Rabu, 20 Juli 2011

TITIK TEMU ASAS KEADILAN PERSPEKTIF HUKUM ISLAM dan HUKUM BARAT

TITIK TEMU ASAS KEADILAN
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM dan HUKUM BARAT:
ANGEL THEORY

oleh
IGN Parikesit Widiatedja,SH.,MHum.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana


I.  Pengantar
Kontribusi pemikiran ini sesungguhnya merupakan konklusi dari pembahasan-pembahasan sebelumnya bahwa terdapat beberapa titik temu ketika memperbincangkan asas keadilan, baik ditinjau dari perspektif hukum islam maupun hukum barat. Seluruh pihak, khususnya yang memiliki otoritas,  pengaruh atau pemegang legitimasi sekalipun, sudah selayaknya menempatkan asas keadilan sebagai pondasi atau tumpuan dalam berpikir, berbicara, bersikap, dan berperilaku. Eksistensi seorang malaikat atau bidadari yang termanifestasikan sebagai agen kebenaran dan pencerahan menjadi argumentasi penggunaan istilah  Angel Theory  sebagai dasar filosofis dalam pembahasan ini.
Teori ini terdiri dari Ability, Negotiable, Good Faith, Equity, Lawful. Penulis mengakui bahwa Angel Theory  ini mungkin  pernah atau sedang berjalan sekarang, namun penulis berupaya mereformulasi menjadi sebuah rumus praktis yang mudah diingat dan dipahami sehingga niscaya akan lebih mudah untuk dilaksanakan bagi setiap pihak yang melakukan proses interaksi dan transaksi di dalam lapangan hukum ekonomi.
2. Ability
          Konstruksi dasar pemikiran penggunaan istilah ini adalah merujuk pada hakikat dasar manusia itu sendiri yang memang lahir dengan memiliki perbedaan-perbedaan ataupun keistimewaan-keistimewaan tertentu dengan manusia lainnya. Dengan demikian, asas keadilan tentu harus dirumuskan, dilaksanakan, dan ditegakkan dengan memperhatikan kemampuan setiap manusia yang terlibat didalamnya.
Dari perspektif hukum islam, adil dalam arti seimbang sebagaimana yang dikemukakan dalam QS Al-Infithar ayat 6-7[1] dan QS Al-Mulk ayat 67[2], di mana keseimbangan tidak mengharuskan persamaan kadar dan syarat bagi semua bagian unit masing-masing agar seimbang tetapi bisa saja satu bagian berukuran kecil atau besar, sedangkan kecil dan besarnya ditentukan oleh fungsi yang diharapkan darinya.
     Dari perspektif hukum barat, pemikiran dari Aristoteles dalam Raymond Wacks,[3] sebagaimana yang tertuang dalam karya besarnya “Nichomachean Ethics”, yang artinya berbuat kebajikan atau dengan kata lain, keadilan adalah kebajikan yang utama. Lebih lanjut, Aristoteles mengatakan bahwa “justice consists in treating equals equally and unequals unequally, in proportion to their inequality.”  (terjemahan DOS: untuk hal-hal yang sama, diperlakukan secara sama, dan yang tidak sama juga diperlakukan tidak sama secara proporsional.)
Merujuk penentuan bagian modal dalam musyarakah, pemberian dua alternatif modal dalam membentuk suatu commanditer vennootschap yaitu: dapat berbentuk tunai atau berbentuk komoditas, menyiratkan adanya keadilan dengan merujuk pada kemampuan calon mitra dalam proses penanaman modal.
Dalam penanaman modal asing di bidang pariwisata, prinsip kemampuan ini akan terlihat ketika pemerintah melakukan proses harmonisasi prinsip non diskriminasi Perjanjian GATS yang harus merujuk pada kemampuan riil yang  dimiliki, baik ditinjau dari dimensi internal maupun eksternal. Realitas kebijakan yang ada, kualitas sumber daya manusia, potensi produk yang ditawarkan, ketersediaan infrastruktur, penguasaan teknologi hingga konfigurasi persaingan global, dapat menjadi parameter dalam  mengidentifikasi dan menganalisis kemampuan Indonesia dalam menghadapi persaingan  global.
3. Negotiable
          Pada hakekatnya, keadilan akan tercapai apabila dilalui melalui proses negosiasi yang seimbang dan proporsional. Lebih lanjut, Majid Khadduri mengistilahkan proses ini sebagai keadilan prosedural dimana aspek prosedural berupa elemen-elemen keadilan dalam hukum prosedural yang dilaksanakan (keadilan prosedural). Manakala kaidah-kaidah prosedural diabaikan atau diaplikasikan secara tidak tepat, maka ketidakadilan prosedural muncul. [4]
John Rawls lalu menegaskan  agar terjamin suatu aturan main yang objektif, maka keadilan yang dapat diterima sebagai fairness adalah pure procedural justice artinya keadilan sebagai fairness harus berproses sekaligus terefleksi melalui suatu prosedur yang adil untuk menjamin hasil yang adil pula.[5]  
Keadilan dari sisi prosedural tercermin dari proses negosiasi yang mempertemukan kepentingan beberapa pihak, apabila ini dilakukan secara seimbang dan proporsional sesuai dengan pedoman, ukuran, dan kriteria yang etis, maka pada gilirannya akan menciptakan keadilan yang bersifat substantif. Selanjutnya, proses ini akan memenuhi aspek-aspek yang menjadi prasyarat kompulsif bagi terciptanya suatu keadilan. Nur Sulaiman lalu memberikan pendapatnya bahwa aspek-aspek yang harus terdapat dalam asas keadilan, yaitu:[6] aspek ilahiyah; aspek akhlaq; aspek kemanusiaan; dan aspek keseimbangan.
Pada dimulainya pelaksanaan akad musyarakah pada pembentukan commanditaire vennootschap, maka yang diperlukan adalah sikap ridho sama ridho diantara para mitra, dan adanya keseimbangan yang merupakan manifestasi dari sikap tidak berat sebelah. Keridhoan dan keseimbangan inilah yang nantinya menjadi tonggak dari implementasi asas keadilan. Keridhoan dan keseimbangan antara para mitra, dapat dilihat pada proses negosiasi para mitra saat akan mengadakan akad. Pada setiap proses negosiasi akad, sasaran atau tujuan dari para mitra sebenarnya hanya satu, yaitu mencapai kata sepakat.[7]
          Sementara itu, proses negosiasi yang seimbang dan proporsional dalam pelaksanaan prinsip non diskriminasi Perjanjian GATS, akan terlihat dalam penentuan komitmen liberalisasi pariwisata. Sejauh mana suatu investor asing dapat beroperasi di Indonesia, dan di dalam sektor-sektor apa saja, kesemuanya tentu harus berdasarkan kepada kebutuhan, kepentingan, dan kesiapan Indonesia, baik ditinjau dari dimensi internal dan eksternal.
4. Good Faith
Keadilan merupakan nilai sentral yang paling hakiki yang harus dilaksanakan oleh semua orang, sebagaimana dalam QS Ali-Imran ayat 8 yang mengemukakan bahwa adil itu adalah salah satu dimensi dari sifat Tuhan. Dengan demikian, apabila setiap pihak ingin menegakkan prinsip fundamental tersebut, maka setiap hubungan hukum sepatutnya dilaksanakan berdasarkan itikad baik (good faith). Asas ini bersifat universal dan berlaku baik dalam lapangan hukum publik ataupun privat serta dalam sistem hukum islam, kontinental dan common law.
Dalam hubungan kontraktual, proses elaborasi prinsip ini harus terdapat pada tahapan negosiasi, pelaksanaann, hingga penyelesaian sengketa suatu kontrak. Prinsip ini menjadi penting sebagai manifestasi kepercayaan yang sangat dibutuhkan agar setiap hubungan kontraktual dapat berjalan sesuai dengan tujuan hubungan itu dibuat. G.W. Paton menegaskan salah satu aspek penting dari pengakuan terhadap kepatutan (equity) adalah keberadaan itikad baik. Terlebih apabila aspek hukum tidak atau belum mengaturnya sehingga dapat dikatakan sebagai pelengkap keadilan.[8]
5. Equity
Pada hakekatnya, keadilan  akan selalu bergandengan dengan kepatutan. Di mana kepatutan ini sangat diperlukan untuk melengkapi berlakunya keadilan. Menurut Aristoteles[9] “epieikeia” (equity; billijkheid; kepatutan) merupakan penjaga dari pelaksanaan undang-undang, karena equity terletak diluar undang-undang (hukum) yang menuntut keadilan dalam keadaan dan situasi tertentu. Equity merupakan gagasan fairness dalam pelaksanaan hukum, dengan demikian memberi peluang untuk penilaian yang melengkapi sifat umum dari undang-undang.
Equity tidak bermaksud untuk mengubah atau mengurangi keadilan, melainkan sebatas memberikan koreksi dan atau melengkapi dalam keadaan individu tertentu, kondisi serta kasus tertentu. Eksistensi equity sebagai pelengkap keadilan, dalam praktik telah banyak dikembangkan, terutama melalui keputusan-keputusan pengadilan.[10]
Justianus dalam O.Notoamidjojo[11] memberikan pengertian kepatutan dalam Corpus Iuris Civilis: Juris Praecepta Sunt haec: honeste vivere, alterum non laedere, suum cuique tribuere, bahwa peraturan-peraturan dasar dari hukum adalah terkait dengan hidup dengan patut, tidak merugikan orang lain dan memberi pada orang lain apa yang menjadi bagiannya. M.Quraish Shihab lalu menyebutkan salah satu makna keadilan yang dikemukakan oleh para pakar agama yang semuanya apabila dilaksanakan dengan benar akan mendatangkan kesejahteraan,yakni adil dalam hal perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu kepada setiap pemiliknya. [12]
Dalam hubungan kontraktual, Peter Mahmud Marzuki,[13] menyebutkan proporsionalitas dengan istilah ”equitability contract” dengan unsur justice serta fairness. Makna ”equitability” menunjukkan suatu hubungan yang setara (kesetaraan), tidak berat sebelah dan adil (fair), artinya hubungan kontraktual tersebut pada dasarnya berlangsung secara proporsional dan wajar, dengan merujuk pada asas ae quitas praestasionis, yaitu asas yang menghendaki jaminan keseimbangan dan ajaran justum pretium, yaitu kepantasan menurut hukum. Tidak dapat disangkal bahwa kesamaan para pihak tidak pernah ada. Sebaliknya, para pihak ketika masuk ke dalam kontrak berada dalam keadaan yang tidak sama, akan tetapi ketidaksamaan tersebut tidak boleh dimanfaatkan oleh pihak yang dominan untuk memaksakan kehendaknya secara tidak memadahi kepada pihak lain. Pada situasi inilah proporsionalitas dimaknai sebagai ”equitability” . Terkait dengan modal yang dimasukkan oleh para mitra dalam pembentukan commanditaire vennootschap berdasar akad Musyarakah, maka diperlukan suatu modal yang kuantitas dan kualitasnya bersifat proporsional dan seimbang diantara para mitra yang terlibat didalamnya.
Sementara menyangkut nilai kepatutan dalam pelaksanaan penanaman modal asing di bidang pariwisata, akan terlihat ketika investor asing yang akan menanamkan modalnya wajib mendapatkan dukungan dari masyarakat adat yang ada di sekitar lokasi penanaman modal. Persyaratan ini dilakukan agar keberadaan suatu investor dapat memberikan manfaat bagi penduduk sekitarnya dan sesuai dengan nilai kepatutan atau kepantasan yang berlaku  sehingga terjalin hubungan yang serasi, saling mengisi, dan sejalan dengan pembangunan masyarakat disekitarnya.
6.Lawful
Keadilan adalah tujuan akhir dari sebuah sistem hukum, yang terkait erat dengan fungsi sistem hukum sebagai sarana untuk mendistribusikan dan memelihara suatu alokasi nilai-nilai dalam masyarakat, yang ditanamkan dengan suatu pandangan kebenaran, yang secara umum merujuk kepada keadilan.[14] Untuk menjamin tercapainya tujuan tersebut, rumusan nilai keadilan haruslah tetap memperhatikan nilai formalitas dan validitasnya demi tercapainya rasa kepastian hukum.
          Lawful  menghendaki setiap desain hubungan hukum yang dilakukan para pihak, khususnya dalam hukum ekonomi, tidak lancang menabrak kaidah hukum  yang telah berlaku di Indonesia. Sebagai contoh dalam penentuan proporsi keuntungan dalam akad Musyarakah Pada Pembentukan Commanditaire Vennootschap  yang tetap  harus berlandaskan kepada para ahli hukum Islam dan juga  pasal 1633 KUHPerdata.
Dalam proses harmonisasi dan transformasi Prinsip Non Diskriminasi Perjanjian GATS ke dalam kaidah hukum nasional, wajib  selalu menjunjung tinggi seluruh kaidah hukum yang ada, baik itu kaidah hukum tertinggi yang berlaku sebagai kaidah dasar alias grundnorm, konstitusi, undang-undang, dan bentuk kaidah-kaidah hukum lain  yang berada di bawahnya.
Menarik dicermati peristiwa ketika Undang-undang No.25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal  sempat memunculkan reaksi pro dan kontra di kalangan masyarakat.  Substansinya  memperbolehkan investasi asing untuk memiliki hak atas tanah yang diberikan, dan dapat diperpanjang sekaligus di muka,  serta dapat pula diperbarui kembali. Jika diakumulasikan, hak guna usaha dapat diberikan dengan total waktu 95 tahun, hak guna bangunan diberikan dengan total waktu 80 tahun dan hak pakai diberikan dengan total waktu 70 tahun. Pada perkembangan terakhir, Mahkamah Konstitusi membatalkan isi undang-undang ini karena dianggap bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945 dan Undang-undang Pokok Agraria.



[1] Art QS. Al-Infithar ayat 6-7 adalah sebagai berikut:
“6. Hai manusia, Apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap  Tuhanmu yang Maha Pemurah.
7. yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan(susunan tubuh)mu seimbang”
[2] Arti QS. Al-Mulk ayat 67 adalah sebagai berikut:
“atau Adakah kamu mempunyai sebuah kitab (yang diturunkan Allah) yang kamu membacanya?”
[3] Raymond Wacks. Loc.Cit
[4] Majid Khadduri. Op.Cit.,h. 8-9
[5] Andre Ata Ujan. Op.Cit. h. 45
[6] Nur Sulaiman. Loc.Cit.
[7] Budiono Kusumohamidjojo. Loc.Cit.
[8] O.Notoamidjojo. Op.Cit. h. 27
[9] O. Notoamidjojo. Op.Cit. h. 9
[10] O.Notoamidjojo. Op.Cit. h. 27
            [11] O.Notoamidjojo. Op.Cit. h. 9
[12] M.Quraish Shihab.Op.Cit. h. 114
            [13] Agus Yudha Hernoko. Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Bisnis (Upaya Mewujudkan Hubungan Bisnis dalam Perspektif Kontrak Yang Berkeadilan). Jurnal Hukum Bisnis, Volume 29 – No. 2 Tahun 2010, h. 12-13
            [14] Lawrence M. Friedman. Loc.Cit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar