internasional 2.  Diterjemahkan   oleh Bambang Iriana Djajaatmadja.Jakarta: Sinar Grafika, h.87.
    Lihat juga dalam Martin Dixon & Robert Mccorquodale. 1991. Cases & Materials on International Law. London: Blackstone Press Limited, h.61.
[11]   Anziloti dalam J.G Starke. Ibid.,h.36.
[12]   Ibid.,h.37.
[13]   Mengenai efektivitas kebiasaan, coba lihat Chainur Arrasjid. 2000. Dasar-dasar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, h.64-65.
[14]   Pasal 38  ayat (1) Piagam Mahkamah Internasional mengakui, bahkan dalam menimbang dan memutuskan suatu perselisihan dipergunakan beberapa pedoman salah satunya doktrin. Lihat penjelasan lengkapnya dalam F.A. Whisnu Situni.1989. Identifikasi dan Reformulasi Sumber-sumber Hukum Internasional. Bandung: Mandar Maju, h.90-92.
[15]   Jawahir Thontowi & Pranoto Iskanda, op.cit., h.61.
[16]  Lihat  pada T. May Rudy. 2006. Hukum Internasional 2.  Bandung:Refika Aditama, h.129.
[17]   T. May Rudy,op.cit., h.94.
    Lihat juga dalam Hata. 2006.Perdagangan Internasional dalam Sistem GATT dan WTO, Aspek-aspek Hukum dan Non Hukum. Bandung:Refika Aditama, h.86.
[18]   Huala Adolf.2005. Hukum Perdagangan Internasional. Jakarta:Rajawali Press, h. 64.
[19]   T. May Rudy, op.cit., h.99.
[20]   Dalam  Sri   Setianingsih  Suwardi.2004. Pengantar   Hukum   Organisasi Internasional. Jakarta: UI-Press, h.7 disebutkan bahwa status organisasi internasional dalam hukum internasional meliputi:
1.   Sebagai subyek hukum internasional;
2.   membantu pembentukan hukum internasional;
3.  sebagai  forum  untuk  membicarakan  dan  mencari  jalan keluar permasalahan yang dihadapi negara anggota;
4.   sebagai alat untuk memaksakan agar kaidah hukum internasional ditaati.
[21]   J.G Starke dalam T. May Rudy, op.cit., h.106.
[22]   Mochtar   Kusumaatmadja, op.cit., h.91-93.
[23]   Ibid.
[24]   Mohd. Burhan Tsani, op.cit., h.77.
[25]  H.S Kartadjoemena.1997.GATT dan WTO: Sistem, Forum dan Lembaga, Jakarta: UI Press, h.237.
[26]   Ibid., h.239.
[27]   Ibid., h.213.
[28]   Ibid, h.215.
[29]   Lihat  Juga  H. Gofar Bain.2001. Uruguay Round  dan Sistem Perdagangan Masa Depan. Jakarta:Djambatan, h. 99. Dalam buku itu disebutkan bahwa kesepakatan WTO mewajibkan negara-negara anggota untuk menjaga agar peraturan-peraturan dan prosedur administratif nasional conform dengan kesepakatan WTO ini. Hal yang mencerminkan keterikatan pada prinsip hukum internasional di mana negara-negara anggota hanya terikat pada kewajiban-kewajiban internasional setelah memiliki otoritas domestik dengan segala perangkat hukum yang diperlukan untuk melaksanakan atau membatalkan kewajiban-kewajiban tersebut.
Kenyataan ini sejalan dengan asas yang dikenal sebagai “single undertaking” dimana apabila Indonesia menetapkan diri menjadi anggota WTO, maka Indonesia harus konsisten dan mematuhi ketentuan-ketentuan WTO, serta menyesuaikan segala peraturan dan kebijaksanaan ekonomi nasional yang belum serasi (conform) dengan instrumen-instrumen yang terdapat dalam Persetujuan Pembentukan WTO.
[30]   Huala Adolf, op.cit., h.30.
[31]   Ibid, h.32.
[32]   Pasal XVI ayat 4 Agreement Establishing the World Trade Organization.
[33]   Sritua  Arif. 28 September 1994. Putaran  Uruguay dan Kita. Harian Kompas dalam Diktat Mata Kuliah Peranan Hukum dalam Pembangunan Ekonomi. FH-UNIBRAW, Malang.
    Cristianto Wibisono. 29 April 1994. WTO Marakesh dan VOC Multatuli. Harian Kompas dalam Mahmul Siregar, op.cit., h.239.
[35]   Sri  Edi Swasono dalam Hata, op.cit., h.208.
[36]  Amartya Sen. 9 Desember 2001. Suara  Kaum Jelata dari Tanah Damai. Majalah Tempo, h.76-78.
Mereka ini dapat dikatakan berklaster nasionalis yang kukuh menganjurkan prinsip berdikari (ajaran Bung Karno), swadesi (ajaran Mahatma Gandhi) dan Tirai Bambu (ajaran Mao Zedong).
[37]   Soemitro Djoyohadikusumo. 3 Desember 1994. Perdebatan Seputar Liberalisasi. Harian Suara Pembaharuan dalam Mahmul Siregar, op.cit., h. 240.
[38]  Lihat   dalam  Yoshihara  Kunio.1990. Kapitalisme Semu Asia Tenggara. Jakarta:LP3es, h.4-9.
[39]   Susanto Sutoyo dalam Emmy Yuhassarie (ed). 2004. Transaksi Perdagangan Internasional: prosiding rangkaian Lokakarya Terbatas Masalah-masalah Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya. 15-16 September 2004. Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, h.xxv.
Alasan ini diperkuat dengan situasi Indonesia pada sekitar awal 90-an. Pada tahun 1993, Indonesia dianggap sebagai salah satu negara dari delapan negara yang mengalami keajaiban pertumbuhan ekonomi. Sejumlah parameter mendukung alasan tersebut seperti tingginya tingkat pertumbuhan ekonomi, membaiknya pendapatan, turunnya tingkat kemiskinan, meningkatnya peran swasta melalui investasi dan membaiknya produk domestik bruto.
[40]  S.B Joedono. 14 Juni 1994. Kebijakan Perdagangan Indonesia Dalam Pasca Putaran Uruaguay. Seminar Benang Merah Putaran Uruaguay-GATT: Peluang dan Tantangan Bagi Bisnis Indonesia. Jakarta, h.3.
[41]  RI  Berkepentingan  Agar  Putaran  Doha  Berhasil. 21 Februari 2007. http://www.antara.co.id/view/?i=1172067738&c=int&s= diakses pada 3 Maret 2009 pukul 22.37 wita.
[42] Indonesia  Tetap  Andalkan  WTO. 12 Juni 2005. http://www.detikinet.com/read/2005/12/06/074122/492960/83/indonesia-tetap-andalkan-wto diakses pada 27 Desember 2008 pukul 01.22 wita.