Rabu, 20 Juli 2011

Liberalisasi Jasa dan Kearifan Lokal

SIGNIFIKASI KEBIJAKAN PARIWISATA BALI BERKELANJUTAN  
 DI TENGAH TANTANGAN LIBERALISASI
oleh
IGN Parikesit Widiatedja,SH.,MHum.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana

I.          LATAR BELAKANG

            Eksistensi pariwisata sebagai industri terbesar di dunia telah melahirkan sederet  peluang dan tantangan bagi negara-negara yang menggantungkan harapan pada sektor tanpa cerobong asap tersebut. Apabila ditelusuri dari ragam pembentuk faktor produksi seperti: modal, tanah, tenaga kerja, teknologi, dan manajemen, ia dapat berkontribusi signifikan  sebagai katalisator dalam mengembangkan pembangunan (agent of development) dan  pemerataan pendapatan masyarakat (re-distribution of income).[1]. Dalam aras kontradiktif, tendensi pengembangan eksploitatif telah mengancam industri pariwisata itu sendiri. Tak heran jika pada alur destruktif berikutnya mulai menyeruak ekses-ekses negatif dari tindakan pemangku kepentingan pariwisata yang lebih mengedepankan dorongan periferal, pragmatis, superfisial dan komersiil.
         Untuk mereduksi kemungkinan bertunasnya masalah di atas, konsep dan pelaksanaan pembangunan pariwisata berkelanjutan menjadi pilihan solutif di masa depan. Sejak sepuluh tahun terakhir, proses diskursif akan urgensi pembangunan berkelanjutan semakin kuat dipromosikan berbagai kalangan. Pembangunan berkelanjutan sejatinya merupakan sebuah proses pembangunan yang memperhatikan daya dukung (carrying capacity )dari sumber daya alam dan sumber daya manusia yang tersedia. Berkelanjutan dapat berarti pemberian lingkaran konsentrasi pada sinergisitas pelestarian yang meliputi dimensi ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan hidup. Secara singkat, alur konstruksi pengembangan pariwisata berkelanjutan merupakan perpaduan kelayakan secara ekonomi, keadilan secara sosial budaya,dan berkewajaran dari sisi lingkungan.
Sebagai ikon dan figurasi pariwisata Indonesia, Bali telah menjelma menjadi salah satu destinasi wisata dunia yang sangat populer. Pariwisata tak ubahnya generator penggerak pembangunan perekonomian masyarakat Bali. Sumbangsihnya dalam mendorong perkembangan perekonomian masyarakat Bali tidak dapat terbantahkan lagi. Dari berbagai pengamatan dan penelitian empiris, tidak kurang 80% dari seluruh masyarakat Bali menggantungkan hidupnya pada pariwisata, baik secara langsung maupun tidak langsung. Tak salah jika pada akhirnya Pemerintah Provinsi Bali sebagai pemegang otoritas dan legitimasi  beserta seluruh stakeholder yang berinteraksi langsung di tataran implementatif mulai menggulirkan  konsep pengembangan pariwisata yang berkelanjutan demi menjaga konsistensi dan kontinuitas peran dan kontribusinya bagi Bali.
Struktur logika di atas tentu berdasarkan pula pada keindahan alam dan  kebudayaan Bali yang unik dan beranekaragam serta berfalsafah hindu.  Seperti diketahui, pembangunan pariwisata di Bali selalu berlandaskan pada  konsep “Tri Hita Karana”. Konsep ini berekspektasi untuk menyeimbangkan hubungan antara manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan alam. Lambat laun, manusia akan dapat memperoleh imbal balik dalam bentuk kesejahteraan, kemakmuran, kebahagiaan dan kedamaian dalam hidupnya.[2]
Pada era globalisasi dan liberalisasi yang diimbuhi dengan hiperkonsumerisme, Pemerintah Indonesia telah menggulirkan sederet kebijakan yang berhilir pada penempatan pariwisata sebagai salah satu penghasil devisa potensial.  Tak ayal, terjadi  akselerasi  pembangunan Pariwisata Bali secara terus menerus dan ambisius yang mengakibatkan penurunan kemampuan lingkungan dalam mengimbangi kecepatan pembangunan tersebut. Pada gilirannya, serangkaian tindakan ini mulai meminggirkan ide, konsep, pemikiran dan urgensi pembangunan pariwisata berkelanjutan yang sempat didengungkan sebelumnya.
Langkah pertama untuk kembali mempromosikan dan mengembalikan urgensi pengembangan pariwisata berkelanjutan tentu disandarkan pada kemampuan dan kemauan pemerintah dalam menetapkan kebijakan yang benar-benar mengarusutamakan prinsip perlindungan, pengendalian, dan pemanfaatan pariwisata.  Jika ini dapat dilaksanakan, maka pada pola ekspektasi berikutnya pengelolaan pariwisata akan berjalan secara wajar, terencana, dan berkelanjutan baik ditinjau dari sisi ekonomi, sosial budaya dan juga lingkungan sebagai representasi ideal pembangunan pariwisata berkelanjutan.

II.  Konstruksi Kebijakan Pariwisata Berkelanjutan

Sejatinya, pembangunan berkelanjutan merupakan konsep alternatif yang bersifat kontradiktif bagi konsep pembangunan konservatif. Terdapat sederet persyaratan kompulsif  di dalamnya seperti pemberian skala prioritas dari sisi ekologis, pemenuhan kebutuhan dasar manusia, prinsip keadilan bagi generasi mendatang, dan  penentuan nasib sendiri bagi masyarakat setempat. Menelusuri jejak sejarahnya, konsep pembangunan berkelanjutan pertama kali tercetus dalam konferensi di Stockholm pada tahun 1972 tentang “Stockholm Conference on Human and Environment”. Secara singkat definisi pembangunan berkelanjutan adalah: Sustainable development is defined as a process of meeting the present needs without compromising the ability of the future generations to meet their own needs.
Dalam perkembangan selanjutnya, Pacific Ministers Conference on Tourism and Environment di Maldivest tahun 1997  lantas menyebutkan prinsip-prinsip pariwisata berkelanjutan yang meliputi kesejahteraan lokal, penciptaan lapangan kerja, konservasi sumber daya alam, pemeliharaan dan peningkatan kualitas hidup, serta keseimbangan inter dan antar generasi dalam distribusi kesejahteraan. Sebagai proses tindak lanjut, Konferensi Dunia tentang Pariwisata Berkelanjutan pada tahun 1995 merumuskan secara elaboratif Piagam Pariwisata Berkelanjutan yang isinya sebagai berikut:
1.  Pembangunan  pariwisata  harus berdasarkan kriteria keberlanjutan yang antara lain dapat didukung secara ekologis dalam waktu yang lama, layak secara ekonomi, adil secara etika dan sosial bagi masyarakat setempat.
2.  Pariwisata harus berkontribusi bagi pembangunan berkelanjutan dan diintegrasikan dengan lingkungan alam, budaya, dan manusia.
3.  Pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat setempat harus mengambil tindakan reaktif untuk mengintegrasikan perencanaan pariwisata kedalam pembangunan berkelanjutan.
4.  Pemerintah  dan  organisasi multilateral  harus  memprioritaskan  dan  memperkuat bantuan terhadap proyek-proyek pariwisata yang berkontribusi bagi perbaikan kualitas lingkungan.
5.  Ruang-ruang dengan lingkungan dan budaya yang rentan saat ini maupun di masa depan harus diberi prioritas khusus dalam hal kerjasama teknis dan bantuan keuangan untuk pembangunan pariwisata berkelanjutan.
6.  Promosi atau dukungan terhadap berbagai bentuk alternatif kegiatan pariwisata yang sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan
7.  Pemerintah  harus mendukung  dan berpartisipasi dalam penciptaan jaringan untuk penelitian, diseminasi informasi, dan transfer pengetahuan tentang pariwisata dan teknologi pariwisata berkelanjutan.
8.  Penetapan   kebijakan  pariwisata  berkelanjutan  memerlukan dukungan  dan sistem pengelolaan pariwisata yang ramah lingkungan, studi kelayakan untuk transformasi sektor, dan pelaksanaan berbagai proyek percontohan dan pengembangan program kerjasama internasional.

Berdasarkan kerangka postulasi tersebut, maka langkah strategis selanjutnya adalah menjabarkannya dalam serangkaian kebijakan yang tentunya berikhtiar untuk mendorong, memperkuat, dan menegakkan  konsep pengembangan  pariwisata secara berkelanjutan. Dalam tataran nasional, Undang-undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam konsideran mengamanatkan bahwa pembangunan ekonomi nasional  diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Selanjutnya, pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.
Menyentuh sektor pariwisata, Undang-undang  No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan mengamanatkan bahwa kepariwisataan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang dilakukan secara sistematis, terencana, terpadu, berkelanjutan, dan bertanggung jawab dengan tetap memberikan perlindungan terhadap nilai-nilai agama, budaya yang hidup dalam masyarakat, kelestarian dan mutu lingkungan hidup, serta kepentingan nasional. Pasal 2 lalu menegaskan bahwa salah satu prinsip penyelenggaraan kepariwisataan adalah berkelanjutan.
Di tataran lokal, Pemerintah Daerah Bali telah menetapkan Peraturan Daerah (Perda) No. 3 Tahun 1974 tentang Pariwisata Budaya sebagai acuan pengembangan kepariwisataan secara komprehensif. Perda tersebut dalam perjalanannya kemudian diperbaharui menjadi Perda No 3 Tahun 1991 yang pada prinsipnya menyatakan bahwa kepariwisataan yang dikembangkan di daerah Bali adalah pariwisata budaya yang dijiwai oleh agama Hindu. Dengan demikian, kegiatan pariwisata diharapkan dapat berjalan secara selaras, serasi, dan harmonis dengan kebudayaan setempat dan berakar pada nilai-nilai luhur agama Hindu.

Sederet kebijakan yang menyangkut konsep pengelolaan pariwisata berkelanjutan di Bali antara lain:
a.       Perda Tk.I Bali Nomor 3 Tahun 1974 juncto Perda Tk.I Bali Nomor  3 Tahun 1991 tentang  Pariwisata Budaya.
b.      Perda Prov. Bali Nomor 3 Tahun 2005 tentang RTRW Provinsi Bali yang di dalamnya diatur tentang penetapan 15 kawasan pariwisata.
c.   Perda Prov. Bali Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup.
d.         Perda Prov. Bali Nomor 5 Tahun 2005 tentang Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung.
e.          Perda Prov. Bali Nomor 7 Tahun 2007 tentang Usaha Penyediaan Sarana Wisata Tirta.
f.          Perda Prov. Bali Nomor 5 Tahun 2008 tentang Pramuwisata.

Beranjak dari serangkaian konstruksi di atas,  pengembangan pariwisata berkelanjutan merupakan suatu serangkaian proses secara terukur dan terencana yang berikhtiar untuk memenuhi kebutuhan di masa sekarang untuk selanjutnya diwariskan kepada generasi mendatang. Pada spektrum ideal selanjutnya, generasi sekarang dan generasi yang akan datang mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk menikmati alam beserta isinya ini.  Untuk itulah dibutuhkan suatu   instrumen kebijakan   yang   efektif, transparan,   terperinci dan terpadu sebagai pengejahwantahan prinsip good governance.yang melibatkan partisipasi aktif dan seimbang antara pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam pengelolaan pariwisata.

III. Signifikasi Kebijakan Pariwisata Berkelanjutan

Keberadaan suatu kebijakan khususnya kebijakan hukum secara tersendiri (sui generis) yang integral, komprehensif dan telah memuat  prinsip-prinsip pariwisata berkelanjutan menjadi titik awal (starting point) yang sangat menentukan sistem manajemen dan tata kelola pariwisata pada tahap-tahap selanjutnya. Ditinjau dari pendekatan ke dalam (inward looking), kebijakan tersebut harus mampu memelihara dan melindungi kekayaan alam dan budaya sebagai aset pariwisata kita yang telah menjadi ciri khas dan identitas  Indonesia selama ini. Ditinjau dari pendekatan ke luar (outward looking), kebijakan tersebut harus pula  mencegah proses internasionalisasi dan komersialisasi pariwisata secara eksesif sebagai imbas berlakunya liberalisasi sejak pemberlakuan General Agreement on Trade in Services (GATS) di tahun 1995. 
Bagi pariwisata Bali, signifikasi kebijakan pariwisata berkelanjutan akan melindungi keberadaan beberapa elemen budaya di Bali yang menjadi ciri, identitas, dan daya tarik wisatawan antara lain muatan tradisi, pandangan hidup, arsitektur, agama, makanan tradisional, seni dan musik, barang-barang kerajinan, sejarah, dan bahasa daerah. Selain itu, instrumen koersif, normatif dan simbolik tersebut akan melindungi dan menjamin pengelolaan pariwisata yang ramah lingkungan dan memberikan sentuhan positif  bagi keberadaan komunitas lokal.

a. Signifikasi Kebijakan dari Aspek Ekonomi

            Beberapa kalangan meyakini pariwisata mampu beperan sebagai lokomotif  pertumbuhan ekonomi secara menyeluruh. Penciptaan lapangan kerja, pengurangan angka kemiskinan serta penguatan daya beli masyarakat menjadi mata rantai positif dari peningkatan nilai ekonomi di sektor usaha tanpa cerobong asap tersebut.[3] Untuk itu, strategi kebijakannya harus memiliki dua buah tujuan, yakni harus   memaksimalkan kontribusi dari sumber daya pariwisata yang telah terbukti mampu memberikan nilai tambah secara ekonomi, dan berupaya menelusuri potensi-potensi ekonomi baru yang belum tergali sebelumnya.
Strategi kebijakan pertama dapat diwujudkan dengan menetapkan suatu kebijakan yang mampu menciptakan simbiosis mutualisme antara pariwisata, pertanian dan kelautan. Hasil-hasil pertanian dan kelautan yang telah diperoleh harus dikemas dan dipasarkan sesuai dengan standar bisnis internasional untuk menunjang keunikan pariwisata yang kita miliki. Sebaliknya dari perspektif ekonomi, konstruksi tersebut akan meningkatkan kesejahteraan petani dan nelayan yang selama ini cenderung termarginalkan. Selain itu, pelaksanaan good coorporate governance usaha pariwisata yang meliputi transparansi, akuntabilitas, responsif, independent dan fairness baik dalam fase governance structure, governance process dan governance outcome akan dapat meningkatkan nilai ekonomi pariwisata itu sendiri.
Memanfaatkan peluang usaha  pariwisata yang selama ini belum tergarap secara maksimal seperti wisata religius, konvensi, selam, adventure dan ekoturisme, menjadi strategi kebijakan kedua untuk meningkatkan nilai ekonomi pariwisata. Peluang ini didukung oleh fenomena beberapa waktu belakangan ini di mana telah terjadi perubahan consumer behaviour pattern atau pola konsumsi dari para wisatawan ke jenis wisata yang lebih beragam seperti atraksi wisata minat khusus dan pariwisata berwawasan lingkungan. Pada fase terakhir, beberapa aspek yang patut menjadi skala prioritas dalam mendorong peningkatan nilai ekonomi pariwisata secara tidak langsung meliputi: peningkatan kualitas infrastruktur pendukung di area destinasi wisata, kebijakan pemberian pendidikan, pelatihan dan keterampilan demi peningkatan produktivitas dan kapasitas SDM pariwisata.
Apabila terealisasi, maka masa depan pariwisata akan memiliki daya saing ekonomi  yang jauh lebih baik sehingga mampu mengejar ketertinggalan, dan mempunyai posisi yang sejajar dalam pergaulan pariwisata Internasional. Alasannya, dengan pendekatan bisnis yang relatif tradisional saja Indonesia telah mampu mencuri perhatian dunia melalui ciri khas pariwisata yang kita miliki. Apabila  dikombinasikan dan diperkuat dengan strategi, konsep, tata kelola dan penerapan bisnis modern, maka kita tidak hanya mampu mempertahankan pasar, tetapi juga memelihara peluang dalam meningkatkan penetrasi pasar pariwisata di luar negeri yang semakin terbuka sebagai imbas adanya liberalisasi jasa. Tinggal sekarang bagaimana kita mampu memanfaatkan dan mengolah peluang ini, sekaligus siap mengantisipasi berbagai kemelut dan hambatan yang sesungguhnya lebih banyak berasal dari dalam kita sendiri.

b.Signifikasi Kebijakan dari Aspek Sosial Budaya

Di era globalisasi dan liberalisasi, interaksi dan mobilitas masyarakat  telah menyebabkan  peningkatan intensitas persentuhan sosial dan budaya. Tak ayal sebagai media interaksi dan transaksi, pariwisata menjadi sektor yang memberi andil kontributif  bagi persentuhan hingga percampuran  budaya, antaretnik dan antarbangsa yang rentan akan menimbulkan patogen sosial dan kerawanan konflik. Oleh karenanya, warna penekanan dalam perspektif kebijakan publik haruslah bertujuan pada pembentukan ketahanan budaya, pemantapan integrasi sosial, dan pemberdayaan penduduk lokal.
Sejauh ini, perhatian terhadap aspek sosial budaya masih memprihatinkan. Kecenderungan ini karena performance indicator (kinerja atau ukuran keberhasilan) umumnya diukur secara statistika atau kuantitatif, sementara itu sebagian dari isu sosial budaya bersifat kualitatif sehingga tidak termasuk dalam indikator keberhasilan pembangunan. Dengan demikian cukup beralasan apabila pelaksanaan pembangunan tidak memberikan perhatian serius terhadap aspek sosial budaya mengingat tidak adanya ukuran yang pasti dalam menemukan hubungan sebab akibat (cause and effect) dari fenomena sosial budaya tersebut.[4]
Untuk mensiasati kondisi di atas, pembuatan       kebijakan    yang   mewajibkan   para pelaku usaha pariwisata memprioritaskan dan melestarikan keunikan budaya sekaligus mengikutsertakan peran masyarakat lokal sekitar, menjadi suatu keharusan. Kebijakan ini  dapat diderivasi melalui pembuatan   kebijakan  yang  mensyaratkan  adanya  even  pariwisata semacam festival pariwisata dengan mengedepankan atraksi-atraksi budaya yang dimiliki, dan melibatkan pula masyarakat internasional sebagai media promosi, pembuatan kebijakan yang mengikutsertakan  peran aktif masyarakat sebagai manifestasi diplomasi total yang memanfaatkan segenap lini kekuatan pariwisata. Peran masyarakat lokal tak dapat dikesampingkan, justru di tangan merekalah sesungguhnya melekat keunikan dan keragaman yang sangat bermanfaat bagi penciptaan  identitas dan jati diri, sebagai bagian dari pengembangan pariwisata secara inklusif. Proses pemberdayaan ini tentu bertujuan pula dalam meningkatkan kesejahteraan materiil, spritual hingga kemampuan intelektual masyarakat lokal.
Kombinasi dari kesuksesan sederet upaya di atas akan menjadi embrio bagi terbentuknya sebuah citra positif dan identitas pariwisata yang solid. Bagi usaha jasa seperti pariwisata, citra dan identitas yang terbentuk  merupakan faktor yang sangat krusial. Proses pengambilan keputusan perjalanan wisata suatu konsumen jasa kerapkali ditentukan oleh citra dan identitas dari suatu daerah tujuan wisata. Tidak salah jika pada akhirnya faktor ini mengalahkan potensi sumber daya pariwisata lainnya yang tersedia di daerah tersebut. Di era liberalisasi jasa, citra positif dan identitas yang solid melalui pemantapan dan penguatan kredibilitas pengembangan pariwisata merupakan kolaborasi positif yang menjadi bagian dari diplomasi pariwisata kita. Harapan ini tentu tergantung pada kesiapan, kemauan dan kemampuan kita dalam menanamkan, mengembangkan dan memelihara citra dan identitas yang terbentuk sebagai modal berharga dalam mempertahankan eksistensi pariwisata kita di masa-masa mendatang.

c.Signifikasi kebijakan dari Aspek Lingkungan Hidup

Sejalan dengan konsep pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism), pemerintah dan pelaku usaha pariwisata lainnya,  wajib mengedepankan gerakan pengendalian terhadap dampak merusak (detrimental effect) dari aktivitas  pariwisata. Seperti kita ketahui, pariwisata merupakan aktivitas yang acapkali memanfaatkan bagian-bagian atau komponen-komponen dari lingkungan hidup, sehingga kebijakan pariwisata sudah selayaknya selalu memberi perhatian pada perlindungan dan pelestarian  lingkungan hidup, demi kepentingan generasi yang akan datang. Di samping itu, perhatian terhadap eksistensi lingkungan hidup juga merupakan aktualisasi pengakuan terhadap nilai-nilai civil society.
Strategi kebijakan pada aspek lingkungan hidup dapat bersifat preventif dan represif dengan melibatkan partisipasi aktif dari seluruh pemangku kepentingan di sektor pariwisata. Secara preventif, pembuatan  serangkaian cetak  biru (blue print) standarisasi lingkungan hidup menjadi suatu kebutuhan yang mendesak. Kebijakan ini akan menjadi pedoman, kriteria, prosedur teknis dan penetapan kinerja bagi pelaku pariwisata dalam mengelola dan mempertahankan eksistensi usaha pariwisata di masa depan, sekaligus tak luput mengedepankan aspek perlindungan  atau konservasi terhadap lingkungan hidup.
Selanjutnya, pembuatan kebijakan yang menetapkan daerah konservasi alam seperti pantai, sungai, danau, dan hutan, serta warisan budaya akan mampu mereduksi dampak negatif dari komersialisasi pariwisata. Nantinya, konstruksi kebijakan ini sekaligus pula membatasi kecenderungan alih fungsi lahan produktif menjadi kawasan aktivitas bisnis yang menyalahi tata letak dan tata ruang di suatu daerah. Pada gilirannya menjamurnya aktivitas pembangunan pengembangan sarana pariwisata tidak akan menyebabkan degradasi kualitas dan kuantitas lingkungan hidup.
Secara represif, tindakan tegas dan tidak memihak terhadap   pelaku  pariwisata yang terbukti sah dan melawan hukum melakukan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup, wajib dikedepankan. Untuk lebih mengefektifkan sistem ini, pemberiannya pun harus dipublikasikan secara luas demi menimbulkan efek jera yang memadai. Upaya represif ini dapat bersifat administratif yakni berwujud peringatan, paksaan pemerintahan, uang paksa, serta pencabutan izin dari pemerintah. Dalam perspektif perdata, gugatan kerugian dan pembayaran uang paksa menjadi instrumen represif yang dapat dikenakan. Sementara itu, tuntutan pidana berupa pidana pokok dengan atau tanpa disertai pidana tambahan menjadi instrumen represif ditinjau dari perspektif pidana.[5]

Penutup

Pembangunan pariwisata berkelanjutan merupakan pembangunan yang berdimensi ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan hidup sehingga memiliki keadilan tidak hanya untuk generasi sekarang tetapi juga generasi yang akan datang. Dalam kontruksi ini, pariwisata harus dipandang sebagai suatu sistem yang meliputi beragam komponen yang saling berinteraksi dan saling mempengaruhi. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu sinergi kebijakan yang mengatur penyelenggaraan pariwisata dengan pendekatan multisektor dan multidisiplin.  Signifikasi pelaksanaan prinsip good and clean governance, soliditas koordinasi dan konsolidasi antar aparat, sinkronisasi dan integrasi pelayanan, dan sinergisitas pemerintah dan masyarakat, mutlak menjadi lingkaran konsentrasi dalam mewujudkan konsistensi pembangunan pariwisata berkelanjutan yang sekaligus menjadi ciri dan identitas pariwisata Indonesia ditengah persaingan yang semakin luas dan bebas sebagai imbas liberalisasi.


[1]  Oka  A. Yoeti. 2006. Pariwisata Budaya: Masalah dan Solusinya.  Jakarta: Pradnya Paramita, h.2.
[2]  Darmayudha, Suasthawa I M., I W. Koti Cantika. 1991. Filsafat Adat Bali.Denpasar: PT. Upada Sastra, h.6-8.
[3] Lihat ulasan I Gde Pitana dan Putu Gayatri.2005.Sosiologi Pariwisata.Yogyakarta: Penerbit Andi,h.112.

[4]  ibid,h.32.
[5] Coba lihat Ida Bagus Wyasa Putra,dkk.2003. Hukum Bisnis Pariwisata. Bandung:Refika Aditama,h.182

Tidak ada komentar:

Posting Komentar