Rabu, 20 Juli 2011

Liberalisasi Jasa di Sektor Pariwisata

KEBIJAKAN LIBERALISASI  PARIWISATA DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG KEPARIWISATAAN NO.10 TAHUN 2009
oleh
IGN Parikesit Widiatedja,SH.,MHum.
 Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana

Abstract
Based on empirical research and meticulous observation, tourism is generally accepted as an irreversible backbone for Indonesia which brings comparative advantage from its diversity products. Hence, it has been a solution of our twin towers problems in reducing unemployment and alleviating poverty. Despite being debatable, law number 10 year 2009 regarding tourism has expounded  comprehensively all guidance, procedure, and strategy to  face liberalization of tourism. This discourse  attempts to identify which content of its law can be clustered as government’s policy in the perspective of liberalization of tourism. Author think over that it is worthwhile to analyze and asses  the readiness of tourism stakeholders to compete either directly or indirectly with foreign services provider as an undeniable result from liberalization of tourism.
Key words: Policy, Liberalization of Tourism, Law of Tourism

1.         Latar Belakang

Pariwisata memiliki kekuatan integratif terhadap berbagai aspek lainnya seperti budaya, ekonomi, teknologi dsg. Kondisi yang pada gilirannya akan melahirkan suatu kesatuan yang mampu merangkul segenap potensi-potensi dalam rangka meningkatkan kapasitas, dan memobilisasi sumber daya pariwisata yang tersedia. Beberapa kalangan bahkan meyakini pariwisata mampu berperan sebagai lokomotif  pertumbuhan ekonomi secara menyeluruh. Penciptaan lapangan kerja, pengurangan angka kemiskinan, serta penguatan daya beli masyarakat merupakan tujuan ideal yang hendak dicapai apabila peningkatan nilai ekonomi pariwisata dapat terealiasikan.[1]
Sebagai salah satu industri terbesar di dunia, pariwisata terbukti dan teruji menjadi lokomotif penggerak ekonomi, terlebih apabila dilihat dari daya serap tenaga kerja yang tinggi dan kontribusinya bagi PDB. Pada 2004, industri tanpa cerobong asap tersebut memberikan kontribusi  pada PDB dunia sebesar 10,4%, penyerapan tenaga kerja 8,1%, ekspor 12,2% dan penanaman modal 9,4%. Disamping itu, pariwisata  juga menjadi satu dari lima kategori ekspor utama dari 83% negara-negara di dunia, dan telah menjadi sumber devisa utama sedikitnya 38% dari negara-negara itu. Nantinya, pariwisata akan terus tumbuh dengan baik dan World Tourism Organization (WTO) memproyeksikan pada 2020 akan terdapat sekitar 1,6 miliar wisatawan mancanegara.
Berbagai organisasi internasional antara lain: PBB, Bank Dunia dan World Tourism Organization (WTO), telah mengakui bahwa pariwisata merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia utamanya menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Diawali dari kegiatan yang semula hanya dinikmati oleh segelintir orang-orang yang relatif kaya pada awal abad ke-20[2], kini telah berkembang  menjadi bagian dari hak asasi manusia sebagaimana diutarakan oleh John Naisbitt dalam bukunya Global Paradox. Beliau menyatakan bahwa “where once travel was considered a privilege of the money elite, now it is considered a basic human right. Kecenderungan ini terjadi tidak hanya di negara maju, tetapi mulai dirasakan pula di negara berkembang termasuk Indonesia.[3]
Sebagai negara berkembang, Indonesia sejatinya menyimpan potensi alam dan budaya yang luar biasa dan dapat dijadikan modal dasar sekaligus keunggulan komparatif untuk mengembangkan sektor  pariwisata. Potensi yang dimiliki dapat dikonversi menjadi sesuatu yang bernilai ekonomi dengan daya saing yang tinggi. Selain itu, kita mengetahui  bahwa bahan baku usaha pariwisata sesungguhnya tidak akan pernah habis-habis, sedangkan bahan baku usaha-usaha lainnya sangatlah terbatas.[4]
Sebagai gambaran di Indonesia, jumlah wisatawan nusantara (wisnus) pada tahun 2004 mencapai 103 juta wisatawan dan menghasilkan 195 juta perjalanan wisata nusantara. Dengan angka sebesar itu, diperkirakan jumlah wisatawan nusantara di akhir tahun 2009 akan menembus angka 218 juta orang dengan jumlah perjalanan wisata lebih dari 300 juta trips.[5] Angka-angka tersebut menumbuhkan harapan terhadap peningkatan di sektor investasi, penyerapan tenaga kerja, peningkatan kontribusi aktivitas pariwisata terhadap pendapatan masyarakat dan pemerintah.  Atas dasar angka-angka itu, maka wajarlah apabila pariwisata dikategorikan kedalam kelompok industri terbesar dunia (the world's largest industry), sebagaimana dinyatakan pula oleh John Naisbitt dalam bukunya tersebut.[6]
Dengan sederet potensi yang dimilikinya, tak salah jika beberapa pengamat memberikan postulasi pariwisata layaknya ladang emas baru. Pariwisata tak hanya dianggap sebagai aktivitas tersier yang bersifat sampingan, tetapi sebagai sebuah industri jasa yang dinilai dari berbagai faktor produksi seperti: modal, tanah, tenaga kerja, teknologi, manajemen dan keragaman inovasi, menjanjikan keuntungan yang maksimal. Dan seiring dengan berdirinya World Trade Organization melalui Putaran Uruguay 1994, maka pariwisata pun menjadi sektor yang terkena imbas liberalisasi. Alhasil, Indonesia pun mengeluarkan komitmen liberalisasi pariwisatanya dengan mengijinkan beroperasinya pemasok jasa asing di tiga subsektor meliputi; Hotel (minimal bintang 3), Tour Operator/Travel Agent (di Jakarta & Bali) dan Tenaga Kerja Asing (setingkat manajer).[7]
Sebagai refleksi keseriusan dalam menghadapi liberalisasi pariwisata, pemerintah lalu menerbitkan Undang-undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Dalam konsideran,  pemerintah menempatkan pariwisata  sebagai bagian integral dari pembangunan nasional yang dilakukan secara sistematis, terencana dan terpadu, berkelanjutan, dan bertanggung jawab, dengan tetap memberikan perlindungan terhadap nilai-nilai agama, budaya yang hidup dalam masyarakat, kelestarian dan mutu lingkungan hidup serta kepentingan nasional. Undang-undang yang mulai berlaku sejak 16 Januari 2009 tersebut juga menyatakan bahwa pembangunan kepariwisataan diperlukan untuk mendorong pemerataan kesempatan berusaha dan memperoleh manfaat serta mampu menghadapi tantangan perubahan kehidupan lokal, nasional dan global.

2. Kebijakan Liberalisasi Pariwisata  dalam Undang-undang Kepariwisataan

Setelah sangat lama dinantikan, pemerintah akhirnya menerbitkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan yang dalam penulisan selanjutnya disebut  UUK. Materi muatan undang-undang ini meliputi:
 a. hak dan kewajiban masyarakat, wisatawan, pelaku usaha, pemerintah dan pemerintah daerah;
 b.  pembangunan kepariwisataan yang komprehensif dan berkelanjutan;
 c.  koordinasi lintas sektor;
 d.  pengaturan kawasan strategis;
 e.  pemberdayaan  usaha  mikro, kecil dan menengah di dalam dan di sekitar destinasi pariwisata;
 f.   badan promosi pariwisata;
 g.  asosiasi kepariwisataan;
 h.  standardisasi  usaha  dan kompetensi pekerja  pariwisata; serta
 i.  pemberdayaan     pekerja      pariwisata   melalui pelatihan sumber daya manusia.

Ditinjau dari sisi definisi, disebutkan dalam pasal 1 ayat 1 bahwa wisata merupakan kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara. Sementara Pariwisata sendiri seperti yang tersebut dalam pasal 1 ayat 3 merupakan  berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah dan pemerintah daerah. Kemudian kepariwisataan diartikan sebagai keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, pemerintah, pemerintah daerah dan pengusaha. 
Terdapat beberapa ciri atau karakteristik baru sebagai upaya antisipasi menyambut kehadiran liberalisasi pariwisata yang mempunyai sisi pembeda dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990 diantaranya:
a.  warna penekanan pada pelestarian kekayaan alam, budaya dan lingkungan hidup
Kita layak bersyukur akan apa yang telah Tuhan anugerahkan kepada kita semua. Indonesia telah dikenal di seantero dunia sebagai bangsa yang unik dan khas dengan kekayaan alam dan budaya yang melimpah ruah. Demikian pula keunikan dari sisi geografi dimana tiada satu pun negara yang memiliki kontur seperti Indonesia. Faktor-faktor inilah yang sejatinya menjadi keunggulan komparatif (comparative advantage) kita dalam menghadapi liberalisasi pariwisata, sekaligus membangkitkan sense of belonging dan sense of pride pada masyarakat kita.
Karakteristik perjalanan wisata adalah sesuatu yang bersifat tidak biasa (out of ordinary). Pengalaman yang diharapkan adalah pengalaman yang lain dari biasanya, atau sesuatu yang baru. Kualitas perjalanan wisata salah satunya ditentukan oleh kuantitas dan kualitas dari pengalaman baru ini.[8] Berangkat dari kenyataan ini, pelaku usaha pariwisata dan masyarakat Indonesia memiliki peluang emas untuk meraup keuntungan dari kekayaan alam dan budaya yang memiliki ciri pembeda, dan memberikan kesan yang medalam bagi wisatawan yang pernah mengunjungi Indonesia. Alhasil, kita pun tak perlu latah untuk mengikuti tren perkembangan pariwisata dunia yang sarat dengan suasana glamor dengan pembangunan gedung-gedung pencakar langit dan hotel-hotel berbintang. Keaslian dan kebersahajaan kondisi alam dan keragaman serta keluhuran nilai budaya yang ada merupakan sesuatu yang tidak biasa dan langka untuk ditemui di era liberalisasi. Faktor ini pada akhirnya dapat menjadi magnet untuk mendatangkan wisatawan dari berbagai belahan penjuru dunia.
Dalam menimbang point a UUK disebutkan bahwa keadaan alam, flora dan fauna sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa serta peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, seni dan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia merupakan sumber daya dan modal pembangunan kepariwisataan untuk peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Selanjutnya dalam menimbang point c UUK, kepariwisataan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang dilakukan secara sistematis, terencana, terpadu, berkelanjutan, dan bertanggung jawab dengan tetap memberikan perlindungan terhadap nilai-nilai agama, budaya yang hidup dalam masyarakat, kelestarian dan mutu lingkungan hidup.
Kondisi yang kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam pasal-pasal dalam undang-undang ini. Pasal 4 point e dan f UUK menyatakan kepariwisataan bertujuan dalam melestarikan alam, lingkungan dan sumber daya dan memajukan kebudayaan. Prinsip penyelenggaraan kepariwisataan pun tak luput mencantumkan pemeliharaan kelestarian alam dan lingkungan hidup sebagai bagian yang inheren seperti dapat terlihat dalam Pasal 5 point d UUK.
Dalam Pasal 6 UUK disebutkan bahwa pembangunan kepariwisataan dilakukan berdasarkan asas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang diwujudkan melalui pelaksanaan rencana pembangunan kepariwisataan dengan memperhatikan keanekaragaman, keunikan dan kekhasan budaya dan alam, serta kebutuhan manusia untuk berwisata. Sebagai langkah konkrit, pemerintah lalu menetapkan Kawasan Strategis Pariwisata yang merupakan kawasan dengan fungsi utama pariwisata, atau memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata yang mempunyai pengaruh penting dalam satu atau lebih aspek, seperti pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya, pemberdayaan sumber daya alam, daya dukung lingkungan hidup serta pertahanan dan keamanan. Ketentuan ini dapat dilihat dalam Pasal 12 UUK.
Warna penekanan terhadap pelestarian kekayaan alam, budaya dan lingkungan hidup dapat pula tercermin dalam Pasal 23 ayat 1 point c UUK yang mewajibkan pemerintah dan pemerintah daerah untuk memelihara, mengembangkan, dan melestarikan aset nasional yang menjadi daya tarik wisata dan aset potensial yang belum tergali.Selanjutnya dalam Pasal 24, 25 dan 26 UUK mengatur kewajiban setiap orang, wisatawan dan pengusaha pariwisata dalam menjaga dan melestarikan daya tarik wisata serta menjaga dan menghormati norma agama, adat istiadat, budaya dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat setempat serta memelihara dan melestarikan lingkungan. Ditinjau dari sisi pendanaan, Pasal 59 UUK memerintahkan pemerintah daerah untuk mengalokasikan sebagian dari pendapatan yang diperoleh dari penyelenggaraan pariwisata untuk kepentingan pelestarian alam dan budaya.
Pemberian warna penekanan pada pelestarian kekayaan alam, budaya dan lingkungan hidup sudah menjadi harga mati yang menjadi keunggulan komparatif kita. Sebagai sebuah realitas kontemporer, liberalisasi mensyaratkan adanya pengelolaan suatu produk jasa wisata yang profesional dan berkualitas unggul, serta memiliki daya pembeda dalam berkompetisi dengan produk-produk dari negara-negara kompetitor lainnya.
b. pengakuan kegiatan berwisata sebagai hak asasi manusia (HAM)
            Dalam menimbang point b UUK, disebutkan bahwa kebebasan melakukan perjalanan dan memanfaatkan waktu luang dalam wujud berwisata merupakan bagian dari hak asasi manusia. Ketentuan ini kemudian dijabarkan dalam Pasal 5 point b UUK yang menyatakan pemyelenggaraan kepariwisataan didasarkan pada prinsip menjunjung tinggi hak asasi manusia, keragaman budaya dan kearifan lokal. Pasal 19 ayat 1 point a UUK lalu meyebutkan bahwa setiap orang berhak memperoleh kesempatan memenuhi kebutuhan wisata.
            Adanya pengakuan HAM dalam kegiatan berwisata merupakan representasi  pengakuan  terhadap hak-hak ekonomi dan sosial masyarakat. Pada gilirannya, kondisi ini akan menggeliatkan kembali usaha  pariwisata yang sempat terpuruk mengingat tumbuhnya antusiasme  masyarakat baik masyarakat domestik maupun internasional untuk melakukan perjalanan wisata. Akhirnya, usaha  pariwisata di Indonesia akan tetap survive menghadapi gelombang persaingan yang semakin luas sebagai imbas adanya liberalisasi pariwisata.
c. perlakuan sama atau non diskriminasi
            Ketentuan ini dapat dilihat dalam Pasal 22 point a UUK dimana setiap pengusaha pariwisata berhak untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam berusaha di bidang kepariwisataan. Pemerintah dan pemerintah daerah pun berkewajiban dalam menciptakan iklim yang kondusif untuk perkembangan usaha pariwisata yang meliputi: terbukanya kesempatan yang sama dalam berusaha, memfasilitasi dan memberikan kepastian hukum. Ketentuan ini dapat dilihat pada Pasal 23 ayat 1 point b UUK. Sementara Pasal 26 point c UUK mewajibkan setiap pengusaha pariwisata untuk memberikan pelayanan yang tidak diskriminatif.
            Prinsip perlakuan sama atau non diskriminasi dapat diilustrasikan sebagai menu wajib bagi setiap gerakan liberalisasi yang diberlakukan di suatu negara. Pada konteks liberalisasi  pariwisata, penegakan terhadap prinsip ini akan meniadakan upaya-upaya proteksi sepihak dan pemberian fasilitas atau keistimewaan tertentu bagi segelintir pihak khususnya mereka yang memiliki bekal kekuatan modal dan dekat dengan kalangan penguasa. Persaingan tidak sehat dan kecenderungan monopoli menjadi argumentasi mengapa keadaan ini menjadi tabu untuk dilakukan.
d. peningkatan kualitas sumber daya manusia
Eksistensi sumber daya manusia yang berkualitas unggul, profesional dan berintegritas menjadi barometer kunci dalam menyongsong  masa depan pariwisata yang lebih baik. Oleh karenanya, proses pembelajaran dan pembentukan karakter dari sumber daya manusia kita harus senantiasa terus berlangsung secara konsisten dan berkesinambungan, dengan mengikuti arus perkembangan liberalisasi itu sendiri
            Pasal 11 UUK yang menyebutkan bahwa Pemerintah bersama lembaga terkait dengan kepariwisataan menyelenggarakan penelitian dan pengembangan kepariwisataan untuk mendukung pembangunan kepariwisataan. Pasal 26 point h UUK lalu menegaskan kewajiban pengusaha pariwisata untuk meningkatkan kompetensi tenaga kerja  melalui pendidikan dan pelatihan. Pemerintah berwenang dalam mengembangkan kebijakan pengembangan sumber daya manusia di bidang kepariwisataan. Ketentuan ini dapat dilihat dalam Pasal 28 point g UUK.
Pengaturan mengenai pelatihan sumber daya manusia terdapat dalam Pasal 52 UUK dimana Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyelenggarakan pelatihan sumber daya manusia pariwisata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 53 UUK lalu menyebutkan tenaga kerja di bidang kepariwisataan memiliki standar kompetensi yang dapat dilakukan melalui sertifikasi kompetensi. Terhadap produk, pelayanan dan pengelolaan usaha pariwisata  pun wajib memiliki standar usaha yang dilakukan melalui sertifikasi usaha. Ketentuan ini dapat dlihat dalam Pasal 54 UUK.
Proses peningkatan daya saing menuju kemandirian bangsa merupakan destinasi ideal  dalam menjalani liberalisasi pariwisata. Proses yang membutuhkan dukungan mutlak dari adanya sumber daya manusia yang terampil dan profesional sebagai pemegang peran utama (cardinal role) yang menentukan keberhasilan dari proses peningkatan daya saing itu sendiri. Tidak salah jika pada akhirnya pemerintah mulai memformulasikan program yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia khususnya yang berkecimpung di dunia pariwisata.
Selain itu, keberadaan liberalisasi pariwisata bukan berarti memarjinalkan peran masyarakat lokal sekitar. Justru ditangan merekalah sesungguhnya melekat keunikan dan keragaman yang sangat dibutuhkan dalam menciptakan identitas dan jati diri, sebagai bagian dari pengembangan pariwisata secara inklusif. Proses pemberdayaan ini tentu bertujuan pula dalam meningkatkan kesejahteraan materiil, spritual hingga kemampuan intelektual masyarakat lokal tersebut.
e. keterpihakan pada usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi
Pasal 17 UUK menyebutkan bahwa Pemerintah dan Pemerintah daerah wajib mengembangkan dan melindungi usaha mikro, kecil dan menengah dan koperasi dalam bidang usaha pariwisata dengan cara:
  1. membuat kebijakan pencadangan usaha pariwisata untuk usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi;
  2. memfasilitasi kemitraan usaha mikro,kecil, menengah dan koperasi dengan usaha skala besar.
Setiap pengusaha pariwisata juga berkewajiban untuk mengembangkan kemitraan dengan usaha mikro, kecil dan koperasi setempat yang saling memerlukan, memperkuat dan menguntungkan. Ketentuan yang dapat dilihat dalam Pasal 26 point f UUK. Pasal 61 UUK lalu menyebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah memberikan peluang pendanaan bagi usaha mikro dan kecil di bidang kepariwisataan.
Liberalisasi pariwisata tentu menghadirkan pengusaha atau pemasok jasa asing di Indonesia yang umumnya dapat diklasifikasikan sebagai usaha berskala besar. Dengan lompatan teknologi yang dimiliki, pendanaan yang tidak terbatas dan skill yang mumpuni, tentu tidaklah adil jika mereka nantinya bersaing dengan usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi yang menjadi porsi terbesar dari bentuk usaha di Indonesia. Pemerintah sebagai representasi welfare state sudah barang tentu wajib melindungi keberadaan mereka sehingga tidak tereliminasi di negera mereka sendiri.
f. pelibatan pemangku kepentingan
            Pasal 9 ayat 4 UUK menyebutkan dalam penyusunan rencana induk pembangunan kepariwisataan baik yang bersifat nasional, provinsi dan kabupaten/kota dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan. Kemudian dalam Pasal 57 UUK, pendanaan pariwisata menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, pengusaha dan masyarakat.
            Sebagai pihak yang paling merasakan dampak langsung dari adanya liberalisasi pariwisata, peran pelaku usaha pariwisata dan masyarakat tidak dapat disepelekan. Dari merekalah nantinya akan diketahui manfaat apa yang akan diperoleh dengan kehadiran liberalisasi pariwisata, sejumlah peluang dan tantangan yang mereka hadapi, hingga pada harapan-harapan menyangkut eksistensi mereka di masa mendatang. Dengan kata lain, proses pelibatan para pemangku kepentingan akan melahirkan sebuah kebijakan yang akurat dan tepat sasaran sekaligus menciptakan peluang dalam meningkatkan kualitas daya dukung (carrying capacity) pariwisata yang ada.
g. pembentukan Badan Promosi Pariwisata
            Kerapkali terjadi upaya promosi yang dilakukan pemerintah tidak fokus dan cenderung berganti-ganti mengikuti arus kebijakan pemerintah yang berkuasa. Dunia internasional tentu memandangnya sebagai sebuah ketidakkonsistenan dari Pemerintah Indonesia. Sebagai buktinya, slogan ataupun branding yang diusung pemerintah selalu berganti-ganti, pada tahun 2001 slogan yang diusung adalah ”Indonesia, just a smile away”, dan berganti di tahun 2004 menjadi ”Indonesia, ultimate in diversity”, belum lagi masing-masing daerah memiliki slogannya masing-masing. Demikian pula para pengusaha juga melakukan promosi serupa yang menyiratkan ketidakselarasan dan ketidakoptimalan program promosi yang dilaksanakan. Kurangya kesepahaman dan koordinasi instansi lintas sektoral maupun antar pelaku pariwisata, pada gilirannya justru menghambat kelancaran program promosi itu sendiri.
Untuk menghindari terulangnya kejadian tersebut, Pasal 36 ayat 1 dan 2 UUK menyebutkan Pemerintah memfasilitasi pembentukan Badan Promosi Pariwisata Indonesia yang berkedudukan di ibu kota negara. Badan ini merupakan lembaga swasta dan bersifat mandiri.
Pasal 41 ayat 1 UUK lalu menyebutkan tugas dari Badan Promosi Pariwisata Indonesia meliputi:

a.       meningkatkan citra kepariwisataan Indonesia;
b.      meningkatkan kunjungan wisatawan mancanegara dan penerimaan devisa;
c.       meningkatkan kunjungan wisatawan nusantara dan pembelajaran;
d.  menggalang pendanaan dari sumber selain Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
e.       Melakukan riset dalam rangka pengembangan usaha dan bisnis pariwisata.
Selanjutnya dalam ayat 2 disebutkan fungsi Badan Promosi Pariwisata Indonesia sebagai:

a. koordinator promosi pariwisata yang dlakukan dunia usaha di pusat dan daerah;
b.  mitra kerja Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
            Di era liberalisasi, keberadaan aspek promosi memegang peranan  vital dalam proses pencitraan dan pemasaran suatu produk. Sehebat, seandal dan seindah apapun kualitas suatu produk akan menjadi tiada berarti apabila tiada didukung dengan upaya promosi yang kreatif dan inovatif. Pembentukan Badan Promosi Pariwisata ini diharapkan mampu mempromosikan kekayaan alam dan budaya yang kita miliki, sekaligus upaya pembangunan citra positif pariwisata Indonesia yang sempat tercoreng oleh aksi-aksi anarkisme dan terorisme di dalam negeri.
3. Penutup
            Kebijakan liberalisasi pariwisata dalam perspektif Undang-undang No.10 Tahun 2009 dapat dibagi ke dalam 3 (tiga) perspektif meliputi: jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Terdapat 4 (empat) kebijakan yang dapat dikategorikan berperspektif jangka pendek meliputi: peningkatan kualitas sumber daya manusia, keterpihakan pada usaha kecil dan menengah (UKM), pelibatan pemangku kepentingan, dan pendirian Badan Promosi Pariwisata. Pengakuan kegiatan berwisata sebagai hak asasi manusia (HAM) dan penerapan prinsip non diskriminasi merupakan kebijakan liberalisasi pariwisata ditinjau dari perspektif jangka menengah. Sementara itu, pemberian warna penekanan bagi pelestarian kekayaan alam, budaya dan lingkungan hidup menjadi kebijakan yang berperspektif jangka panjang.
Akhir kata, semoga melalui adanya kebijakan liberalisasi pariwisata dapat menjadi sebuah wake-up call  bagi kita semua sehingga potret pariwisata Indonesia yang kaya akan pemandangan alam, dengan ciri dan karakteristik adat serta budaya, tidak hanya menjadi sebuah dongeng menjelang tidur di masa depan. Tentu kesemuanya membutuhkan sinergisitas dan totalitas aksi dari pemerintah selaku pemegang otoritas dan legitimasi, disertai dukungan penuh pemangku kepentingan pariwisata dan masyarakat sebagai pihak-pihak yang berinteraksi langsung di lapangan.





Daftar Pustaka

Buku dan Jurnal

Direktorat Jenderal Pariwisata.1990.Pengantar Pariwisata Indonesia. Jakarta.
Direktorat Jenderal Perdagangan Internasional Departemen Perdagangan RI. 1998.Perkembangan Tatanan Perdagangan Dunia. Jakarta: Departemen Perdagangan RI.
Direktorat  Perdagangan  dan Perindustrian Multilateral Direktorat Jenderal Multilateral Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan Departemen Luar Negeri.2004.Persetujuan Bidang Jasa. Jakarta.
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.2005.Rencana Strategik 2005-2009. Jakarta.
Hata.2006.Perdagangan Internasional dalam Sistem GATT dan WTO, Aspek-Aspek Hukum dan Non Hukum. Bandung:Refika Aditama.
Lodge,George C.1995. Managing Globalization in the Age Interdependence. San Diego: Pfeifer & Company.
Naisbitt,John & Aburdene, Patricia.1990.Megatrends 2000. Alih bahasa oleh FX Budijanto. Jakarta:Binarupa Aksara.
Pendit, Nyoman S.2003.Ilmu Pariwisata Sebuah Pengantar Perdana. Jakarta: Pradnya Paramitha.
Pitana, I Gde dan Gayatri, Putu G.2005.Sosiologi Pariwisata.Yogyakarta: Penerbit Andi.
Spillane, James J.1991.Ekonomi Pariwisata. Yogyakarta:Kanisius.
Sumadi,Ketut.2009.Kepariwisataan Indonesia Sebuah Pengantar. Denpasar: Sari Kahyangan.
Wyasa Putra, Ida Bagus dkk.2003. Hukum Bisnis Pariwisata. Bandung:Refika Aditama.
Widiatedja, IGN Parikesit.2010. Liberalisasi Jasa dan Masa Depan Pariwisata Kita. Denpasar: Udayana University Press.
Yoeti, Oka A. 1996. Anatomi Pariwisata. Bandung: Angkasa.
__________________.2006. Pariwisata Budaya: Masalah dan Solusinya. Jakarta: Pradnya Paramita.

Makalah

Makes,David.25 Mei 2005. Pariwisata Indonesia Berpeluang Menarik wisatawan Asing.  disampaikan  pada seminar "Menuju Manajemen Pariwisata yang Ramah Lingkungan". Jakarta:Panitia Lustrum IX Universitas Katolik (Unika) Atma Jaya.
Erman Rajagukguk.1999.  Peranan Hukum  Dalam  Pembangunan  Pada  Era Globalisasi. Jurnal Hukum FH-UII No.11.



[1] Dalam IGN Parikesit Widiatedja.2010. Liberalisasi Jasa dan Masa Depan Pariwisata Kita. Denpasar: Udayana University Press, h. 27.
[2]       Dalam I  Gde Pitana dan Putu G. Gayatri,2005. Sosiologi Pariwisata, Yogyakarta: Penerbit Andi,h. 40 disebutkan tonggak-tonggak  sejarah pariwisata dapat ditelusuri melalui perjalanan Marco Polo (1254-1324), perjalanan Pangeran Henry (1394-1460), Christopher Columbus (1451-1506) dan Vasco da Gama (akhir abad XV)
[3] Setyanto P. Santosa, 14 Februari 2002, Pengembangan Pariwisata Indonesia, http://kolom.pacific.net.id/ind/setyanto_p_santosa/artikel/pengembanganpariwisata_Indonesia, diakses pada 7 juni 2008 pukul 15.45 wib.
[4]   James J. Spillane,1991.Ekonomi Pariwisata, Yogyakarta:Kanisius,h.46
[5]   Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, 2005. Rencana Strategik,2005-2009,h.16
[6]   lihat juga perbandingan data dalam Gde Pitana dan Putu G. Gayatri., op.cit., h. 5
[7] IGN Parikesit Widiatedja.op.cit.,h. 79.
[8]  I Gde Pitana,op.cit.,h.48

Tidak ada komentar:

Posting Komentar