Jumat, 15 Juli 2011

Resensi Buku Kebijakan Liberalisasi Pariwisata

KEBIJAKAN LIBERALISASI PARIWISATA:
PERTARUHAN MASA DEPAN PARIWISATA INDONESIA






Diskursus seputar pariwisata nampaknya sepakat menasbihkan industri tanpa cerobong asap tersebut sebagai salah satu industri terbesar di dunia. Berdasarkan beberapa survey dan pengamatan umum, ia terbukti dan teruji mengambil peran sebagai lokomotif penggerak ekonomi, terlebih apabila ditelusuri dari tingginya kualitas daya serap tenaga kerja dan proporsi kontribusinya bagi PDB. Pada 2004 merujuk data World Tourism Organization (WTO),  kontribusi  yang diberikan pada PDB dunia sebesar 10,4%, penyerapan tenaga kerja 8,1%, ekspor 12,2% dan penanaman modal 9,4%. Disamping itu, pariwisata  juga menjadi satu dari lima kategori ekspor utama dari 83% negara-negara di dunia, dan telah menjadi sumber devisa utama sedikitnya 38% dari negara-negara itu. Nantinya, aktivitas yang menjadi bagian tak terpisah dari kehidupan manusia tersebut,  akan terus tumbuh dengan konsisten dan  pada 2020 diprediksi akan terdapat sekitar 1,6 miliar wisatawan mancanegara.
Dengan sederet potensi yang dimilikinya, tak salah jika beberapa negara memberikan postulasi pariwisata layaknya ladang emas baru. Di era globalisasi, ia tak hanya dianggap sebagai aktivitas tersier yang bersifat sampingan, tetapi sebagai sebuah industri jasa yang dinilai dari berbagai faktor produksi seperti: modal, tanah, tenaga kerja, teknologi, manajemen, dan keragaman inovasi, menjanjikan keuntungan yang maksimal sejalan dengan karakter masyarakat pada fase konsumsi tinggi. Bagi Indonesia, ia bahkan menjadi penyumbang devisa terbesar kedua pada tahun 2002. Sebagai wujud keterpihakan pemerintah, pariwisata beserta ekonomi kreatif dan ketenagakerjaan, didaulat menjadi tiga sektor primadona pembangunan di Indonesia. Kebijakan  ini pun lalu semakin dipertegas dengan Instruksi Presiden No. 16 tahun 2005 yang memberi warna penekanan pada  pentingnya visi yang sama dan keterpaduan antar sektor sebagai prasyarat utama dalam mendukung pembangunan pariwisata melalui pengarusutamaan prinsip good governance dan pengeliminasian ekonomi biaya tinggi.
Seiring dengan berdirinya World Trade Organization melalui Putaran Uruguay 1994, maka sektor yang memadukan kenikmatan (enjoyment), kesenangan (amusement), hiburan (entertaintment), dan pendidikan (education) ini pun  tak lepas dari imbas liberalisasi. Alhasil, sebagai refleksi citra good boy dalam pergaulan internasional, Indonesia pun mengeluarkan komitmen liberalisasi pariwisatanya dengan mengijinkan beroperasinya pemasok jasa asing di tiga subsektor meliputi: Hotel (minimal bintang 3), Tour Operator/Travel Agent (di Jakarta & Bali) dan Tenaga Kerja Asing (setingkat manajer). Konstruksi yang menjadi babak baru perjalanan liberalisasi pariwisata di Indonesia. Pemerintah nampaknya beranggapan bahwa kebijakan sepihak ini akan menjadi saluran yang efektif  bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan dengan merujuk pada beragam potensi keunggulan komparatif pariwisata yang kita miliki.
Menyangkut kebijakan pariwisata, menarik untuk menyimak pendapat Oka A. Yoeti yang mengatakan bahwa dalam pariwisata, kebijakan yang diambil tak ubahnya seperti melempar batu ke dalam suatu kolam. Pengaruhnya tidak hanya terjadi dimana batu tersebut dilemparkan, tetapi meliputi di sepanjang riak gelombang yang ditimbulkannya. Pendapat ini nampaknya beralasan dengan mengutip pendapat I Gede Pitana yang mengatakan bahwa kegiatan pariwisata tidaklah beroperasi dalam ruang hampa. Ia akan sangat terkait dengan masalah sosial, politik, ekonomi, keamanan, kebudayaan dan seterusnya, termasuk institusi sosial yang mengaturnya. Tak ayal, setiap kebijakan pariwisata terlebih yang menyangkut liberalisasi harus dilakukan secara serius, cermat, dan hati-hati dengan melihat derajat keluasan pengaruhnya.
Berbicara mengenai liberalisasi pariwisata, ia tak hanya menawarkan peluang emas bagi Indonesia, tetapi juga pedang ganas apabila kita lalai menyikapinya. Tantangan ini terkait dengan tendensi eksploitatif komersiil  pada pengelolaan sumberdaya pariwisata seiring maraknya kehadiran pemasok jasa asing di Indonesia. Tak dapat dipungkiri Indonesia telah menjadi pasar potensial pariwisata dunia dengan melihat sisi geografis, geologis, geopolitik, klimatologis dan sosial ekonomi yang dimilikinya. Hasil akhirnya adalah apakah   eksistensi pariwisata mampu menjadi solusi pemecah kebuntuan bangsa yang selama ini berkutat pada menara kembar permasalahan kemiskinan dan pengangguran, ataukah  ia justru menjadi bagian dari permasalahan bangsa yang memperparah ketergantungan kita pada muatan-muatan asing.
Ilustrasi probabilitas kontradiktif inilah yang menjadi topik utama dari buku Kebijakan Liberalisasi Pariwisata: Konstruksi Konsep, Ragam Masalah, dan Alternatif Solusi yang ditulis oleh IGN Parikesit Widiatedja (30th) yang sehari-harinya adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana. Penulis muda ini pun tak segan untuk menghadirkan kritik-kritik lugas terhadap kebijakan liberalisasi pariwisata yang terkesan tambal sulam, cenderung kompromistis dan bermuatan pragmatis. Namun dibalik episode negatif  tersebut, sederet tawaran solusi pun diberikan sebagai jawaban dari setiap kritik di atas. Buku ini nampaknya merupakan kelanjutan pembahasan dari buku penulis sebelumnya yakni Liberalisasi Jasa dan Masa Depan Pariwisata Kita.
Dari sisi organisasi buku, signifikasi kebijakan pariwisata Bali berkelanjutan di tengah tantangan liberalisasi menjadi pembuka pembahasan. Penulis seakan memberi warna penekanan pada pengelolaan pariwisata berkelanjutan. Kontruksi yang nampaknya semakin  terpinggirkan seiring derasnya laju pertumbuhan pariwisata. Pada pembahasannya, penulis mencoba pendekatan tiga dimensi yakni, lalu (past), kini (present), dan nanti (future).Dari dimensi lalu, pembahasan akan menguraikan jejak sejarah konstruksi konsep pariwisata berkelanjutan, prinsip-prinsip pariwisata berkelanjutan, dan urgensinya bagi pengembangan pariwisata di Bali. Dari dimensi kini, pembahasan merujuk pada sederet kebijakan yang telah diambil sebagai langkah responsif di era liberalisasi pariwisata. Sementara itu, alternatif solusi kebijakan baik  dari sisi ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan hidup, menjadi pembahasan selanjutnya ditinjau dari dimensi nanti.
Terdapat 3 (tiga) tulisan yang membahas liberalisasi pariwisata ditinjau dari perspektif nasional yakni: Konsepsi dan potensi pariwisata budaya sebagai keunggulan komparatif di era liberalisasi (analisis terhadap perspektif politik hukum pemerintah), Intervensi muatan liberalisasi dalam Undang-undang kepariwisataan kita,dan konsekuensi pengakuan hak asasi manusia bagi kegiatan berwisata:  prospek dan tantangan bagi pariwisata di Indonesia. menjadi tulisan pertama. Dari ketiga tulisan ini, penulis nampaknya mulai menyoroti  politik hukum pemerintah yang begitu permisif terhadap fenomena liberalisasi pariwisata. Bahkan UUD 1945 dan Undang-undang kepariwisataan telah mengakomodasi keberadaan paham adikarya Adam Smith tersebut.
Liberalisasi jasa ASEAN: identifikasi peluang dan tantangan bagi pariwisata Indonesia menjadi pembahasan ditinjau dari perspektif regional.  Penulis mencoba mengidentifikasi dan menganalisis kesiapan Indonesia dalam menghadapi perjanjian yang telah dirintis sejak 15 desember 1995 tersebut. Penulis mencoba menggunakan sederet parameter yakni parameter kebijakan pemerintah, sumber daya manusia (SDM), keunikan produk,  dan penguasaan teknologi. Tak lupa, penulis pun memberikan evaluasi dan rekomendasi serta tawaran solusi bagi pemerintah dalam memformulasikan kebijakan liberalisasi pariwisata yang benar-benar selaras dengan kebutuhan Indonesia.
            Terdapat dua tulisan yang membahas kebijakan liberalisasi pariwisata ditinjau dari perspektif internasional yaitu: Liberalization of Services in the Perspective of Indonesia’s Tourism Law dan The Impact of General Agreement on Trade in Services (GATS) on Tourism:Indonesia Case. Tulisan pertama merujuk kepada pengkonstruksian nilai-nilai dan prinsip-prinsip liberalisasi jasa dalam GATS kedalam Undang-undang Kepariwisataan No.10 Tahun 2009 dengan menafsirkan materi muatannya. Sementara itu, tulisan kedua akan mengidentifikasi dan menganalisis sederet dampak baik positif ataupun negatif yang timbul akibat pemberlakuan liberalisasi pariwisata di Indonesia.  Kedua tulisan ini berupaya mengurai kembali sejarah eksistensi GATS yang menjadi payung hukum multilateral liberalisasi pariwisata dan pilihan politik hukum pemerintah dalam menyikapi proses yang mulai berlaku sejak 1 januari 1995 tersebut.
Pada akhir pembahasannya, penulis nampaknya  ingin mengajak mereka-mereka yang tadinya tidak tertarik menjadi tertarik, tidak peduli menjadi peduli, setelah peduli menjadi terpanggil untuk mencari tahu, dan dengan memiliki perspektif  baru, keluasan cakrawala, semangat, dan keberanian, mereka diharapkan melakukan suatu tindakan dalam menyelamatkan masa depan pariwisata dari bahaya laten liberalisasi.  Tentu ikhtiar ini harus disinergikan pula dengan daya jangkau, idealisme dan kompetensi masing-masing. Pada gilirannya perpaduan antara visi (vision), semangat (passion) dan tindakan (action) tadi, akan membuat kita tidak hanya percaya (have belief) tetapi juga yakin (have faith) untuk siap dan tampil percaya diri sekalipun harus bersaing secara global apabila liberalisasi pariwisata nantinya benar-benar diberlakukan penuh di tahun 2020.

JIWA ATMAJA

1 komentar:

  1. pak jika saya ingin membeli buku ini bisa saya dapatkan dimana ya?

    BalasHapus