Rabu, 20 Juli 2011

Liberalisasi Jasa di Sektor Pariwisata

Konstruksi  Transaksi Bisnis Pariwisata
dalam Perspektif Perdagangan Jasa  Internasional
oleh
IGN Parikesit Widiatedja,S.H.,M.Hum.[1]

I. Latar Belakang
1.1.  Nilai Transaksi Bisnis Pariwisata dan Kontribusinya bagi Pertumbuhan Ekonomi Dunia

Dari berbagai survei empiris dan pengamatan intensif, pariwisata telah menjadi lingkaran konsentrasi utama di berbagai negara. Industri tanpa cerobong asap tersebut bahkan  ditasbihkan menjadi salah satu industri terbesar di dunia. Sederet organisasi internasional antara lain: PBB, Bank Dunia dan World Tourism Organization (WTO), pun mengungkapkan tren  pergerakan masif dari industri yang kini merupakan bagian melekat dari kehidupan manusia itu, utamanya menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Diawali dari kegiatan yang semula hanya dinikmati oleh segelintir orang yang relatif kaya pada awal abad ke-20, kini telah berkembang  menjadi bagian dari hak asasi manusia sebagaimana diutarakan oleh John Naisbitt dalam bukunya Global Paradox. Beliau menyatakan bahwa “where once travel was considered a privilege of the money elite, now it is considered a basic human right”. Realitas kontemporer ini terjadi tidak hanya di negara maju, tetapi mulai menggejala di negara berkembang termasuk Indonesia.[2]
Sebagai sebuah industri jasa, pariwisata memiliki kekuatan integratif terhadap berbagai aspek lainnya seperti budaya, ekonomi, teknologi dsg. Kondisi yang pada gilirannya akan melahirkan suatu kesatuan yang mampu merangkul segenap potensi terpendam untuk meningkatkan kapasitas, dan memobilisasi sumber daya pariwisata yang tersedia. Beberapa kalangan meyakini ia mampu beperan sebagai lokomotif  pertumbuhan ekonomi secara menyeluruh. Penciptaan lapangan kerja, pengurangan angka kemiskinan serta penguatan daya beli masyarakat menjadi alur ekspektasi berikutnya yang hendak dicapai apabila peningkatan nilai ekonomi pariwisata dapat terealiasikan. Bahkan lebih jauh, sebagai suatu fenomena yang ditimbulkan oleh perjalanan dan persinggahan manusia ke tempat-tempat yang bukan tempat tinggalnya, ia mempunyai potensi mulia dalam meningkatkan kualitas hubungan antarmanusia sehingga terjalin saling pengertian yang lebih baik, saling menghargai, persahabatan, solidaritas, bahkan perdamaian.[3]
            Berdasarkan data yang dikutip dari World Tourism Organization (WTO) pada tahun 2000, wisatawan mancanegara (wisman) internasional mencapai jumlah 698 juta orang dengan menciptakan pendapatan sebesar USD 476 milyar. Pertumbuhan jumlah wisatawan pada dekade 90-an sebesar 4,2 %, sedangkan pertumbuhan penerimaan dari wisman sebesar 7,3 persen, bahkan di 28 negara, pendapatan tumbuh 15 pesen per tahun. Sedangkan jumlah wisatawan dalam negeri di masing-masing negara jumlahnya lebih besar lagi dan kelompok ini merupakan penggerak utama dari perekonomian nasional.[4] Lebih jauh, Villiers dengan merujuk beberapa kajian, menyatakan bahwa mesin penggerak penyerapan tenaga kerja di abad ke-21 adalah pariwisata.[5]
Melangkah di tahun 2004, kontribusi pariwisata pada PDB dunia mencapai 10,4%, penyerapan tenaga kerja 8,1%, ekspor 12,2% dan penanaman modal 9,4%. Pada intinya, pariwisata telah terbukti dan teruji menjadi lokomotif penggerak ekonomi dan menciptakan lapangan kerja serta mensejahterakan masyarakat. Demikian pula pariwisata  juga menjadi satu dari lima kategori ekspor utama dari 83% negara-negara di dunia, dan telah menjadi sumber devisa utama sedikitnya 38% dari negara-negara itu. Nantinya, pariwisata akan terus tumbuh dengan stabil dan World Tourism Organization (WTO) memproyeksikan pada 2020 akan terdapat sekitar 1,6 miliar wisatawan mancanegara.[6]

1.2. Signifikasi Transaksi Bisnis Pariwisata dalam Postur Ekonomi Indonesia

Sebagai negara berkembang, Indonesia sejatinya menyimpan potensi alam dan budaya yang luar biasa dan dapat dijadikan modal dasar sekaligus keunggulan komparatif untuk mengembangkan sektor  pariwisata. Potensi yang dimiliki dapat dikonversi menjadi sesuatu yang bernilai ekonomi dengan daya saing yang tinggi. Selain itu, kita mengetahui  bahwa bahan baku usaha pariwisata sesungguhnya tidak akan pernah habis-habis, sedangkan bahan baku usaha-usaha lainnya sangatlah terbatas.[7] Sebagai gambaran di Indonesia, jumlah wisatawan nusantara (wisnus) pada tahun 2004 mencapai 103 juta wisatawan dan menghasilkan 195 juta perjalanan wisata nusantara. Dengan angka sebesar itu, diperkirakan jumlah wisatawan nusantara di akhir tahun 2009 akan menembus angka 218 juta orang dengan jumlah perjalanan wisata lebih dari 300 juta trips. Angka-angka tersebut menumbuhkan harapan terhadap peningkatan di sektor investasi, penyerapan tenaga kerja, peningkatan kontribusi aktivitas pariwisata terhadap pendapatan masyarakat dan pemerintah.[8] 
Menilik dari sisi devisa yang dihasilkan, pariwisata memiliki andil yang kontributif dalam menopang dan menggalakkan roda perekonomian nasional. Kondisi ini terungkap dalam Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Jangka Panjang Menengah (RPJM). Peraturan presiden ini menyebutkan bahwa pada tahun 2002, pariwisata merupakan penyumbang devisa kedua terbesar setelah ekspor migas. Pada tahun 2008, untuk pertama kalinya dalam sejarah perolehan devisa pariwisata mencapai 7,5 milliar dollar. Oleh karenanya, kesuksesan program pariwisata, diperkirakan akan berbanding lurus dengan penyerapan kesempatan kerja, serta mampu menopang pertumbuhan ekonomi yang masih berjalan lambat saat ini.[9]
Pada tahun 2003, jumlah wisman hanya mencapai 4,46 juta orang dengan perolehan devisa sekitar USD 4,04 miliar atau menurun sekitar 10,2 % dari tahun 2002. Meskipun demikian, sektor pariwisata masih merupakan penyumbang devisa keempat terbesar setelah ekspor migas, ekspor kelompok komoditi mesin elektrik, dan elektronik dan ekspor dari tekstil dan produk tekstil (TPT). Sementara pada tahun  2004, kontribusi pariwisata bagi perekonomian memberikan dampak hingga 5,43% pada produksi nasional, 5,01% pada PDB Indonesia, dan 9,06% pada kesempatan kerja serta terhadap pajak mencapai 7,81%.[10]
Memasuki tahun 2005 hingga 2007, tren kinerja pariwisata Indonesia yang ditinjau dari parameter kunjungan wisatawan dan devisa yang dihasilkan mengalami masa yang fluktuatif. Pada tahun 2005, jumlah wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Indonesia mencapai 5.002.101 orang dengan devisa yang dihasilkan mencapai 4.521,89 juta dollar. Sementara pada tahun 2006, terjadi penurunan dalam jumlah wisatawan yang berkunjung menjadi 4.871.351 orang dengan devisa yang dihasilkan sebanyak 4.447,98 Juta dollar. Sinyal positif mulai terasa ketika pada tahun 2007 jumlah kunjungan wisatawan meningkat menjadi 5.505.759 orang dengan perolehan devisa mencapai 5.345,98 juta dollar.[11]
Melangkah di tahun 2008 hingga 2010, untuk pertama kalinya dalam sejarah perolehan devisa pariwisata mencapai 7,5 miliar dollar. Perolehan devisa ini dicapai dari jumlah wisatawan mancanegara 2008 yang mencapai 6,4 juta wisman dengan tingkat pengeluaran sebesar 1178 dolar AS per orang per kunjungan.[12] Namun, sinyal positif ini tidak berlanjut di 2009. Kunjungan wisatawan mancanegara memang mencapai  6,45 juta orang atau meningkat 0,4% dibanding tahun sebelumnya. Kendatipun demikian, pendapatan devisa justru menurun dari US$ 7,5 miliar pada 2008 menjadi US$ 6,32 miliar di 2009. Memasuki tahun 2010, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara mencapai 7,002 juta orang dengan pendapatan devisa yang meningkat cukup signifikan dari tahun sebelumnya menjadi 7,6 miliar dollar.[13]

II. Karakteristik Transaksi Bisnis Pariwisata sebagai Perdagangan Jasa

2.1. Konstruksi Dasar Perdagangan Jasa
Ditinjau dari sisi definisi, perdagangan jasa (trade in services) merupakan perdagangan yang menempatkan jasa sebagai komoditas. Jasa sendiri merupakan serangkaian tindakan untuk membantu orang lain dalam pemenuhan kebutuhannya. Jasa meliputi pengertian layanan atau bantuan untuk memperoleh sesuatu (serve),suatu sistem atau pengorganisasian aktivitas dalam pemenuhan seseorang atau beberapa orang (service). Tidak hanya itu, bidang bisnis ini juga berkaitan dengan usaha penyediaan sesuatu, tetapi di luar barang (goods) bagi orang lain.[14] Pada konteks perdagangan, jasa mencakup seluruh aktivitas yang terorganisir secara kualitas, kuantitas, dan dalam rentang waktu tertentu, untuk membantu seseorang atau lebih, mendapatkan keinginannya, berdasarkan proses transaksi, dan imbalan tertentu (services charge).[15]
Berdasarkan nilai transaksi bisnis yang dihasilkan, data yang dilansir oleh World Trade Organization (WTO) menyebutkan bahwa pada tahun 1999 perdagangan jasa internasional telah berjumlah US$1350 Milyar, atau sekitar 20% dari perdagangan internasional. Suatu kenyataan yang  mencerminkan ukuran riil perdagangan jasa internasional, dimana kerap terjadi melalui penetapan dalam pasar ekspor dan tidak tercatat dalam statistik balance of payment. Dalam dua dekade terakhir, perdagangan jasa tumbuh lebih cepat dari perdagangan barang. Fakta inilah yang menyebabkan sektor perdagangan jasa membutuhkan suatu pengaturan khusus dan mandiri, mengingat hampir mustahil suatu negara mencapai kemakmuran dibawah prasarana jasa yang tidak efektif dan mahal.[16]
Bagi Indonesia, seperti yang diutarakan oleh Menteri Perdagangan  Mari Elka Pangestu, perdagangan jasa menyumbang 40% dari pendapatan domestik bruto nasional. Jika kita mampu memanfaatkan perdagangan jasa secara optimal, efisien dan berkesinambungan, maka akan dapat menginjeksi sektor lainnya sehingga  pertumbuhan ekonomi menjadi lebih maju dan kompetitif. Pada akhirnya, tentu  akan membuka lapangan pekerjaan baru sekaligus memperlancar arus perdagangan barang.[17]
Mengerucut pada sektor pariwisata, bisnis pariwisata merupakan aspek kegiatan kepariwisataan yang berorientasi pada penyediaan jasa pariwisata. Bisnis pariwisata meliputi seluruh kegiatan penyediaan jasa (services) yang dibutuhkan wisatawan. Kegiatan ini meliputi jasa perjalanan (travel) dan transportasi (transportation), penginapam (accommodation), jasa boga (restaurant), rekreasi (recreation), dan jasa-jasa lain yang terkait, seperti jasa informasi, telekomunikasi, penyediaan tempat dan fasilitas untuk kegiatan tertentu, penukaran uang (money changer), dan jasa hiburan (entertainment). Perdagangan jasa pariwisata dapat bersifat domestik (domestic tourism) dan internasional (international tourism). Bersifat domestik apabila pelayanan jasa tersebut diberikan di dalam wilayah satu negara, oleh pelaku bisnis domestik terhadap wisatawan domestik. Bersifat internasional apabila di dalamnya mengandung unsur asing (foreign element), baik karena status personil penyedia jasanya, lokasi, maupun pasar yang dilayaninya. Dengan kata lain, perdagangan jasa pariwisata sejatinya merupakan bagian dari perdagangan internasional.[18]
2.2. Ciri Pembeda Transaksi Bisnis Pariwisata
Sebagai suatu perdagangan jasa, transaksi bisnis pariwisata memiliki sederet karakteristik yang menjadi ciri pembeda  dari transaksi di sektor lainnya meliputi:
a. tidak terjadi perpindahan kepemilikan
Transaksi penjualan dalam pariwisata tidak mengakibatkan pemindahan hak kepemilikan. Tidak seperti layaknya barang-barang berwujud dimana penjualan mengakibatkan pemindahan hak milik dan barang. Sebaliknya hubungan antara penjual dengan wisatawan memiliki kompleksitas tersendiri. Pada kerangka relasi ini, kepuasan dan keberhasilan transaksi yang terjadi oleh wisatawan sewaktu mengkonsumsi atau menggunakan produk industri pariwisata yang sudah dibelinya,  lebih banyak digantungkan pada kualitas pelayanan yang diberikan  oleh penjual.
b. sifat ketergantungan antar produk pariwisata
Hampir sebagian besar barang berwujud diproduksi, dikemas, dan disuplai dalam bentuk barang jadi yang siap pakai. Sementara itu, produk bisnis pariwisata justru sebaliknya, terdapat sesuatu yang ditambahkan terhadap produk lain sehingga dengan cara demikian, produk tersebut dapat memuaskan pembeli. Sebagai ilustrasi, produk masing-masing perusahaan yang terlibat dalam industri kepariwisataan, baru tinggi nilainya apabila produk perusahaan yang satu dikombinasikan dengan produk yang lain hingga memiliki nilai kenyamanan, keunikan, dan komersialitas yang lebih tinggi bagi wisatawan. Contohnya suatu paket wisata harus terdiri dari kombinasi: transportasi, akomodasi,  dan atraksi wisata.
c. proses produksi dan konsumsi yang terjadi secara bersamaan
Transaksi bisnis pariwisata mempunyai proses produksi dan komsumsi yang jatuh  pada saat  bersamaan. Jadi, antara pemberi  jasa dan penerima jasa memiliki rentang waktu yang dekat sekali. Dengan kata lain, tanpa kehadiran konsumen tidaklah mungkin proses produksi dapat dilakukan. Contoh: untuk menikmati paket wisata yang sudah dibeli oleh calon wisatawan, tentu membutuhkan bantuan Biro Perjalanan Wisata (BPW) yang menjualnya. Kemudian, pembeli juga membutuhkan  Tour Leader yang ditunjuk BPW tersebut untuk membawa seorang/beberapa orang wisatawan sesuai dengan Tour Itinerary yang tersedia.
d. bahan baku produk yang tidak pernah habis

Bahan baku dari produk bisnis pariwisata sendiri kalau kita perhatikan sesungguhnya tidak akan pernah habis, sementara bahan baku sektor-sektor lainnya jumlahnya terbatas.[19]Argumentasi yang cukup beralasan mengingat dalam bisnis  pariwsata khususnya yang menyangkut daya tarik wisata, kita lebih banyak mengandalkan sesuatu yang telah tersedia sebelumnya. Kekayaan alam dan keragaman flora dan fauna Indonesia merupakan anugerah Tuhan,  begitu pun dengan kemajemukan tradisi dan seni budaya yang lahir dari kebiasaan-kebiasaan nenek moyang kita. Peninggalan benda-benda sejarah dan purbakala yang mengabadikan derajat  kehidupan di masa lampau, menambah deretan keunggulan komparatif yang kita miliki. Sepanjang kita mampu menjaga dan melestarikannya, sepanjang itu pula bahan baku bisnis pariwisata  tersedia.

e. pendapatan devisa yang langsung dapat dinikmati

Transaksi bisnis pariwisata juga menghasilkan devisa yang bersifat quick yielding. Sebagai ilustrasi, pada saat terjadi transaksi jasa, para pelaku bisnis pariwisata akan langsung menikmati uang yang dibelanjakan para wisatawan, sementara pemerintah menerimanya dalam bentuk pajak di kemudian hari. Fakta lain juga menunjukkan apabila wisatawan nusantara maupun asing berbelanja di daerah wisata di Bali, pembuat keramik di Malang, pembuat pakaian di Bandung hingga pembuat gerabah di Lombok, merasakan pula manfaatnya. Sebuah fenomena positif yang disebutkan beberapa kalangan sebagai mata rantai penyebaran kesejahteraan   pariwisata.
Dari perspektif hukum, dengan merujuk pada sederet ciri pembeda yang menjadi karakteristik transaksi bisnis pariwisata sebagai perdagangan jasa, dibutuhkan pengaturan yang bersifat sui generis. Pengaturan ini nantinya akan mengakomodir tradisi, asas-asas, manual prosedur, ukuran kinerja hingga prosedur pelaksanaan transaksi bisnis pariwisata yang tentunya berbeda dari perdagangan barang. Dari teknik transaksi pembayaran, dibutuhkan pula pengaturan mengenai teknik transaksi, materi transaksi, elemen-elemen kontrak, bentuk pertanggungjawaban, cara penghitungan resiko, dsg yang sejalan dengan karakteristik transaksi bisnis pariwisata.[20]

III. Ragam Lapangan Bisnis Pariwisata
Guna menggalakkan pembangunan ekonomi dengan mengejar akselerasi pertumbuhan yang berimbang dan berkesinambungan, bisnis pariwisata dapat berkontribusi signifikan sekaligus sebagai katalisator dalam mengembangkan pembangunan (agent of development) dan  pemerataan pendapatan masyarakat (re-distribution of income).[21] Tidak hanya perusahaan-perusahaan yang dapat menyediakan kamar untuk menginap (hotel), makanan dan minuman (bar dan restoran), perencana perjalanan wisata (tour operator), agen perjalanan (travel agent), industri kerajinan (handicraft), pramuwisata (guiding and English course), tenaga terampil (Tourism Academy) yang diperlukan, tetapi juga prasarana ekonomi, seperti jalan raya, jembatan, terminal, pelabuhan, lapangan udara. Di samping itu, pariwisata membutuhkan pula prasarana pembangkit tenaga listrik, proyek penjernihan air bersih, fasilitas olahraga dan rekreasi, pos dan telekomunikasi, bank, money changer, perusahaan asuransi, perusahaan periklanan, percetakan dan banyak sektor perekonomian lainnya.[22]
Dalam Undang-undang Kepariwisataan No.10 Tahun 2009, Pasal 14 menyebutkan ragam lapangan bisnis pariwisata meliputi:

a.  daya tarik wisata;
b.  kawasan pariwisata;
c.   jasa transportasi wisata;
d.   jasa perjalanan wisata;
e.   jasa makanan dan minuman;
f.    penyediaan akomodasi;
g.   penyelenggara an kegiatan hiburan dan rekreasi;
h.   penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif, konferensi, dan pameran
i.    jasa informasi pariwisata;
j.    jasa konsultan pariwisata;
k.   jasa pramuwisata;
l.    wisata tirta; dan
m.  spa.
a. daya tarik wisata
            Bisnis daya tarik wisata merupakan bisnis pengelolaan daya tarik wisata alam, daya tarik wisata budaya,dan/atau daya tarik wisata buatan/binaan manusia. Bisnis ini meliputi bisnis pengelolaan pemandian air panas alami, gua, peninggalan sejarah, dan purbakala seperti: candi, keraton, prasasti, pertilasan, dan bangunan kuno, pengelolaan museum, lingkungan adat, dan objek ziarah.[23]
b. kawasan pariwisata
            Bisnis kawasan pariwisata merupakan bisnis pembangunan dan/atau pengelolaan kawasan untuk memenuhi kebutuhan pariwisata.[24]
c. transportasi wisata
            Bisnis transportasi wisata merupakan bisnis penyediaan angkutan untuk kebutuhan dan kegiatan pariwisata yang bukan merupakan transportasi regular/umum. Bisnis ini meliputi; angkutan jalan wisata, angkutan kereta api wisata, angkutan sungai dan danau wisata, angkutan laut domestik wisata, dan angkutan laut internasional wisata.[25]
d. perjalanan wisata
            Bisnis ini meliputi biro perjalanan wisata dan agen perjalanan wisata. Biro perjalanan wisata merupakan bisnis perencanaan, perjalanan, dan/atau pelayanan dan penyelenggaraan pariwisata, termasuk penyelenggaraan perjalanan ibadah. Sementara itu, agen perjalanan wisata merupakan bisnis pemesanan sarana seperti pemesanan tiket dan pemesanan akomodasi serta pengurusan dokumen perjalanan.[26]
e.   jasa makanan dan minuman

            Bisnis jasa makanan dan minuman pariwisata merupakan bisnis penyediaan makanan dan minuman yang dilengkapi dengan peralatan dan perlengkapan untuk proses pembuatan, penyimpanan, dan/atau penyajiannya. Bisnis ini meliputi; restoran, rumah makan, bar, café, jasa boga, dan pusat penjualan makanan.[27]

f.    penyediaan akomodasi
           
            Bisnis penyediaan akomodasi merupakan bisnis penyediaan pelayanan penginapan untuk wisatawan yang dapat dilengkapi dengan pelayanan pariwisata lainnya. Bisnis ini meliputi: hotel, bumi perkemahan, persinggahan caravan, vila, dan pondok wisata.[28]

g.   penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi

            Bisnis ini merupakan bisnis penyelenggaraan kegiatan berupa usaha bisnis pertunjukan, arena permainan, karaoke, serta kegiatan hiburan dan rekreasi lainnya yang bertujuan untuk pariwisata tetapi tidak meliputi wisata tirta dan spa. Bisnis ini meliputi:gelanggang olahraga, gelanggang seni, arena permainan, hiburan malam, panti pijat, taman rekreasi, karaoke, dan jasa impresariat/promotor.[29]

h.   penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif, konferensi, dan pameran
           
        Bisnis ini merupakan pemberian jasa bagi pertemuan sekelompok orang, penyelenggaraan perjalanan bagi karyawan dan mitra usaha sebagai imbalan atas prestasi kerjanya serta penyelenggaraan pameran dalam rangka penyebarluasan informasi dan promosi suatu barang dan jasa yang berskala nasional, regional,dan internasional.[30]

i.     jasa informasi pariwisata

            Bisnis ini merupakan bisnis penyediaan data, berita, feature, foto, video, dan hasil penelitian mengenai kepariwisataan yang disebarkan dalam bentuk bahan cetak dan/atau elektronik.[31]

j.     jasa konsultan pariwisata
           
            Bisnis konsultan pariwisata merupakan bisnis penyediaan saran dan rekomendasi mengenai studi kelayakan, perencanaan, pengelolaan usaha, penelitian, dan pemasaran bidang pariwisata.[32]

k.    jasa pramuwisata
           
            Jasa pramuwisata merupakan bisnis penyediaan dan/atau pengordinasian tenaga pemandu wisata untuk memenuhi kebutuhan wisatawan dan/atau kebutuhan biro perjalanan wisata.[33]
l.    wisata tirta

            Wisata tirta merupakan bisnis penyelenggaraan wisata dan olahraga air termasuk penyediaan sarana dan prasarana serta jasa lainnya yang dikelola secara komersial di perairan laut, pantai, sungai, danau, dan waduk. Bisnis ini lalu dibagi menjadi wisata bahari dan wisata sungai, danau, dan waduk. Wisata bahari meliputi: wisata selam, perahu layar, memancing, selancar, dan dermaga bahari. Sementara itu, wisata sungai, danau, dan waduk meliputi: wisata arung jeram dan dayung.[34]

m.  spa
            Bisnis spa merupakan bisnis perawatan yang memberikan pelayanan dengan metode kombinasi terapi air, terapi aroma, pijat, rempah-rempah, layanan makanan/minuman sehat, dan olah aktivitas fisik dengan tujuan menyeimbangkan jiwa dan raga dengan tetap memperhatikan tradisi dan budaya bangsa Indonesia.[35]

IV. GATS dan Model Transaksi Bisnis Pariwisata Internasional

4.1. Konsep dan Ruang Lingkup Perdagangan Jasa Internasional dalam GATS
            General Agreement on Trade in Services yang selanjutnya disebut GATS, merupakan persetujuan multilateral pertama yang menangani perdagangan bidang jasa secara integral dan komprehensif. Persetujuan yang mulai berlaku sejak 1 januari 1995 tersebut merupakan isu baru di luar perdagangan barang yang mengemuka pada saat Putaran Uruguay.[36]  GATS memiliki ruang lingkup yang kurang lebih sama luasnya dengan GATT. Karena itu, terwujudnya GATS sebagai seperangkat ketentuan multilateral, merefleksikan betapa luasnya substansi dan kompleksitas masalah yang menyangkut operasionalisasi sektor jasa.[37]
Pada dasarnya, terdapat dua pilar utama kontribusi GATS pada perdagangan jasa dunia, yaitu 1. menjamin meningkatnya transparansi dan prediktibilitas peraturan di sektor jasa, 2. mendorong liberalisasi jasa secara progresif melalui rangkaian putaran perundingan.[38] GATS mengakui ketidakseimbangan kemajuan di antara negara anggotanya sehingga liberalisasi diberlakukan secara bertahap (gradual), sesuai kemampuan tiap negara, dan sepanjang implementasinya didasarkan pada prinsip transparansi atau keterbukaan.
Dalam pasal 1 ayat (3b) dan (c) GATS, jasa yang dicakup meliputi:
“For the purposes of this agreement :
(b) “services    include      any  service in any sector except services supplied in exercise of governmental authority” ;
(c) “a service supplied   in the  exercise of governmental authority” means any sevice which is supplied neither on a commercial basis, nor in competition with one or more service suppliers”.
Berdasar paparan tersebut, GATS mendefinisikan jasa  sebagai  setiap jasa dalam setiap sektor, kecuali jasa yang dipasok dalam pelaksanaan otoritas atau kebijakan pemerintah. Definisi jasa yang dipasok dalam rangka otoritas pemerintah adalah setiap jasa yang tidak dipasok atas dasar komersial dan tidak dipasok dalam rangka persaingan dengan satu atau lebih pemasok jasa lainnya. Dapat disimpulkan bahwa jasa yang dicakup oleh GATS meliputi jasa komersial yang dipasok dalam suatu persaingan dengan satu atau lebih pemasok jasa dan bukan dengan jasa pemerintahan.[39]
Cara pemasokan jasa yang dicakup dalam GATS berdasarkan pasal 1 ayat 2 adalah:[40]
 (a)   from the territory of one member into the  territory of any other member;
(b)   in  the  territory of   one  member to the services consumer of any other member;
(c)  by  a  service supplier   of one member, through commercial presence in the territory of any other member;
(d)  by a service supplier of one member, through presence of natural persons of a member in the territory of any other member.
Dengan kerangka pemahaman yang sama, GATS mendefinisikan perdagangan jasa  sebagai pemasokan jasa yang dilakukan melalui empat cara, meliputi:[41]
1.    Dari wilayah suatu negara anggota kedalam wilayah setiap negara anggota lain (perdagangan lintas batas). Contoh: seorang mahasiswa Indonesia yang mendalami ilmu pariwisata dengan berkuliah di Prancis.
2.    Dalam wilayah suatu negara anggota kepada konsumen jasa setiap negara anggota lain (konsumsi di luar negeri). Contoh: seorang pembeli Indonesia yang membeli jasa akomodasi wisata di luar negeri via email.
3.    Oleh pemasok jasa suatu negara anggota, melalui kehadiran komersial (commercial presence) dalam wilayah negara anggota lain (keberadaan komersial). Contoh: Kehadiran hotel, travel agent asing di Indonesia.
4.    Oleh pemasok jasa suatu negara anggota, melalui kehadiran orang-orang (natural person) dalam wilayah suatu negara anggota lain (perpindahan orang). Contoh: Kehadiran tenaga kerja asing di bidang pariwisata yang membuka layanan jasanya di Indonesia.

Jika kita sederhanakan, cara pemasokan jasa dalam GATS ini dapat dipilah berdasarkan dua objek. Pertama, menyangkut pergerakan atau mobilitas suatu produk. Kedua, menyangkut aspek personil di mana GATS memungkinkan mobilitas personil yang melintasi antarnegara dalam memberikan pelayanan jasanya.
Hasil  GATS selengkapnya adalah:[42]
a.  Framework   Agreement    yang    mengatur prinsip-prinsip umum seperti: most favoured nation, national treatment, transparansi dan progressive liberalization;
b.  sectoral agreement  berlaku untuk sektor-sektor yang memerlukan perlakuan khusus yang mungkin harus menyimpang dari framework agreement;
c.  setiap    negara   wajib  menentukan sektor-sektor yang terbuka untuk asing dalam schedule of commitments yang secara eksplisit menentukan:
 1. Jenis transaksi lintas batas yang terbuka untuk asing serta batasan-batasannya;
2.    batasan-batasan mengenai sejauh mana pihak asing dapat beroperasi di negara tersebut.

d.  negara-negara  wajib   menerapkan  Prinsip    most  favoured   nation (MFN)   dan   national treatment segera dan tanpa syarat sejalan dengan komitmen liberalisasi jasa yang disepakati;   
e.   negara-negara dapat membuat   perjanjian yang  lebih  luas untuk  meliberalisasi perdagangan jasa dengan negara lain;
f.   negara-negara         harus      menjamin    tertibnya  administrasi,  utamanya menyangkut  ketentuan    tentang  permohonan umum yang berimplikasi pada perdagangan jasa.
g.  GATS     membolehkan    negara-negara   menetapkan   standar    dalam memberikan autorisasi, lisensi, atau sertifikat penyedia jasa;
h.    operasi     monopoli    harus    konsisten dengan kewajiban dalam komitmen;
i.   negosiasi safeguards darurat harus selesai dan diterapkan tiga tahun setelah perjanjian berlaku;
j.    pengecualian  dibolehkan untuk  kepentingan masyarakat, kehidupan manusia atau hewan, dan keamanan;
k.  negara-negara   anggota  harus  melakukan   negosiasi   tentang komitmen market access dengan schedule yang berbeda untuk setiap sektor jasa;
l.   national treatment diberikan untuk pemasok  jasa dalam  masing-masing sektor yang tercantum dalam schedule of commitment;
m. komitmen   market  access  dapat   diubah   dalam  tiga tahun dengan kompensasi atas dasar most favoured nation (MFN).

4.2 Komitmen Liberalisasi Indonesia dalam Transaksi Bisnis Pariwisata
 
Sebagai konsekuensi keikutsertaan dalam GATS, Pemerintah Indonesia telah menyampaikan komitmen liberalisasi jasanya dalam bentuk “initial commitment”.  Komitmen yang dibuat pada bulan Februari 1991 ini merupakan sebuah bentuk kesiapan atau kesanggupan pemerintah dalam membuka sektor-sektor jasa yang siap untuk diliberalisasi. Selanjutnya setelah mengalami beberapa kali perbaikan, Pemerintah Indonesia akhirnya menyampaikan schedule of commitment services yang mencakup 5 sektor jasa, yakni jasa keuangan, jasa telekomunikasi, jasa perhubungan laut, jasa industri termasuk jasa konstruksi dan jasa pariwisata. Kelima sektor dalam schedule of commitment tersebut meliputi 68 kegiatan atau transaksi jasa dengan rincian sebagai berikut:[43]
a. telekomunikasi        : 9   transaksi
b. industri/konstruksi   : 35 transaksi
c. pariwisata                : 3   transaksi
d. perhubungan laut    : 2   transaksi
e. keuangan                : 19  transaksi
Menyangkut sektor pariwisata, pemerintah telah mengijinkan model pasokan jasa melalui pengoperasian perusahaan asing di Indonesia  dengan beberapa persyaratan. Untuk jasa hotel, tidak lagi diterapkan pembatasan-pembatasan akses pasar bagi perusahaan asing untuk beroperasi di wilayah Indonesia Timur, Kalimantan, Bengkulu, Jambi, dan Sulawesi. Pemerintah mengijinkan investor untuk menguasai 100% saham atas modal yang mereka gunakan. Demikian pula kehadiran tenaga kerja, khususnya untuk posisi level puncak manajemen dan bidang-bidang profesi yang membutuhkan keahlian teknis tinggi.[44]
 Pihak Departemen Kebudayaan dan Pariwisata   lalu menegaskan bahwa pemerintah telah menetapkan sejumlah subsektor pariwisata yang akan diliberalisasi. Pembatasan liberalisasi pariwisata akan diberlakukan hingga  berakhir pada tahun 2020. Pelaksanaan Liberalisasi sektor pariwisata sampai saat ini masih berpegang pada apa yang telah disepakati dalam komitmen GATS Indonesia di sektor pariwisata. [45]
Saat ini  subsektor-subsektor di sektor  pariwisata yang terbuka bagi pemasok jasa asing meliputi:[46]
1.   Perhotelan atau resort;
2.   Biro perjalanan atau tour operator. 
Sedangkan untuk bidang perhotelan dan resort , persyaratannya meliputi:[47]
 a.     Pemerintah  hanya mengijinkan pemasokan jasa  untuk hotel dengan kualifikasi bintang 3, 4 dan 5;
       b.    pemasok  jasa   asing  harus menyetor modal   yang   lebih  tinggi  dibanding pemasok jasa agent dan tour operator dalam negeri;                   
 c.    investor     asing       boleh   menguasai kepemilikan saham hingga 100% di bisnis perhotelan dan tourist resort di Kawasan Timur Indonesia (KTI).
Untuk jasa biro perjalanan dan tour operator dengan  model pasokan jasa melalui pendirian perusahaan asing di Indonesia, pemerintah menetapkan syarat-syarat meliputi:[48]
a.   Hanya diperkenankan maksimum 60 travel agen dan tour operator;
b.    tour  operator haruslah  travel agent yang berkedudukan di Jakarta dan Bali.
Terkait penggunaan tenaga kerja asing, telah diberikan pembatasan dimana tenaga kerja asing hanya dapat menduduki posisi sebatas level direktur, manager dan penasehat ahli atau teknis.[49] Implementasi liberalisasi jasa pariwisata ini akan ditinjau setiap lima tahun sekali.[50]
Pemerintah sendiri memang belum memperluas ruang lingkup transaksi jasa di sektor pariwisata meskipun terdapat desakan kuat dari berbagai negara agar Indonesia sudi membuka subsektor-subsektor jasa pariwisata. Kita patut mengapresiasi pilihan kebijakan ini, mengingat pemerintah tampaknya mau menampung segala  aspirasi para pelaku usaha pariwisata. Mereka tampaknya belum benar-benar siap dalam menghadapi liberalisasi jasa. Di samping itu, dengan mengingat sifat mutlak dari  komitmen liberalisasi dalam GATS, maka  ketika sebuah negara telah berkomitmen untuk meliberalisasi sektor-sektor tertentu, komitmen ini nantinya tidak dapat ditarik kembali di masa-masa yang akan datang, tanpa persetujuan negara anggota lainnya.[51]

V. Strategi Peningkatan Nilai Transaksi Bisnis Pariwisata Internasional

          Beberapa kalangan meyakini pariwisata mampu beperan sebagai lokomotif  pertumbuhan ekonomi secara menyeluruh. Penciptaan lapangan kerja, pengurangan angka kemiskinan serta penguatan daya beli masyarakat merupakan suatu mata rantai positif dari multiplier effect yang ditimbulkan dari peningkatan nilai transaksi bisnis di sektor usaha tanpa cerobong asap tersebut. Untuk itu, strategi peningkatan nilai transaksinya harus memiliki dua buah tujuan, yakni harus   memaksimalkan kontribusi dari lapangan bisnis pariwisata yang telah terbukti mampu memberikan nilai tambah secara ekonomi, dan berupaya menelusuri potensi-potensi bisnis baru seperti atraksi, destinasi dan produk jasa wisata yang belum tergali sebelumnya. Upaya ini dapat ditempuh melalui:
5.1. Pemanfaatan  Hasil  Pertanian dan  Kelautan  
            Dalam beberapa tahun belakangan, pariwisata seakan luput memperhatikan kehidupan pertanian dan kelautan. Padahal, dahulu kita pernah mendapatkan predikat sebagai bangsa agraris dan bahari.  Alih fungsi lahan dan ilegal fishing menjadi salah satu bukti kecenderungan ini. Di masa mendatang, tercapainya sinergi antara aktivitas bisnis pariwisata dengan potensi bisnis sektor pertanian dan kelautan yang  kita miliki,  membutuhkan inisiatif dan tindakan proaktif segenap pihak. Strategi ini lalu dielaborasi melalui:
a.   Menempatkan hasil pertanian, seperti sayur-mayur dan buah-buahan sebagai pendukung pariwisata, salah satunya  dengan memprioritaskan pembelian produk hasil pertanian untuk kemudian diolah, dikemas dan dipasarkan di areal destinasi wisata yang ada, ataupun di pasok sebagai kebutuhan pangan dari suatu bisnis akomodasi pariwisata;
b.   memanfatkan hasil laut kita untuk diolah dan dikemas menjadi sebuah wisata kuliner yang  memiliki cita rasa unik dan khas sebagai  bagian dari pengembangan pariwisata itu sendiri;
c. memanfaatkan sumber daya pertanian dan kelautan untuk dikemas dan dipasarkan menjadi sebuah wisata yang unik, inovatif dan kreatif misalkan: wisata terkait proses pemanenan hasil pertanian atau wisata proses penangkapan ikan di laut.
5.2. Pendekatan Bisnis Modern dalam Pengelolaan  Pariwisata
            Era globalisasi telah menasbihkan pariwisata sebagai salah satu bidang usaha terbesar di dunia. Negara-negara yang  bersaing untuk merebut pasar pariwisata dunia telah menerapkan kompetensi bisnis profesional demi upaya meraih hegemoni pariwisata dunia. Indonesia dengan potensi alam dan budayanya, selama ini cenderung masih menerapan pendekatan bisnis tradisional dengan kurang mengadopsi sense of bussiness. Kecenderungan yang wajib diperhatikan para pelaku usaha pariwisata agar kita tidak tereliminasi dalam persaingan pasar pariwisata dunia melalui strategi:
a.    Pelaksanaan good coorporate governance bisnis pariwisata yang meliputi transparansi, akuntabilitas, responsif, independent dan fairness baik dalam fase governance structure, governance process dan governance outcome;
b.    pelaksanaan bisnis pariwisata dengan menerapkan standar-standar internasional yang berbasis manajemen mutu dengan harapan dapat meningkatkan daya saing pariwisata kita secara internasional;
c.    pelaksanaan pemasaran pariwisata dengan mengaplikasikan metode pemasaran terkini dan mengundang ahli-ahli pemasaran terkemuka untuk memberikan transfer pengetahuan kepada pelaku pariwisata kita.

5.3. Diversifikasi Pengembangan Bisnis Pariwisata
            Persaingan bebas dan keras adalah imbas tak terelakkan di era liberalisasi. Untuk mensiasatinya, kita membutuhkan upaya-upaya kreatif dan inovatif dalam merebut pasar pariwisata dunia yang semakin terbuka, sekaligus mempertahankan pasar yang telah berhasil direbut. Mau tidak mau, kita harus senantiasa selalu mencari cara-cara dan metode-metode pendekatan terbaru untuk dapat mempertahankan eksistensi pariwisata di kancah global. Strategi ini dielaborasi melalui:
a.    Memanfaatkan peluang bisnis  pariwisata yang selama ini belum tergarap secara maksimal seperti wisata religius, konvensi, selam, adventure dan ekoturisme. Peluang ini didukung oleh fenomena beberapa waktu belakangan ini di mana telah terjadi perubahan consumer behaviour pattern atau pola konsumsi dari para wisatawan ke jenis wisata yang lebih beragam seperti atraksi wisata minat khusus dan pariwisata berwawasan lingkungan;
b.    mengadakan pendidikan, pelatihan dan keterampilan di sektor bisnis pariwisata  seperti yang tersebut diatas. Usaha ini dilakukan guna mewujudkan spesialisasi pengelolaan produk yang pada gilirannya akan menumbuhkan keunggulan komparatif baru di sektor pariwisata;
c.    mencari pasar baru wisatawan asing yang selama ini masih terserap sedikit dalam pasar pariwisata dunia seperti wisatawan Rusia, Uni Emirat Arab, dan Amerika Selatan.
5.4.  Penambahan   dan  Perbaikan  Infrastruktur/ Fasilitas Pariwisata
            Pemerintah mengharapkan  pariwisata mampu menjadi katalisator bagi perkembangan sektor lain. Guna mewujudkannya, pembangunan infrastruktur dan fasilitas penunjang lainnya untuk meningkatkan aksesibilitas dan kualitas suatu destinasi wisata, menjadi salah satu solusinya melalui:
a.  perbaikan   infrastruktur   fisik   seperti   jalan   raya, jaringan listrik dan telekomunikasi yang berada di sekitar, dan yang menuju ke wilayah suatu destinasi wisata;
b.  penyediaan sarana   transportasi publik yang nyaman dan memadai tidak hanya menuju ke suatu destinasi wisata di suatu daerah, tetapi juga yang mampu menghubungkan suatu destinasi wisata satu dengan lainnya yang bersifat lintas-daerah;
c.  pembangunan infrastruktur pelabuhan  dan bandara yang repesentatif di daerah-daerah potensial yang kurang mendapatkan porsi seimbang dalam pengembangan pariwisata di masa lalu;
d.   memperbaiki   infrastruktur  yang   terlihat   sepele, namun berpengaruh kuat bagi kenyamanan wisatawan yang berkunjung seperti toilet umum, ketersediaan air bersih dan areal parkir yang memadai.
5.5. Peningkatan  Produktivitas  dan Kapasitas Sumber Daya Manusia
            Eksistensi sumber daya manusia yang berkualitas unggul, profesional dan berintegritas, menjadi barometer kunci dalam menyongsong  masa depan pariwisata yang lebih baik. Oleh karenanya, proses pembelajaran dan pembentukan karakter dari sumber daya manusia kita harus senantiasa terus berlangsung secara konsisten dan berkesinambungan, dengan mengikuti tren perkembangan bisnis pariwisata itu sendiri. Strategi ini kemudian dielaborasi melalui:
a. Pemberian  pendidikan,  pelatihan  dan keterampilan baik secara formal maupun informal  kepada  kalangan pelaku usaha pariwisata dan masyarakat, sekaligus menumbuhkan dan mengembangkan jiwa wirausaha mereka. Proses ini selanjutnya disertai dengan bimbingan, konsultasi dan sosialisasi dari konsekuensi, pengaruh dan resiko yang ditimbulkan dalam menjalankan bisnis pariwisata
b.  pengembangan  dan  pemanfaatan skema pembiayaan bagi pelaku usaha pariwisata dan masyarakat yang selama ini belum mendapatkan akses ekonomi untuk mengembangkan aktivitas bisnis pariwisatanya;
5.6. Kerjasama dan Negosiasi Internasional
            Dengan keikutsertaan Indonesia dalam GATS, pemerintah mempunyai kesempatan yang lebih luas dan terbuka dalam  mengintensifkan berbagai fora kerjasama internasional dan  negosiasi internasional melalui upaya-upaya:
a.   Melibatkan pengusaha kelas atas dunia dalam promosi pariwisata Indonesia, misalkan melibatkan Bil Gates dan Alvin Toffler;
b.  melibatkan  wisatawan     asing yang  acapkali berkunjung di Indonesia (repeater) dan jurnalis asing sebagai duta wisata yang mempromosikan pariwisata Indonesia di tingkat Internasional;
c.  membuka  kerjasama  internasional melalui kemudahan pemberian visa kunjungan saat kedatangan (Visa on Arrival) untuk mempermudah akses wisatawan asing yang berkunjung ke Indonesia;
d.  membuka kerjasama internasional dengan negara-negara yang selama ini belum menjadi target wisatawan Indonesia, misalkan kerjasama dengan Taiwan dan Maroko. Ini dapat dilwujudkan dengan membuka rute penerbangan langsung ke negara-negara tersebut;
e.   negosiasi     internasional   melalui forum perundingan GATS ataupun forum-forum regional dan bilateral lainnya, dengan  memberikan kesempatan kepada Indonesia untuk tetap mempertahankan keunikan dan keanekaragaman pariwisata indonesia.
f.  mencoba   formulasi   debts for  Tourism   swap yakni upaya pengalihan pembayaran utang luar negeri pemerintah dan swasta menjadi upaya-upaya pencapaian target-target pengembangan pariwisata di dalam negeri.
5.7. Mekanisme Promosi Antarinstansi
            Kerapkali terjadi upaya promosi yang dilakukan pemerintah tidak fokus dan cenderung berganti-ganti mengikuti arus kebijakan pemerintah yang berkuasa. Dunia internasional tentu memandangnya sebagai sebuah ketidakkonsistenan dari Pemerintah Indonesia. Sebagai buktinya, slogan ataupun branding yang diusung pemerintah selalu berganti-ganti, pada tahun 2001 slogan yang diusung adalah ”Indonesia, just a smile away”, dan berganti di tahun 2004 menjadi ”Indonesia, ultimate in diversity”, belum lagi masing-masing daerah memiliki slogannya masing-masing. Demikian pula para pengusaha juga melakukan promosi serupa yang menyiratkan ketidakselarasan dan ketidakoptimalan program promosi yang dilaksanakan. Kurangya kesepahaman dan koordinasi instansi lintas sektoral maupun antarpelaku pariwisata, pada gilirannya justru menghambat kelancaran program promosi itu sendiri. Upaya- upaya preventif yang dapat ditempuh antara lain:
a.  Pengusungan   slogan  promosi   pariwisata  yang  singkat, jelas, tepat dan mencerminkan karakteristik pariwisata Indonesia. Setidaknya, pemerintah mempertahankan slogan ini secara konsisten dalam jangka waktu sedikitnya 10 tahun, demi terbangunnya citra (image) yang kuat dan melekat bagi wisatawan penikmat jasa pariwisata;
b.  pembagian  kerja (job description) yang jelas dan tegas  terkait pelaksanaan promosi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah hingga para pelaku usaha  pariwisata. Pemerintah pusat selayaknya menangani promosi pariwisata yang berskala nasional dan internasional, pemerintah daerah menangani promosi destinasi wisata yang ada di masing-masing daerahnya dan pelaku usaha menjalankan perannya dalam mempromosikan produk-produk jasanya secara lebih spesifik.
Apabila 7 (tujuh) strategi di atas dapat dilaksanakan secara bertahap, konsisten, dan berkelanjutan, maka bisnis pariwisata  akan memiliki daya saing yang jauh lebih baik sehingga dengan sendirinya meningkatkan nilai transaksi bisnis pariwisata secara signifikan. Pada alur ekspektasi berikutnya, kita akan mampu mengejar ketertinggalan, dan mempunyai posisi yang sejajar dalam pergaulan pariwisata Internasional. Alasannya, dengan pendekatan bisnis yang relatif tradisional saja Indonesia telah mampu mencuri perhatian dunia melalui ciri khas pariwisata yang kita miliki. Apabila  dikombinasikan dan diperkuat dengan strategi, konsep, tata kelola dan penerapan bisnis modern, maka kita tidak hanya mampu mempertahankan pasar, tetapi juga memelihara peluang dalam meningkatkan penetrasi pasar pariwisata di luar negeri. Tinggal sekarang bagaimana kita mampu memanfaatkan dan mengolah peluang ini, sekaligus siap mengantisipasi berbagai kemelut dan hambatan yang sesungguhnya lebih banyak berasal dari dalam kita sendiri.
Daftar Pustaka
Adolf, Huala.2005.Hukum Perdagangan Internasional. Jakarta:Rajawali Press.
Adolf, Huala, A.Chandrawulan.1995.Masalah-Masalah Hukum dalam Perdagangan Internasional. Jakarta:Raja Grafindo Persada.
Bain,Gofar.2001.Uruguay Round dan Sistem Perdagangan Masa Depan. Jakarta:Djambatan.
Boediono.2000.Ekonomi Mikro. Yogyakarta:BPFE.
Direktorat Jenderal Pariwisata.1990.Pengantar Pariwisata Indonesia. Jakarta.
Direktorat Jenderal Perdagangan Internasional Departemen Perdagangan RI. 1998.Perkembangan Tatanan Perdagangan Dunia. Jakarta: Departemen Perdagangan RI.
Direktorat  Perdagangan  dan Perindustrian Multilateral Direktorat Jenderal Multilateral Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan Departemen Luar Negeri.2004.Persetujuan Bidang Jasa. Jakarta.
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.2005.Rencana Strategik 2005-2009. Jakarta.
Hata.2006.Perdagangan Internasional dalam Sistem GATT dan WTO, Aspek-Aspek Hukum dan Non Hukum. Bandung:Refika Aditama.
Ikbar, Yanuar.2006.Ekonomi Politik Internasional 1. Bandung:Refika Aditama.
Kartadjomena,HS.1996.GATT dan WTO, Sistem Forum dan Lembaga Internasional di Bidang Perdagangan. Jakarta:UI-Press.
Pendit, Nyoman S.2003.Ilmu Pariwisata Sebuah Pengantar Perdana. Jakarta: Pradnya Paramitha.

Pitana, I Gde dan Gayatri, Putu G.2005.Sosiologi Pariwisata.Yogyakarta: Penerbit Andi.
Spillane, James J.1991.Ekonomi Pariwisata. Yogyakarta:Kanisius.
Starke,J.G.2001.Pengantar  Hukum  Internasional 2.   Diterjemahkan   oleh Bambang Iriana Djajaatmadja. Jakarta:Sinar Grafika.
Sumadi,Ketut.2009.Kepariwisataan Indonesia Sebuah Pengantar. Denpasar: Sari Kahyangan.
Siregar,Mahmul.2005.Perdagangan Internasional dan Penanaman Modal. Medan:Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera.
Van den Bossche, Natakusumah, Daniar dan Koesnaidi, Joseph Wira .2010. Pengantar Hukum WTO. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Wyasa Putra, Ida Bagus dkk.2003. Hukum Bisnis Pariwisata. Bandung:Refika Aditama.
Widiatedja, IGN Parikesit.2010. Liberalisasi Jasa dan Masa Depan Pariwisata Kita. Denpasar: Udayana University Press.
_____________________.2011. Kebijakan Liberalisasi Pariwisata: Konstruksi Konsep, Ragam Masalah, dan Alternatif Solusi. Denpasar: Udayana University Press.
Yoeti, Oka A. 1996. Anatomi Pariwisata. Bandung: Angkasa.
_________________.2006. Pariwisata Budaya: Masalah dan Solusinya. Jakarta: Pradnya Paramita.
Dukumen-dokumen Lain
Agreement Establishing the World Trade Organization
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan (ratifikasi) Agreement Establishing the World Trade Organization.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan
Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
http://www.antara.co.id/arc/2008/10/21/presiden-minta-semua-pihak-pacu-pariwisata-ekonomi-kreatif-dan-naker/
http://www.bappenas.go.id/get-file-server/node/6737/
http://www.bappenas.go.id/index.php?module=filemanager&func=download&pathext/kajian/&view=9kajian20jasa-jasaGATSpdf
http://ditjenkpi.depdag.go.id/images/Bulletin/buletin%2044.pdf







[1] Makalah disampaikan pada Seminar Nasional “Hukum Pembayaran dalam Transaksi Bisnis Jasa Pariwisata Internasional” diselenggarakan oleh Student Community of International Law (SCIL) FH Unud pada sabtu,14 mei 2011.
[2]    I Gde Pitana dan Gayatri, Putu G.2005.Sosiologi Pariwisata.Yogyakarta: Penerbit Andi,h.40
[3]    Oka A Yoeti,dkk.2006. Pariwisata Budaya: Masalah dan Solusinya. Jakarta: Pradnya Paramita,h.17
[4]  dalam IGN Parikesit Widiatedja.2010. Liberalisasi Jasa dan Masa Depan Pariwisata Kita. Denpasar: Udayana University Press,h.11
[5]  dalam  Putu Anom,dkk.2010.  Pariwisata Berkelanjutan   dalam  Pusaran  Krisis Global.   Denpasar: Udayana  University Press,h.3.
[6] Hilda Sabri. 1 Maret 2006. Kesepakatan mengentaskan kemiskinan lewat Pariwisata. http://www.bisnisindonesia.com/index.php/berita10306 diakses pada 15 Juni 2009 pukul 19.45 wita.
[7]    James J Spillane.1991.Ekonomi Pariwisata. Yogyakarta:Kanisius, h.46
[8]    Oka A Yoeti,op.,cit,h.73
[9]   IGN Parikesit Widiatedja.2011. Kebijakan Liberalisasi Pariwisata:Konstruksi Konsep, Ragam Masalah,dan Alternatif Solusi.Denpasar: Udayana University Press,h. 56, selanjutnya disebut IGN Parikesit 2.
[10]  Data kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. http://www.budpar.go.id/page.php?ic=511 diakses pada 19 Maret 2010 pukul 03.27 wib
[11]      Ibid
[12] Devisa  Pariwisata   sebesar   7,5 Milliar Dollar. 9 Desember 2008. http://www.menkokesra.go.id/content/view/9994/39 diakses pada 9 Januari 2009 pukul 07.45 wita.
[13] 2010,   Kunjungan    Wisatawan    Capai   7002   juta. http://ultimoparadiso.com/index.php?option=com_frontpage&Itemid=1diakses pada 2 Mei 2011 pukul 02.56 wita.
[14]     Coba lihat Cambridge National Dictionary of English.1995. Cambridge University Press,h.1289.
[15]    I.B. Wyasa Putra,dkk. 2003. Hukum Bisnis Pariwisata.Bandung: Refika Aditama,h.2
[16]     World Trade Organization,17 september 2004.why is the liberalization of services important?, GATS : Fact or Fiction (online), http://www.wto.org/english/traptop_e/gats_factfiction.htm, diakses tanggal 11 Juli 2009 Pukul 20.07 wib.
[17] Mari Elka Pangestu. 28 oktober 2008.Perdagangan Jasa ASEAN dimulai 2010. http://www.republika.co.id/berita/10475.html  diakses pada 15 Juni 2009 pukul 21.36 wib.
[18]    I.B Wyasa Putra,dkk.op.,cit,h.18
[19]  James J. Spillane. 1991.Ekonomi Pariwisata.Yogyakarta:Kanisius, h.46
[20]   Coba lihat pula I.B Wyasa Putra,op.,cit,h. 19
[21]   Oka  A. Yoeti,op.,cit, h.2.
[22]   Direktorat Jenderal Pariwisata.1990.Pengantar Pariwisata Indonesia. Jakarta,  h.33.
[23]  Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No. PM.90/HK.501/MKP/2010
[24]  Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No. PM.88/HK.501/MKP/2010
[25]  Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No. PM.89/HK.501/MKP/2010
[26]  Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No. PM.85/HK.501/MKP/2010
[27]  Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No. PM.87/HK.501/MKP/2010
[28]  Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No. PM.86/HK.501/MKP/2010
[29]  Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No. PM.91/HK.501/MKP/2010
[30]  Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No. PM.93/HK.501/MKP/2010
[31]  Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No. PM.95/HK.501/MKP/2010
[32]  Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No. PM.94/HK.501/MKP/2010
[33]  Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No. PM.92/HK.501/MKP/2010
[34]  Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No. PM.96/HK.501/MKP/2010
[35]  Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No. PM.97/HK.501/MKP/2010
[36] Untuk mengetahui jejak kelahiran GATS, konektivitas yang terjalin dengan GATT, ketentuan normatif dalam GATS, dan partisipasi Indonesia hingga 2009, dapat dilihat pada IGN Parikesit Widiatedja,op.,cit,h. 39-57.
[37]   Gofar Bain.2001. Uruguay Round dan Sistem Perdagangan Masa Depan. Jakarta:Djambatan, h.59
[38] Direktorat  Perdagangan  dan Perindustrian Multilateral Direktorat Jenderal Multilateral Ekonomi,   Keuangan dan Pembangunan Departemen Luar Negeri. 2004. Persetujuan Bidang Jasa. Jakarta, h.3.
[39]   Ibid., h.81. 
Lihat juga dalam Hata, 2006.Perdagangan Internasional dalam Sistem GATT dan WTO, Aspek-Aspek Hukum dan Non Hukum. Bandung:Refika Aditama,h.231
[40]  dalam  Peter van den Bossche, Daniar Natakusumah dan Joseph Wira Koesnaidi.2010. Pengantar Hukum WTO. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,h.14
[41]  Huala Adolf dan A. Chandrawulan, 1995.Masalah-Masalah Hukum dalam Perdagangan Internasional. Jakarta:Raja Grafindo Persada,h.78
      Lihat juga dalam Direktorat  Perdagangan  dan Perindustrian Multilateral Direktorat Jenderal Multilateral Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan Departemen Luar Negeri, loc.cit.
[42] H.S Kartadjoemena, 1996. GATT dan WTO, Sistem Forum dan Lembaga Internasional di Bidang Perdagangan. Jakarta:UI-Press, h.259
[43] Direktorat  Hubungan  Perdagangan Multilateral  dan Regional Departemen Perindustrian dan Perdagangan RI. 12 Juni 1996. World Trade Organization Sebagai Lembaga Pelaksana dalam Mewujudkan Liberalisasi Perdagangan Dunia, http://ditjenkpi.depdag.go.id/website_kpi/fiks/con diakses pada 12 November 2008 pukul 22.56 wib.
[44]   Ida Bagus Wyasa Putra dkk, op.cit., h.42.
[45] Liberalisasi   Pariwisata   Tak  Diperluas.   Koran  Bisnis.    14 Januari 2005. http://www.bisnis.com/index/id=23907 diakses pada 12 Desember 2008 pukul 07.18 wib.
[46]    Ibid.
[47]    I.B Wyasa Putra dkk, op.cit., h.43.
[48]    Hata,op.cit.,h.234.
[49]    Ibid,h.233.
[50] Implementasi  Liberalisasi  Pariwisata Ditinjau Lima Tahun Sekali.30 Oktober  2004. http://ditjenkpi.depdag.go.id/website_kpi/files/wto20041030112836.pdf diakses pada 3 Februari 2009 pukul 21.45 wita.        
[51]  Pasal  XXI GATS  menyatakan bahwa setelah tiga tahun sejak tanggal mulai berlakunya komitmen, negara anggota dapat merubah atau menarik komitmennya. Proses ini harus dilaporkan kepada Dewan Perdagangan Jasa. Selanjutnya negara nggota ini harus berunding dengan negara anggota lainnya yang terkena dampak akibat perubahan atau penarikan komitmen untuk memperoleh persetujuan. Apabila tidak tercapai persetujuan, maka penyelesaian dilakukan melalui lembaga arbitrase.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar